Ini Tanda-tanda Indonesia (Mungkin) Jatuh ke Jurang Resesi

Tirta Gilang C, CNBC Indonesia
02 September 2020 13:32
Ilustrasi Resesi Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Resesi Indonesia. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Jumlah anggota world recession club tiap harinya semakin bertambah. Kini sudah 44 negara yang terjerembab di jurang resesi dengan yang paling baru ada Brazil dan Australia. Melihat perkembangan ekonomi domestik, kemungkinan RI resesi semakin tinggi. 

Berbagai indikator perekonomian yang ada menunjukkan bahwa ekonomi RI kemungkinannya kecil untuk selamat dari resesi. Output perekonomian domestik diperkirakan masih akan terkontraksi di kuartal ketiga.

Kemarin (1/9/2020), Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan terjadi deflasi sebesar 0,05% (mom) di bulan Agustus. Ini menandai deflasi dalam dua bulan berturut-turut. Deflasi yang terjadi bahkan lebih besar dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia di angka 0,01% dan angka perkiraan BI di 0,04%.

Inflasi tahun kalender tercatat 0,93% dan inflasi secara tahunan berada di 1,32%. Ini berarti inflasi berada di bawah target yang dipatok BI di 3% plus minus 100 basis poin (bps).

Inflasi inti juga tercatat rendah. Pada bulan lalu inflasi inti hanya sebesar 0,29% (mom) dan 2,03% (yoy). Baik deflasi maupun inflasi tipis, keduanya sama-sama mengindikasikan bahwa kekuatan permintaan (demand side) masyarakat belum pulih, di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi.

Kekuatan permintaan ini tentunya akan dibentuk oleh daya beli masyarakat yang kokoh. Namun akibat pandemi jutaan pekerja harus rela terkena PHK dan dirumahkan. Alhasil pendapatannya berkurang dan daya beli tergerus.

Fenomena penurunan atau kontraksi konsumsi rumah tangga sebesar 5,51% (yoy) pada kuartal kedua yang membuat ekonomi RI anjlok 5,32% (yoy) masih menjadi ancaman nyata bagi output perekonomian RI ke depannya. Pasalnya lebih dari 55% dari pos ini menjadi kontributor utama struktur PDB RI. 

Untuk menyelamatkan daya beli masyarakat serta mendongkrak ekonomi, pemerintah telah menebar lebih dari Rp 270 triliun bantuan sosial (bansos) yang dialokasikan untuk Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako, subsidi listrik hingga BLT untuk karyawan swasta bergaji di bawah Rp 5 juta per bulan.

Namun efektivitas pemberian bansos ini sangatlah tergantung dari banyak hal mulai dari skema, alokasi, data hingga mekanisme distribusi. Nah, masalah utama yang sering dijumpai adalah persoalan data dan juga mekanisme distribusi. 

Masalah data saja, pemerintah mengakui bahwa daftar penerima bansos belum diupdate sejak 2015. Tentu ini juga akan sangat berpengaruh terhadap apakah penerima bansos ini tepat sasaran atau tidak. 

Data yang lama tidak di update serta sering terjadinya konflik dan kecurangan dalam mekanisme distribusi bansos tentunya akan menurunkan efektivitas dari kebijakan tersebut. Inilah yang mengkhawatirkan, karena bisa berujung pada gagal terangkatnya daya beli masyarakat dan ekonomi Tanah Air.

Apabila melihat ke indikator lain seperti indeks keyakinan konsumen (IKK) yang dirilis BI pada periode bulanan juga mengindikasikan konsumen masih belum optimis dalam memandang perekonomian.

Hal tersebut terlihat dari angka IKK bulan Juli yang berada di bawah 100. Artinya konsumen masih pesimis. Konsumen yang pesimis akan mengerem belanjanya dan lebih memilih untuk menabung. Hasilnya bisa ditebak, roda perekonomian masih melambat.

HALAMAN SELANJUTNYA > Jadi RI Bakal Join World Recession Club Nih?

Beralih ke aktivitas perdagangan, BPS melaporkan ekspor RI Juli turun 9,9% (yoy). Ekspor migas, produk industri dan pertambangan anjlok signifikan. Turunnya harga minyak dan batu bara akibat lemahnya permintaan menjadi faktor pemicu utama anjloknya ekspor. 

Pada periode Januari-Juli 2020, ekspor RI tercatat mencapai US$ 85,4 miliar atau turun 3,96% (yoy) dari periode yang sama tahun lalu sebesar US$ 88,97 miliar. 

Beralih ke impor, pada bulan Juli impor RI masih tercatat mengalami kontraksi yang dalam hingga 32,55% (yoy). Impor barang konsumsi, bahan baku dan barang modal semuanya terkontraksi. Penurunan impor yang paling dalam terjadi pada impor bahan baku dan barang modal yang terkontraksi masing-masing 34,5% (yoy) dan 29,2% (yoy).

Dalam tujuh bulan pertama tahun ini, impor RI anjlok lebih dalam dari ekspornya. BPS mencatat pada periode Januari-Juli impor RI mencapai US$ 72,9 miliar, turun 14,8% (yoy) dari periode yang sama tahun lalu di angka US$ 85,6 miliar. 

