
Kapasitas Isolasi-ICU RS DKI di Atas Normal, Apa Kata Dokter?

Jakarta, CNBC Indonesia - Kapasitas sejumlah rumah sakit rujukan di ibu kota menjadi perbincangan dalam beberapa waktu belakangan. Sebab, per 28 Agustus 2020, persentase keterpakaian isolasi mencapai 69%, sedangkan persentase keterpakaian ICU menembus 77%. Tingkat keterpakaian itu melebihi level aman, yaitu 60%.
Dokter Spesialis Paru Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan dr. Erlina Burhan mengatakan, jika kasus konfirmasi positif Covid-19 yang dirawat bertambah terus maka RS dan petugas kesehatan akan kewalahan. Penambahan RS memang dimungkinkan, namun tetap harus dengan persiapan untuk fasilitas dan SDM yang sebanding.
"Strategi yang terbaik adalah memutus rantai penularan di masyarakat. Meningkatkan imunitas sehingga walaupun tertular, gejalanya ringan saja," kata Erlina kepada CNBC Indonesia, Rabu (02/09/2020).
Ia menegaskan, aspek yang terpenting bukan hanya meningkatkan jumlah tes semata, namun juga persiapan fasilitas, tenaga kesehatan, hingga upaya pemutusan rantai yang maksimal.
Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan pemerintah sudah berupaya untuk menekan agar kapasitas keterpakaian isolasi dan keterpakaian ICU.
Wiku menjelaskan pemerintah akan mendorong agar angka tersebut bisa diturunkan hingga di bawah 60% dengan berbagai cara. Salah satunya, dengan memindahkan pasien ke Wisma Atlet.
"Kasus-kasus yang sedang dan ringan di pindahkan ke rumah sakit Wisma Atlet sehingga jumlah tempat tidur untuk ICU dapat dimanfaatkan pasien Covid-19 lainnya," katanya.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan akan meningkatkan kapasitas RS rujukan sehingga bisa menangani semua pasien yang harus dirawat. Saat ini, tingkat keterisian. Untuk itu akan ditambah lagi kapasitas tempat tidur di ICU maupun di ruang isolasi RS.
"Ya nambah saja karena di Jakarta ada banyak RS ada 190, jadi kami akan tambah masuk dalam sistem RS rujukan," katanya.
Jumlah kasus aktif
Selain tren peningkatan kasus konfirmasi positif, kasus aktif di tanah air juga menjadi sorotan. Anggota Tim Pakar Satgas Penanganan Covid-19 Dewi Nur Aisyah mencatat jumlah kasus aktif Indonesia saat ini adalah 23,7% atau sebanyak 42.0009 kasus.
"Jumlah kasus aktif artinya adalah jumlah orang yang sedang sakit. Bisa di RS atau isolasi mandiri. Kalau lihat angka, jumlah aktif di bawah rata-rata dunia yang sebesar 26,6%," ujarnya di Graha BNPB Jakarta, Rabu (2/9/2020).

Dia mengatakan, saat kasus konfirmasi positif tinggi, otomatis kebutuhan penanganan kesehatan juga tinggi, sehingga bisa membuat kelebihan kapasitas di RS. Dia mengungkapkan, kasus positif yang tinggi mulai terjadi lagi di minggu terakhir Agustus 2020.
"Berdasarkan time series, sejak Maret sampai Agustus kadang naik bisa turun. Ada kondisi penurunan Maret-April-Mei. 30 Agustus sekitar 23,64%. Jadi kasus kita sudah pernah minimal 22,7% tapi karena ada kenaikan beberapa hari terakhir sehingga terakhir 30 agustus 23,64%," kata Dewi.
Selajutnya dia juga mengatakan terkait dengan angka positivity rate di tingkat nasional. Positivity rate adalah jumlah orang positif yang diperiksa dibagi dengan jumlah orang-orang yang diperiksa.
"Kenapa penting melihat angka ini? Melihat adanya spike, tingkatan ada puncak-puncak di hari itu, dari sekian jumlah orang diperiksa ada banyak yang positif. Semakin banyak yang positif itu alert, menjadi catatan, bagaimana memutus rantai penularan," ujar Dewi.
Adapun berdasarkan Tim Pakar Gugus Tugas Covid-19, positivity rate dalam kurun tiga bulan ke belakang terjadi peningkatan. Perinciannya Juni 12,17%, Juli 13,75% dan Agustus 16,17%. Hal ini terjadi karena penularan di masyarakat semakin tinggi. Targetnya, angka ini bisa sesuai dengan standar WHO yaitu kurang dari 5%
"Kita harus pahami, positivity rate lebih banyak dari pasien yang datang ke RS, Karena beberapa daerah baru active case finding, rata-rata orang yang datang ke RS persentase lebih dari 60%-70%," kata Dewi.
Lebih lanjut, dia menyebut 4 dari 5 wilayah dengan kenaikan kasus tertinggi selama sepekan pada akhir Agustus terjadi di Pulau Jawa.
"Jakarta, Jabar, Jatim, Jateng, masuk ke dalam empat provinsi kasus tertinggi pada pekan kemarin. Jika dibanding kasus pekan sebelumnya kenaikan 36% bahkan ada yang lebih dari dari 100%," ujarnya di Graha BNPB Jakarta, Rabu (2/9/2020).
Tercatat 5 wilayah dengan kenaikan kasus tertinggi hingga 30 Agustus 2020 adalah Jakarta (naik 36,9%), Jawa Barat (naik 137,8%), Jawa Timur (naik 20,8%), Jawa Tengah (naik 56,4%) dan Kalimantan Timur (naik 39,2%).
"Bisa jadi, efek libur panjang kenaikan kasus, terutama di pulau Jawa. Apalagi mobilitas di pulau Jawa tinggi sekali. Adanya mobilitas penduduk meningkatkan risiko penularan," kata Dewi.
Menurut dia, mobilisasi yang terjadi saat libur panjang tersebut tak lantas langsung terlihat dalam waktu 1-2 hari. Namun, ada jeda hingga 2-3 minggu baru terlihat ada kenaikan. Meski begitu, di beberapa wilayah ada kenaikan karena klaster pesantren dan industri.
"Banyuwangi misalnya, menjadi salah satu kota/kabupaten penyumbang kasus tertinggi minggu akhir Agustus, tadinya 85 kasus naik jadi 500 karena klaster pesantren," ujar Dewi.
Dia menambahkan, DKI Jakarta masih menjadi wilayah dengan catatan kasus tertinggi. Menurut dia, kasus positif di Jakarta, terbanyak adalah pasien yang datang ke RS karena merasa ada gejala.
(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kasus Harian Covid di Indonesia Meroket, Tambah 802 Hari ini