
Direksi PLN Buka-bukaan Dampak Penurunan Tarif Listrik

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah telah menurunkan tarif listrik bagi pelanggan tegangan rendah non subsidi sebesar Rp 22,5 per kWh selama periode Oktober-Desember 2020. Penurunan tarif ini tidak lepas dari turunnya Biaya Pokok Penyediaan (BPP) listrik.
Penurunannya sekitar Rp 41,91 triliun menjadi Rp 317,12 triliun dari target dalam APBN 2020 awal sebesar Rp 359,03 triliun. Dengan demikian, ini juga diperkirakan akan menghemat subsidi listrik kepada PT PLN (Persero) sebagai operator listrik tanah air sebesar Rp 2,95 triliun menjadi Rp 51,84 triliun dari target awal sebesar Rp 54,79 triliun.
Lantas, bagaimana dampaknya ke kinerja keuangan PLN?
Direktur Niaga dan Manajemen Pelanggan PLN Bob Saril membenarkan jika penurunan tarif berdampak pada kinerja PLN, namun tidak signifikan. Pasalnya, meski dari sisi pendapatan diperkirakan akan menurun, tapi di sisi lain seperti komponen biaya, seiring dengan menurunnya BPP sebagai akibat dari turunnya harga energi primer dan asumsi makro, maka beban biaya produksi juga akan lebih rendah.
Sehingga, secara umum diperkirakan tidak akan mempengaruhi kinerja keuangan, terutama laba perseroan tahun ini. "Bagaimana pengaruhnya, tentu berpengaruh tapi sedikit," ujarnya saat diwawancara CNBC TV Indonesia dalam rubrik Energy Corner Senin pagi (07/09/2020).
Bob menyebut PLN memiliki potensi memperoleh pendapatan dari penjualan listrik sebesar Rp 391 triliun. Meski ada potensi penurunan pendapatan karena turunnya tarif listrik, namun menurutnya secara volume PLN akan mendorong penjualan sebanyak-banyaknya agar pendapatan bisa lebih besar lagi.
Beberapa upaya menurutnya sudah dilakukan untuk mendorong konsumsi listrik masyarakat, misalnya saja dengan memberikan diskon besar-besaran untuk biaya penyambungan tambah daya.
"Tentu saja kerja sama kita bersama agar bagaimana pertumbuhan ekonomi bagus sehingga penjualan PLN bisa meningkat. Kalau penjualan PLN meningkat, tentu saja biaya pokok penyediaannya akan semakin berkurang," jelasnya.
Dia menuturkan penjualan listrik masih tumbuh pada kuartal I tahun ini sebelum adanya pandemi. Namun setelah terjadinya pandemi Covid-19, penjualan pun turun.
Penjualan listrik di sistem Jawa, Madura, Bali (Jamali) menurutnya terjadi penurunan 10% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (Year on Year/ YoY) atau rata-rata penjualan hanya sebesar 19,1 TWh selama diberlakukannya pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
"Setelah PSBB (direlaksasi), walau belum bisa menyamai kondisi penjualan sebelum Covid-19, tapi sedikit-sedikit pertumbuhan semakin tinggi," ujarnya.
Menurutnya penjualan pada Juli masih minus 2%, lalu pada Agustus minus 1,9%. Ini menunjukkan kondisi yang semakin membaik dibandingkan pada awal-awal pandemi yang mencapai minus 10%-11%. Konsumsi listrik terbesar berasal dari sistem Jamali dengan persentase mencapai 72%, yang didominasi dari sektor industri dan bisnis.
"Di Jamali trennya masih negatif, namun akhir Agustus pertumbuhan bisnis dan industri semakin memberikan nuansa positif, empat bulan terakhir kami jaga minus maksimal 2%," jelasnya.
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyebut bahwa kinerja PLN masih bagus, sehingga meski dilakukan penurunan tarif tidak berdampak signifikan pada kinerja PLN.
Penurunan BPP menurutnya sekitar 65%-70% dipengaruhi oleh energi primer dari biaya pembangkit tenaga listrik. Ini artinya, jika sampai akhir tahun harga energi primer tidak ada lonjakan, berarti beban PLN masih akan bisa diatasi.
"Salah satu alasan di balik Kepmen turunkan tariff adjusment karena kinerja PLN Semester I tidak seburuk yang diperkirakan," ungkapnya.
Berdasarkan laporan keuangan PLN pada semester I 2020, laba periode berjalan yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk mencapai Rp 251,61 miliar, turun drastis dari pencapaian laba Rp 7,3 triliun pada periode yang sama tahun lalu.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Tagihan Listrik Bengkak, Pelanggan Bisa Mencicil ke PLN