
Ternyata Masih Ada Perusahaan Migas Untung Saat Harga Jatuh

Jakarta, CNBC Indonesia - Industri hulu migas tidak bisa lepas dari dampak pandemi corona (Covid-19) yang telah menyasar semua sektor. Mantan Wakil Menteri Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar menjabarkan mengenai skenario industri migas agar siap menghadapi semua kondisi.
Ia menjelaskan di dalam dunia energi khususnya migas akan selalu menghadapi potensi up and down. Menurutnya tidak ada di dalam sejarah bahwa industri migas selalu berada di atas. Saat berada di kondisi bawah seperti sekarang ini biasanya perusahaan minyak besar dan bagus sudah menyiapkan skenario.
"Antisipasi keadaan. Ini extraordinary? Setuju. Apakah tidak dipersiapkan saya rasa nggak juga. Mereka nggak tahu persis masa turun dan naik, ada perusahaan yang siap dengan mitigasi dan tidak siap," jelas Arcandra dalam diskusi Rabu petang, (29/07/2020).
Secara teori perusahaan minyak yang bagus pada saat harga minyak naik maka sektor hulu akan memberikan kontribusi besar di perusahaan. Namun pada saat harga minyak turun maka sektor hilir yang memberikan kontribusi besar. Bagi perusahaan besar mestinya dari sisi dua sektor ini seimbang.
"Ini akan selalu terjadi up dan down. Bagaimana perusahaan menyiapkan migitasi perubahan harga minyak di puncak maupun di bawah. Nggak juga (selalu perusahaan besar) ada perusahaan menengah yang disebut dengan independent oil company mereka juga punya investasi selain di hulu juga siap-siap di hilir," jelasnya.
Lalu jika perusahaan minyak sudah punya skenario, apakah insentif masih diperlukan?
Soal hal ini Arcandra memberikan ilustrasi jika orang sedang dalam keadaan susah apakah tidak boleh meminta tolong? Terkadang skenario terburuk dari perusahan minyak adalah saat harga minyak berada di posisi US$ 40 atau US$ 45 per barel, namun ternyata kenyataannya ada di posisi US$ 30 per barel.
"Di luar ekspektasi, siapa yang bisa prediksi down sampai US$ 30an, ada nggak prediksi harga US$ 40an. Bagi company yang tidak siap dengan harga di bawah perkiraan mereka minta bantuan," ucapnya.
Misalnya saja dengan aset deep water di harga US$ 50 per barel masih bisa bertahan, lalu di bawah US$ 40 per barel mereka sudah kelimpungan. "Ada company di darat dengan harga US$ 30an pun masih make money," jelasnya.
Arcandra menyebut tidak ada satupun negara dan kelompok negara yang mampu mengontrol harga migas, oleh karena itu satu-satunya langkah yang bisa diambil adalah dengan efisiensi. Efisiensi ini bisa didapatkan dengan perbaikan dari sisi teknologi, sistem dan sumber daya manusia.
"Price migas tidak bisa dikontrol, efisiensi bisa. Di cari-cari lah itu di setiap lini, apakah manusia yang biasa hasilkan 10, di masa pandemi hasilkan 11, jangan sampai masa pandemi ini hanya 7-8,setelah melakukan adaptasi dan adopsi dari sisi manusia, dari produktivitas naik kembali," tuturnya.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bisnis Karaoke Bangkit dari 'Kubur', Langsung Dihantam Pajak