Kilang Cilacap Jalan Sendiri, Apa Kabar CAD & Kas Pertamina?

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
27 May 2020 19:47
Mengintip Kilang Minyak
Foto: CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara

Jakarta, CNBC Indonesia - Harapan melihat pengembangan kilang Cilacap kian kabur setelah Saudi Aramco, investor utama revitalisasi kilang Cilacap, resmi mundur. Mimpi penurunan defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) pun berpeluang ambyar.

Wakil Direktur Utama (VP) Corporate Communication Pertamina Fajriyah Usman mengatakan Pertamina akan melanjutkan proyek Refinery Development Master Plan (RDMP) Cilacap secara mandiri, sembari mencari mitra baru pengganti Aramco.

"Pertamina akan melanjutkan RDMP Cilacap secara mandiri, sambil secara paralel akan dilakukan pencarian strategic partner," tuturnya saat dihubungi CNBC Indonesia, pada Selasa (26/05/2020).

Revitalisasi kilang tersebut sangat mendesak, karena mendongkrak produksi bahan bakar minyak (BBM) kilang Cilacap dari 348.000 barel per hari (bph) menjadi 400.000 bph. Secara total, kapasitas kilang nasional bakal terdongkrak dari 1,15 juta bph, ke 1,2 juta bph.

Cukupkah? Tentu saja tidak. Konsumsi BBM nasional saat ini berkisar 1,7 juta bph, sehingga proyek itu hanya bakal mengurangi impor BBM sebanyak 152.000 bph. Artinya, jikapun proyek tersebut tuntas, masih bakal ada kebutuhan impor BBM sekitar 500 juta bph.

Namun angka itu tentu mengurangi defisit perdagangan nasional, mengingat besarnya impor migas. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai impor migas mencapai US$ 21,88 miliar (Rp 322,84 triliun) sepanjang 2019, atau 12,8% dari total impor nasional tahun lalu.

Impor migas tersebut harus dihilangkan sepenuhnya, agar Defisit Transaksi Berjalan (Current Account Deficit/CAD) menyusut di bawah 1%. Per akhir 2019, CAD tercatat sebesar US$ 30,4 miliar atau 2,72% dari Produk Domestik Bruto (PDB).

Sebagaimana diketahui, Presiden Joko Widodo menargetkan embel-embel 'defisit' akan hilang dari transaksi berjalan nasional pada 2024. Cara yang ditempuh adalah menggenjot pariwisata, menggenjot ekspor, substitusi barang impor dengan produk lokal, dan membangun kilang BBM.

Sebagai catatan, CAD tahun ini dibidik berkisar antara 2,7%-2,8% masih dengan mengasumsikan proyek revitalisasi kilang Cilacap berjalan sesuai jadwal tahun ini. Dengan bubrah ataupun tertundanya proyek tersebut, peluang penghilangan CAD pun kian jauh panggang dari api.

Pendekatan Indonesia melalui Pertamina terhadap Saudi Aramco di proyek revitalisasi kilang Cilacap telah berlangsung lama, yakni sejak tahun 2014, tetapi terbentur pada selisih pendapat mengenai valuasi proyek. Pertamina mengajukan angka valuasi US$ 5,6 miliar, yang ditawar Aramco menjadi US$ 2,8 miliar. Kesepakatan tak kunjung tercapai. Buntu.

Kegagalan proyek kilang di Cilacap ini bukanlah yang pertama bagi Pertamina. Sebelumnya, Pertamina juga sempat berencana membangun kilang Bontang, dengan melibatkan konsorsium Oman dan Jepang.

Investasi pembangunan kilang tersebut diperkirakan mencapai US$ 10 miliar dengan target produksi sebanyak 300 ribu bph, dan diharapkan bisa beroperasi mulai tahun 2025. Namun, proyek ini tiba-tiba tidak berlanjut dan pertamina mencari “mitra baru”.

Kilang Tuban juga berpeluang bernasib sama. Menggandeng perusahaan minyak asal Rusia, Rosneft Oil Company, sebenarnya hanya terkendala persoalan teknis yakni pembebasan lahan. Dari total 849 hektare (ha) lahan yang dibutuhkan, baru 349 ha yang sudah bebas.

Di tengah proses pembebasan lahan, masyarakat setempat melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung (MA) atas keputusan pembebasan lahan miliknya. Jika gugatan itu dikabulkan dan pihak Pertamina kalah, maka kandas pula rencana kilang tersebut.

Ketika Pertamina mengatakan akan menggarap sendiri, sembari mencari mitra. Realisasinya tidaklah semudah itu karena nilai investasi Pertamina per tahun tidaklah sedikit. Tahun ini, nilainya sebesar US$ 7,8 miliar, atau naik 84% dari tahun sebelumnya US$ 4,2 miliar.

Ketika ingin menggarap proyek RDMP kilang Cilacap, Pertamina harus menyediakan dana mandiri setidaknya US$ 1,7 miliar (Rp 25 trilun) atau 30% dari total nilai proyek, yakni US$ 5,6 miliar. Sisanya baru bisa dibantu oleh perbankan.

Adakah dana tersebut tersedia di kas Pertamina? Memang ada, karena menurut laporan keuangan Pertamina per 2018, nilai kas dan setara kas di perusahaan pelat merah tersebut mencapai US$ 9 miliar. Rasio kas (cash ratio) tercatat sebesar 0,6 kali pada periode tersebut.

Ini merupakan batas aman yang agak minimum, karena patokan umum (rule of thumb) rasio kas yang ideal adalah di kisaran level 0,5 kali-1 kali. Rasio kas biasanya disorot investor untuk mengukur kemampuan perseroan membayar utang jangka pendek dengan kas internalnya.

Jika Pertamina mengeluarkan US$ 1,68 miliar untuk membayai proyek revitalisasi kilang Cilacap saja, maka posisi kas akan tergerus menjadi US 7,32 miliar, dan rasio kas bisa turun menjdi di bawah 0,5 kali, alias berada di posisi berbahaya.

Dengan demikian, mencari mitra pengganti merupakan solusi yang paling bisa diterima (feasible) alias tidak membahayakan neraca keuangan Pertamina. Jadi, siapakah atau adakah yang bakal menjadi pasangan Pertamina ke depan setelah Aramco mundur?

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular