Anak Buah Sri Mulyani Bicara RI Negara Maju 2045, Sanggup?

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
16 August 2020 18:40
Suasana gedung bertingkat di Kawasan Jakarta, Selasa (19/8/2018). Pemerintah menetapkan pertumbuhan ekonomi di 2019 sebesar 5,3% yang didasarkan dengan outlookpertumbuhan di 2017 yang sebesar 5,2%. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Ilustrasi gedung bertingkat di Jakarta (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC IndonesiaIndonesia memiliki target menjadi negara maju pada tahun 2045 mendatang. Namun, untuk mengejar target tersebut tentu tidak mudah. Banyak pekerjaan rumah terkait perekonomian yang harus diselesaikan. Belum lagi ditambah dengan pandemi Covid-19 yang membuat pertumbuhan ekonomi menurun.

Staf Khusus Menteri Keuangan Bidang Kebijakan Fiskal dan Makroekonomi Masyita Crystallin mengatakan reformasi struktural diperlukan dalam rangka mengubah fundamental ekonomi Indonesia agar sisi penawaran dan sisi permintaan meningkat, dan ekonomi dapat tumbuh di atas potensial.

"Dengan pandemi Covid-19, pertumbuhan potensial Indonesia, dan banyak negara lainnya mengalami penurunan. Sisi permintaan dan sisi penawaran perlu terus didorong untuk menjaga agar pereokonomian tidak mengalami kontraksi yang terlalu besar dan lama," ungkapnya dalam keterangan resmi yang diterima CNBC Indonesia, Minggu (16/08/2020).

Selain itu, dukungan terhadap dunia usaha juga diperlukan. Tujuannya agar pada saat pandemi Covid-19 berlalu, dunia usaha masih dapat bangkit kembali. Sebelum ada pandemi Covid-19, pertumbuhan potensial Indonesia berada di kisaran 5%.

Hal itu dipengaruhi oleh beberapa hal seperti produktivitas dan nilai tambah (value added) yang belum memadai. Perekonomian Indonesia, berdasarkan data, masih bergantung pada sektor komoditas, industri dan jasa yang memiliki nilai tambah rendah.

Lebih lanjut, Masyita mengatakan, untuk mencapai menjadi Indonesia menjadi negara maju di tahun 2045 sebagaimana visi pemerintah, pertumbuhan ekonomi perlu ditingkatkan di atas potensial.

"Meningkatkan pertumbuhan ekonomi di atas potensial dapat dilakukan dengan meningkatkan produktivitas dan daya saing perekonomian, sehingga dengan jumlah tenaga kerja yang sama, kita dapat menghasilkan lebih," jelasnya.

Peningkatan daya saing dapat ditempuh melalui beberapa perbaikan struktural, salah satunya dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Menurut Masyita, pengeluaran di bidang pendidikan sebetulnya tergolong memadai, yaitu 20% dari APBN.

"Dengan penyerapan yang optimal, kebijakan ini dapat meningkatkan sumber daya manusia sehingga produktivitas tenaga kerja Indonesia dapat bersaing dibandingkan dengan negara peers," ungkapnya.

Beberapa kendala menghambat daya saing Indonesia, seperti biaya logistik yang cukup tinggi. Pembangunan infrastruktur yang telah digenjot beberapa tahun ke belakang, menurut Masyita, dapat menjadi solusi untuk mengatasi hal tersebut ke depannya.

Selain itu, struktur ekonomi pun perlu diubah untuk menyasar sektor-sektor dengan nilai tambah tinggi. Hilirasi sektor pertambangan misalnya, telah mulai dilakukan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah di sektor ini.



Meski demikian reformasi struktural tidak bisa dalam waktu singkat mengubah sektor-sektor ekonomi yang selama ini dominan. Untuk diversifikasi sektor, solusi yang dapat dilakukan dengan meningkatkan nilai tambah dari sektor-sektor baru lainnya.

Hal lain yang juga perlu dilakukan adalah reformasi di bidang pertanian. Masyita menilai sektor ini masih dapat menjadi penyumbang PDB dan tenaga kerja terbesar, dan merupakan sektor yang dapat menjadi "shock absorber" saat kontraksi ekonomi atau krisis terjadi.

Ia mencontohkan pada krisis tahun 1997, di mana banyak pengangguran yang beralih kembali ke desa dan masuk ke sektor pertanian. Oleh karena itu, kata Masyita, di masa pandemi ini, sektor pertanian juga menjadi peredam dampak krisis.

"Sektor ini adalah salah satu sektor yang masih dapat tumbuh positif di kuartal kedua, di saat sektor-sektor utama lain mengalami kontraksi," tuturnya.

Selama ini, pertumbuhan ekonomi Indonesia sering mengalami kendala karena ketidakseimbangan sisi ekspor dan impor yang membuat defisit neraca perdagangan melebar, di saat pertumbuhan ekonomi berada di atas pertumbuhan ekonomi potensial. Ini dikarenakan nilai tambah produk di sisi ekspor lebih rendah dibandingkan nilai tambah di sisi impor.

"Sehingga pada saat pertumbuhan ekonomi naik, pelebaran defisit neraca perdagangan menyebabkan pelemahan rupiah. Ini membuat impor bahan baku dan modal malahmenarik pertumbuhan ekonomi kembali ke bawah," tuturnya.

Oleh karena itu, Masyita juga menilai ketidakseimbangan ini perludi perbaiki. Salah satunya dengan hilirasi sektor-sektor utama sehingga meningkatkan nilai tambah.

Penggunaan energi baru terbarukan juga sejalandengan penyeimbangan sisi ekspor dan impor ini. Sebab, net impor energi masih merupkan bagian yang signifikan dalam defisit perdagangan Indonesia.

Ke depannya, Masyita menilai potensi pertumbuhan ekonomi Indonesia sangat tinggi. Populasi yang masih berusia muda (demographic dividend), potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia serta kebijakan pemerintah yang pruden dapat merealisasikan peningkatan ekonomi Indonesia di atas potensialnya.

"Semua ini perlu dilakukan secara simultan untuk mencapai Indonesia maju di tahun 2045," tegasnya.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Antisipasi Covid-19, Pemerintah Blokir Anggaran Kementerian

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular