
Penjualan Ritel Anjlok Nyaris 17%, RI Hampir Pasti Kontraksi

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mencatat pertumbuhan penjualan eceran pada April mengalami kontraksi yang sangat dalam. Merebaknya wabah corona di Tanah Air menjadi pemicu anjloknya penjualan ritel dalam negeri.
Dalam rilis terbarunya Survei Penjualan Eceran (SPE) BI, pertumbuhan penjualan ritel bulan April 2020 tercatat minus 16,9% (yoy). Ini merupakan kontraksi paling dalam sejak Desember 2008.
Hampir seluruh pos penjualan ritel mengalami kontraksi. Pos yang paling dalam kontraksinya adalah penjualan bahan bakar -39% (yoy), barang budaya dan rekreasi sebesar -48,5% (yoy) dan barang lainnya seperti sandang sebesar -68,5% (yoy).
Penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di sebagian besar wilayah di Indonesia sejak awal April berbuntut pada kontraksi penjualan ritel. Mau bagaimana lagi, saat PSBB segala aktivitas seperti belajar, bekerja dan beribadah dari rumah masing-masing.
Mobilitas publik yang terbatas membuat penjualan bahan bakar jadi anjlok, mal, restoran hingga tempat pariwisata sepi pengunjung. Ini menjadi alasan mengapa penjualan bahan bakar, barang budaya dan rekreasi hingga sandang mengalami kontraksi yang sangat dalam.
Pembatasan mobilitas publik secara global memang membuat permintaan bahan bakar anjlok signifikan. Alhasil harga minyak mentah terjun bebas hingga lebih dari 50%. Bahkan untuk harga minyak mentah kontrak futures acuan Amerika Serikat (AS) sempat turun ke teritori negatif.
BI memprakirakan Indeks Penjualan Riil (IPR) bulan Mei masih akan terkontraksi. Bahkan lebih dalam. Menurut BI IPR atau penjualan ritel bulan Mei diperkirakan ambles hingga 22,9% (yoy).
Berbeda dengan bulan April yang di minggu pertama hingga minggu kedua mobilitas publik masih terlihat, memasuki bulan Mei seluruh provinsi di Tanah Air sudah terjangkit wabah dan PSBB pun berlanjut.
Kelanjutan PSBB ini membuat BI memperkirakan penjualan bahan bakar akan semakin terkontraksi sebesar -39,95 (yoy), barang rekreasi dan budaya -57,1% (yoy) dan barang lainnya seperti sandang ambles hingga 75% (yoy).
Mei bertepatan dengan bulan puasa Ramadan. Hari raya Idul Fitri pun jatuh di akhir Mei. Momentum puasa dan lebaran yang biasanya dapat mendongkrak konsumsi masyarakat pun tak terjadi tahun ini.
Tingkat inflasi pun bulan April dan Mei rendah. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi bulan April sebesar 0,07% (mom) dan Mei sebesar 0,08% (mom). Bahkan tingkat inflasi untuk pos makanan, minuman dan tembakau pun mengalami deflasi sebesar -0,32% (mom).
Tingkat inflasi memang masih berada di kisaran target BI. Namun rendahnya inflasi bisa mengindikasikan tergerusnya daya beli masyarakat. PSBB membuat pabrik tidak beroperasi, banyak UMKM yang juga gulung tikar dan pengangguran pun meningkat.
Konsumen pun menjadi pesimis dalam memandang kondisi ekonomi saat ini. Hal ini tercermin dari anjloknya Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) bulan April dan Mei yang sudah berada di bawah angka 100. Artinya konsumen tak lagi optimis, melainkan pesimis.
Ekonomi Indonesia sebenarnya lebih ditopang oleh konsumsi domestik. Berdasarkan data BPS, kontribusi konsumsi rumah tangga terhadap produk domestik bruto (PDB) pada kuartal I-2020 sebesar 58%.
Namun pos yang kontribusinya besar ini tumbuhnya melambat menjadi 2,8% (yoy) dari kuartal sebelumnya 5% (yoy), sehingga wajar saja ekonomi Indonesia pada kuartal pertama tahun ini tumbuh 2,97% (yoy) jauh di bawah konsensus CNBC Indonesia di angka 4,3%(yoy).
Melihat indikator-indikator yang ada seperti penjualan ritel yang terus mengalami kontraksi, konsumen yang makin pesimis, maka ekonomi Indonesia pada kuartal kedua bisa tumbuh minus alias terkontraksi.
Dalam paparan APBN KiTa melalui konferensi video, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan pada kuartal kedua tahun ini PDB Indonesia diperkirakan tumbuh -3,1% (yoy) sebelum akhirnya bisa rebound di kuartal ketiga.
Wabah corona belum usai di Indonesia. Pertambahan jumlah kasus baru beberapa hari terakhir masih tergolong tinggi di kisaran 1.000 kasus per hari. Hingga kemarin, jumlah kasus infeksi corona secara kumulatif di Tanah Air hampir mendekati angka 40 ribu atau tepatnya di 39.924.
Bank investasi global Morgan Stanley dalam studinya mengatakan jika wabah tidak mencapai puncaknya pada kuartal kedua, maka pemulihan ekonomi Indonesia akan berjalan lebih lambat dari yang diperkirakan yaitu pada kuartal ketiga tahun ini.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Penjualan Ritel RI Tumbuh, Tapi Melambat