Utang BUMN Menumpuk, Begini Solusi Bendahara PBNU

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
28 July 2020 17:38
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi (depan kiri) dan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono ( depan belakang) bersama Menteri BUMN Erick Thohir  (belakang kiri) dan  Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan (belakang kanan) melakukan Seremonial Pengecoran Closure Tengah Jembatan Lengkung  Bentang Panjang Kuningan Kereta Api Ringan / Light Rail Transit Terintegrasi Wilayah Jabodebek di kawasan Gatot Subroto, Senin (11/11/2019). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto
Foto: Proyek LRT Jabodebek yang dikerjakan oleh sejumlah BUMN karya (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto

Jakarta, CNBC Indonesia - Bendahara Pengurus Besar Nahdlatul 'Ulama (PBNU) Harvick Hasnul Qolby angkat suara perihal utang yang dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Pendapat itu disampaikan Harvick merespons diskusi di ranah publik perihal utang BUMN yang dipicu kritik politikus PDIP Adian Napitupulu terhadap kinerja BUMN di bawah kepemimpinan Erick Thohir.

Baru-baru ini, Bank Indonesia (BI) merilis utang luar negeri (ULN) BUMN pada Mei lalu naik dobel digit dan lebih tinggi dibanding posisinya pada April. ULN BUMN pada Mei naik 19% (yoy) dan lebih tinggi dibanding posisi April yang hanya naik 16% (yoy).

ULN BUMN menyumbang 30% dari ULN swasta dalam negeri. Ketika ULN swasta hanya tumbuh 6,6% (yoy) bulan Mei, ULN BUMN justru melesat hingga nyaris 20%. ULN BUMN non-lembaga keuangan meningkat paling pesat hingga 25,5% dari tahun lalu. Jika mengacu pada Statistik Utang Luar Negeri (SULNI) BI, tren ini memang sejalan dengan ULN perusahaan nonkeuangan secara umumnya.

Harvick menjelaskan, tumpukan utang BUMN tidak lahir begitu saja. Ada sebuah proses yang panjang merentang dari era penjajahan Belanda.

"BUMN banyak berasal dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan eks Belanda serta beberapa perusahaan didirikan untuk memenuhi kebutuhan sesuai dengan kondisi pertumbuhan ekonomi saat itu," kata Harvick kepada CNBC Indonesia di Jakarta, Selasa (28/7/2020).

Menurut dia, sumber-sumber dana utang pengembangan BUMN banyak berasal dari penambahan modal negara (PMN) berupa uang kas maupun nonkas, utang, dan pemupukan dana internal perusahaan yang berasal dari laba. Namun, PMN dan utang menjadi sumber utama selama ini di sebagian besar BUMN-BUMN.

Harvick mengungkapkan, utang-utang yang digunakan untuk mengembangkan perusahaan berasal dari kredit jangka panjang, menengah dan pendek, baik berasal dari dalam maupun luar negeri. Pihak pemberi utang termasuk pemerintah, perbankan, organisasi keuangan seperti Bank Dunia, serta investor-investor melalui penjualan surat utang seperti obligasi, global bonds, MTN, RDPT (reksadana penyertaan terbatas) dan lain-lain.

"Dari utang itu, ada yang digunakan untuk investasi dalam memupuk aset serta untuk modal kerja. Permasalahan utang BUMN seperti juga perusahaan non-BUMN, permasalahan terkait utang BUMN pada dasarnya berawal dari mismatch antara rencana awal ketika menarik utang dengan realisasi proyek atau usaha yang dibangun atau dijalankan dengan dibiayai oleh utang tersebut," ujar Harvick.

Bendahara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Harvick Hasnul Qolbi  (Ist)Foto: Bendahara Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Harvick Hasnul Qolby (Ist)



Eks Ketua Lembaga Perekonomian PBNU itu mengungkapkan gap antara rencana dan realisasi ini bisa terjadi karena kondisi eksternal dan internal perusahaan, baik yang uncontrollable, controllable bahkan ada juga by design.

Faktor eksternal yang uncontrollable antara lain adalah terjadinya krisis, bencana alam, pandemik, dan sebagainya. Namun ada juga karena adanya perubahan kebijakan, di luar kendali perusahaan.

Sedangkan faktor yang controllable dan bahkan by design yang menyebabkan terjadinya mismatch bahkan double atau triple missmatches berasal dari antara lain mismatch jangka waktu (utang jangka pendek atau menengah digunakan untuk membiayai proyek jangka panjang), mismatch kurs (utang berupa mata uang asing untuk investasi atau usaha yang revenue-nya dalam mata uang lokal), mismatch penggunaan (utang seharusnya untuk modal kerja tetapi digunakan untuk membiayai yang lain seperti biaya administrasi dan umum), dan mismatch asumsi dalam perhitungan (tidak ada penyesuaian atau mitigasi risiko ketika terjadi mismatch antara asumsi-asumsi yang digunakan studi kelayakan dan realisasinya).

Harvick lantas mengingatkan, utang BUMN terutama nonkeuangan meningkat tajam sejak 2015. Mayoritas utang berdenominasi rupiah. Namun, dia bilang kalau itu dapat dipahami.

"Kita dapat memaklumi meningkatnya utang BUMN semenjak 2015 ditinjau dari sisi kemanfaatan pembangunan infrastruktur yang masif periode kepemimpinan Jokowi-JK. Infrastruktur untuk kesejahteraan rakyat. Perdebatan soal utang yang tidak substansial harus diakhiri apalagi debat antar pendukung Pak Jokowi. Kita sudah merasakan tahapan kemajuannya," kata Harvick.

Ke depan, Ia mendorong agar BUMN diperbaiki dengan inovasi model bisnis yang fokus pada core business. Faktor lain yang tidak kalah penting adalah kepemimpinan inovatif dalam tingkat global dan pengembangan digital, peningkatan investasi dan pengembangan talenta insan BUMN dengan pendidikan dan pelatihan.

"Kesalahan asumsi dan pelaksaan utang di masa lalu tidak boleh terulang lagi. Segera revitalisasi aset BUMN dan tuntaskan sengketa-sengketa yang ada untuk memperkuat modal BUMN. BUMN harus memberikan nilai tambah ekonomi dengan ditopang organisasi yang kuat agar dapat memberikan nilai strategis bangsa dan memaksimalkan pelayanan publik," ujar Harvick.


(miq/dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Potret Wamen Tiko 'Blusukan' Cek Proyek Depo LRT Jabodebek

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular