
Konsumen Pandang Ekonomi RI Tambah Suram

Jakarta, CNBC Indonesia - Mei menjadi bulan yang berat bagi bangsa Indonesia. Optimisme konsumen Tanah Air semakin tergerus, malahan konsumen makin pesimis dalam memandang perekonomian RI saat ini.
Dalam rilis data terbaru Bank Indonesia (BI) mencatat Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) Tanah Air pada bulan Mei turun menjadi 77,8. Padahal April lalu BI masih mencatat IKK berada di angka 84,83. Merosotnya IKK di bawah angka 100 mengindikasikan bahwa konsumen RI semakin pesimis.
Indeks Kondisi Ekonomi saat ini (IKE) merosot tajam dari 62,81 pada April menjadi 50,75 bulan lalu. Ketiga komponen indeks ini yaitu indeks penghasilan saat ini, indeks ketersediaan lapangan kerja dan indeks pembelian barang tahan lama juga anjlok.
Hal ini mengindikasikan bahwa ekonomi Indonesia memang sedang bermasalah. Pandemi corona yang merebak secara global dan sampai ke dalam negeri adalah biang kerok ekonomi RI jatuh.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di kuartal I-2020 hanya 2,97% (yoy). Angka ini jauh di bawah konsensus CNBC Indonesia yang memperkirakan bahwa ekonomi RI di kuartal pertama masih dapat tumbuh di angka 4,3% (yoy).
Penyebab anjloknya pertumbuhan ekonomi RI adalah konsumsi rumah tangga yang hanya tumbuh 2,82% (yoy). Padahal pada kuartal I tahun lalu pos ini masih mampu tumbuh 5,02%.
Konsumsi rumah tangga merupakan penopang utama ekonomi Indonesia. Pada kuartal I-2020 saja kontribusinya mencapai 58% dari total PDB Indonesia, sehingga wajar saja kalau performa ekonomi langsung merosot tajam.
Dengan semakin pesimisnya konsumen di Tanah Air maka kinerja ekonomi di kuartal kedua bisa dipastikan akan lebih buruk dari kuartal pertama. Apalagi sejak awal April sebagian besar wilayah di Indonesia menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
PSBB membuat aktivitas ekonomi menjadi terhambat karena semua masyarakat dihimbau untuk belajar, bekerja dan beribadah dari rumah masing-masing. Pabrik menjadi tutup atau beroperasi dengan kapasitas rendah. Permintaan terhadap tenaga kerja melambat, angka PHK dan pekerja yang dirumahkan naik dan daya beli menurun.
Bahkan ketika bulan puasa dan lebaran, tingkat inflasinya tergolong rendah. BPS mencatat inflasi Mei berada di 0,07% secara month on month (mom) dan 2,19% (yoy). Pos makanan, minuman dan tembakau mencatatkan deflasi sebesar -0,32% (yoy) dan memberikan andil inflasi Mei sebesar -0,08%.
Indeks Ekspektasi Ekonomi (IEK) walau masih berada di atas 100, tetapi angkanya pun terus mengalami penurunan. BI mencatat angka IEK bulan Mei sebesar 104,86. Menurun dibanding bulan April yang berada di 106,85.
Data-data tersebut sudah mengindikasikan bahwa dampak pandemi corona terhadap ekonomi domestik tak bisa diremehkan. Pertumbuhan PDB di kuartal kedua bahkan dinilai bisa masuk teritori negatif.
Wabah corona di dalam negeri masih terus merebak dan masih jauh dari kata usai. Ketika PSBB di DKI Jakarta mulai dilonggarkan dan tes corona semakin digeber, angka pertambahan kasus per hari bertambah di kisaran 1.000 kasus per hari. Bahkan sempat rekor 1.241 kasus dua hari lalu.
Lembaga keuangan asal Jepang, Nomura dalam studinya mengatakan Indonesia termasuk ke dalam negara yang sangat berisiko terkena serangan wabah gelombang kedua. Nomura membagi 45 negara menjadi tiga kelompok.
Kelompok pertama merupakan kelompok yang on track menuju fase pemulihan karena pembukaan ekonomi tak menyebabkan lonjakan kasus baru yang signifikan. Kelompok ini dihuni oleh negara-negara seperti Australia, Prancis, Yunani, Italia, Spanyol, Jepang, Korea Selatan, dan Thailand.
Kelompok kedua merupakan mereka yang sudah melonggarkan pembatasan tetapi menunjukkan gejala awal gelombang serangan kedua. Di antaranya adalah Jerman, Malaysia, Filipina, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).
Nah, Indonesia berada di kelompok ketiga alias kelompok yang paling berisiko terjangkit lagi wabah. Bersama Indonesia ada negara-negara lain yang juga termasuk ke dalam kelompok ini seperti Argentina, Brasil, India, Meksiko, Singapura.
Jika mengacu pada laporan OECD yang terbaru ekonomi Indonesia tahun ini tumbuh negatif, alias mengalami kontraksi. OECD membuat dua skenario. Skenario pertama wabah corona hanya terjadi sekali di Indonesia. Jika skenario ini yang terjadi maka pertumbuhan PDB RI tahun ini akan -2,8%.
Namun jika gelombang kedua wabah terjadi maka pertumbuhan PDB RI akan terkontraksi lebih dalam hingga -3,9%. Jika wabah Covid-19 hanya terjadi sekali di Indonesia maka pada 2021 pertumbuhan PDB Indonesia diproyeksi berada di angka 5,2%. Namun jika gelombang kedua terjadi maka pertumbuhan PDB RI tahun depan diramal hanya 2,6%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Konsumen RI Pede & Doyan 'Jajan', PDB Bisa Tumbuh 5%?