Memang secara neraca dagang menjadi surplus. Namun karena impor RI kebanyakan ditopang oleh bahan baku dan barang modal, maka anjloknya impor ini tentu akan sangat mempengaruhi kegiatan produksi dan juga investasi di Tanah Air.

Apabila melihat angka PMI manufaktur RI bulan Juli memang sudah berada di atas 50 yang artinya sektor ini sudah ekspansif setelah mengalami kontraksi sejak Maret lalu. Di bulan Juli angka PMI manufaktur Indonesia berada di posisi 50,8.

Angka PMI memang membaik seiring dengan pelonggaran pembatasan mobilitas publik yang dilakukan pemerintah terutama di bulan Juni. Namun relaksasi yang diberikan pemerintah.bukan tanpa konsekuensi.

Kembali naiknya mobilitas publik ini juga dibarengi dengan lonjakan kasus baru infeksi Covid-19. Pada pekan lalu angka pertambahan kasus baru Covid-19 di RI bertambah 32,9% dibanding pekan sebelumnya. 

Dengan terus merebaknya pandemi di Tanah Air yang tak kunjung usai ini, ancaman kontraksi output di kuartal ketiga menjadi semakin nyata. Apabila hal tersebut terjadi maka Indonesia sah mengalami resesi karena terkontraksi dua kuartal berturut-turut dan bergabung dengan 44 negara lain di world recession club.

Halaman Selanjutnya >> Kecemasan Jokowi, Pesimisme Sri Mulyani

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sepertinya mulai khawatir dengan kemungkinan ekonomi Indonesia masuk ke jurang resesi seperti yang dialami banyak negara di dunia. Ini merupakan pernyataan kesekian kali dari Presiden yang khawatir dengan masalah ekonomi yang terdampak pandemi corona (covid-19).

Kecemasan tersebut disampaikan Jokowi saat memberikan pengarahan dalam rapat terbatas dengan para gubernur di Istana Kepresidenan Bogor, Jawa Barat, seperti dikutip Rabu (2/9/2020)
"Berkaitan dengan ekonomi, kita tahu kuartal I-2020 kita tumbuh 2,97%, negara lain sudah minus. Tapi di kuartal II, kita pada posisi -5,3%. Sudah minus," tegas Jokowi.

Eks Gubernur DKI Jakarta itu mengaku pemerintah Indonesia masih memiliki waktu satu bulan untuk menghindarkan perekonomian Indonesia dari ancaman resesi yang ada di depan mata.

"Untuk itu, kuartal ketiga, yang kita masih punya waktu satu bulan yaitu Juli, Agustus, September. Di September ini kita masih ada kesempatan. Kalau kita masih berada pada posisi minus artinya kita masuk resesi," tegasnya

Maka dari itu, kepala negara meminta seluruh jajarannya untuk mempercepat alokasi belanja. Baik itu yang berkaitan dengan belanja barang, belanja modal, hingga belanja bantuan sosial.
"Betul-betul disegerakan sehingga bisa meningkatkan konsumsi masyarakat dan meningkatkan ekonomi di daerah," jelasnya.

Lantas, apa yang membuat Jokowi cemas terhadap potensi terjadinya resesi?

Dalam kesempatan tersebut, Jokowi sempat menyampaikan data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) per 27 Agustus. Serapan belanja daerah pada periode tersebut baru mencapai 44%.

"Untuk belanja APBD masih 44%, dan untuk belanja kabupaten dan kota mencapai 48,8%. Hati-hati mengenai ini. Angka ini saya kira bisa kita lihat, belanja barang dan jasa realisasi berapa, belanja modal berapa, bansos berapa," jelasnya.

Jokowi lantas menyebutkan sejumlah daerah yang realisasi belanja daerahnya masih cukup mengkhawatirkan. Meskipun tidak secara spesifik, namun angka-angka yang disampaikan kepala negara perlu dicermati dengan seksama.

"Sumatera Utara baru berapa persen, Bengkulu juga dilihat baru berapa persen, Sumatera Barat sudah berada di atas 50%. Saya kira angka ini betul-betul kita cermati, DKI jakarta barang dan jasa sudah tinggi 70%," jelasnya.

"Yang lain yang masih di angka 10%, 15%, apalagi bantuan sosial masih 0% itu betul-betul dilihat benar angka-angka ini. Realisasi APBD seperti ini setiap hari saya ikuti semua provinsi, kabupaten, kota kelihatan angka-angkanya," katanya.

Pesimisme Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati makin gamblang memproyeksikan ekonomi Indonesia di kuartal III-2020 tumbuh minus. Dengan proyeksi tersebut Indonesia masuk jurang resesi.



"Dengan bacaan dan analisa di kuartal II-2020 dan terutama aktivitas ekonomi, pemerintah Kemenkeu proyeksi di 2020 adalah minus 1,1% hingga 0,2%. Lower end dari prediksi kita, menunjukkan bahwa mungkin di kuartal III-2020 kita mungkin masih di negatif growth dan kuartal IV masih dalam zona sedikit di bawah netral."

Sri Mulyani menyampaikan hal ini saat rapat di Badan Anggaran DPR, Rabu (2/9/2020).

Menurut Sri Mulyani, ekonomi baru akan bangkit di 2021 mencapai 4,5%-5,5%. Ini didasarkan momentum yang makin baik.


(twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bom Covid Lebaran Meledak, Ekonomi RI Terancam Lagi!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular