Begini Bunyi Ramalan Kelam Nasib Batu Bara Tahun Ini

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
28 August 2020 15:40
batu bara
Foto: Reuters

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2020 menjadi masa kelam untuk harga komoditas, tak terkecuali batu bara. Pandemi Covid-19 membuat permintaan batu bara global drop sehingga mengerek turun harganya.

Rata-rata harga batu bara termal kontrak acuan Newcastle di sepanjang Agustus ini dibanderol di US$ 51,2/ton. Harga batu bara telah anjlok 27% dibandingkan dengan rata-rata harga di bulan Januari yang berada di US$ 70,3/ton.

Pada saat yang sama, harga batu bara acuan (HBA) RI juga ikut merosot tajam. Kementerian ESDM mematok HBA bulan Januari di US$ 65,93/ton. Untuk bulan Agustus, HBA ambles 23,6% dari Januari menjadi US$ 50,34/ton. Kini harga batu bara berada di level terrendahnya dalam empat tahun terakhir.

Anjloknya harga batu bara tentu tak terlepas dari lemahnya permintaan terhadap komoditas ini. Lockdown yang masif diterapkan di banyak negara di dunia membuat konsumsi listrik terutama di sektor komersial dan industri turun.

Dalam rilis laporan terbarunya yang bertajuk Global Energy Review 2020, badan energi internasional (IEA) memperkirakan permintaan batu bara global diproyeksikan turun 8% dibanding tahun 2019. Ini merupakan penurunan paling tajam sejak perang dunia kedua (PD II).

IEA memperkirakan permintaan batu bara China sebagai konsumen terbesarnya di tahun ini bakal turun 5%. Penurunan permintaan batu bara juga akan dialami oleh negara-negara lain, seperti halnya India yang menjadi konsumen terbesar kedua setelah China.

Perlambatan aktivitas ekonomi global disertai dengan kelimpahan tinggi dan harga gas yang murah memicu banyak negara beralih dari batu bara ke gas.

Pandemi Covid-19 juga dimanfaatkan sebagai momentum untuk mendongkrak pangsa pasar sumber energi lain yang lebih ramah lingkungan. Hal ini banyak dilakukan di negara-negara terutama Eropa.

Di belahan dunia lainnya, permintaan batu bara akan menurun tajam pada tahun 2020. Bahkan di Asia Tenggara, wilayah dengan pertumbuhan tercepat dalam beberapa tahun terakhir, di mana pembangkit listrik tenaga batu bara dibatasi oleh permintaan listrik yang lebih rendah, terutama di Malaysia dan Thailand.

"Kami juga memperkirakan penurunan permintaan batu bara yang signifikan di negara-negara maju: sebesar 25% di Amerika Serikat, sekitar 20% di Uni Eropa, dan 5% hingga 10% di Korea dan Jepang." tulis IEA dalam laporannya.

Demand Coal

Change in Coal Demand

Beralih ke dalam negeri, konsumsi batu bara domestik juga ditopang oleh konsumsi listrik maupun industri seperti pembuatan pupuk. Pada semester I tahun ini konsumsi listrik masih tumbuh 0,95% (yoy).

Pertumbuhan konsumsi listrik yang minimalis ini ditopang oleh kenaikan konsumsi listrik rumah tangga yang melonjak hampir 10% akibat kenaikan aktivitas di dalam rumah. Namun tuntuk konsumsi listrik di sektor komersial dan industri masing-masing turun berada di kisaran masing-masing 7% (yoy).

Ketika permintaan sedang lesu, pasokan batu bara justru berlimpah. Ini menjadi pukulan ganda bagi harga komoditas unggulan Negeri Kanguru dan Indonesia. Argus Media melaporkan kontraksi penjualan batu bara RI lebih dalam dari penurunan produksinya.

Berdasarkan data kementerian ESDM, Indonesia memproduksi 324,4 juta ton batu bara atau rata-rata 46,3 juta ton/bulan selama Januari-Juli. Sementara dari sisi volume penjualan pada periode yang sama tercatat mencapai 286.1 juta ton atau 40,9 juta ton/bulan.

Dengan begitu, produksi batu bara Indonesia turun sekitar 4,2 juta ton/bulan pada Januari-Juli, tetapi penjualan turun sebesar 11,6 juta ton/bulan selama periode yang sama.

Produksi Indonesia telah menunjukkan tanda-tanda pelemahan dalam beberapa bulan terakhir dan beberapa produsen besar telah merevisi turun panduan tahunan mereka. Namun masih ada juga para penambang lain lebih bullish dan pemerintah sejauh ini masih mempertahankan target tahunannya.

Permintaan domestik diperkirakan turun 28 juta-38 juta ton dalam setahun menjadi 100 juta-110 juta ton pada 2020, yang membuat surplus ekspor berada di kisaran 440 juta ton -450 juta ton.

Namun untuk mencapai batas bawah kisaran ini, ekspor Indonesia perlu mencapai rata-rata 40,5 juta ton/bulan pada bulan Agustus-Desember, yang berarti 6,5 juta ton/bulan lebih tinggi dari pada bulan Januari-Juli dan 2,4 juta ton/bulan lebih tinggi dari pada bulan Agustus-Desember tahun lalu.

Ini jelas bukan tugas yang mudah mengingat permintaan global sedang loyo-loyonya. Asosiasi (APBI) memperkirakan akan terjadi penurunan penjualan batu bara RI sebesar 85 juta ton dari tahun lalu.

Ini berarti volume ekspor tahunan akan mendekati 405 juta ton, atau 33,5 juta ton/bulan selama Agustus-Desember, yang kemungkinan akan menambah kelebihan pasokan saat ini dan membuat harga tertekan.

Ketidakpastian yang tinggi seputar pandemi Covid-19 masih menjadi risiko utama yang membayangi prospek batu bara untuk tahun depan. Selain itu kebijakan di negara-negara konsumen terbesarnya seperti China dan India juga turut berdampak pada dinamika supply & demand

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Alert! Formula Harga Batu Bara RI Bakal Diubah, Ini Alasannya

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular