
Jokowi Ajak Damai Corona, JK: Tapi Virusnya Tidak, Bagaimana?
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
20 May 2020 12:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Wakil Presiden ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla, buka suara mengenai wacana berdamai dengan Covid-19. Dia memperingatkan ganasnya virus ini sehingga tidak mungkin diajak berdamai.
"Virus ini ganas, tidak pilih-pilih siapa, tidak bisa diajak berdamai," kata Jusuf Kalla dalam sebuah diskusi virtual yang dikutip CNBC Indonesia, Rabu (20/5/2020).
JK, sapaan akrabnya, juga mempertanyakan penggunaan istilah berdamai. Sebab, dia berpendapat bahwa perdamaian hanya bisa terwujud jika kedua belah pihak sama-sama punya keinginan menyudahi perang.
"Kalau hanya kita ingin damai tapi virusnya tidak, bagaimana? Jadi istilah damai itu agak kurang pas sebenarnya. Karena damai itu kedua belah pihak," ujar JK.
"Tidak ada perdamaian bagi mereka, pokoknya kena bisa sakit, bisa mati. Tidak ada kita gencatan senjata, nanti tahun depan lagi kita mulai, enggak ada istilahnya," lanjutnya.
Kendati begitu, JK menerka, maksud pemerintah terkait perdamaian itu barangkali mengenai perubahan kebiasaan.
"Mungkin kebiasaan-kebiasaan kita yang harus diubah, itu yang dianggap kita hidup berbarengan, jadinya tetap pakai masker, cuci tangan terus, tapi tidak berarti kita berdamai, karena risikonya mati," tandasnya.
JK juga memberi contoh kebijakan sejumlah negara yang memilih melonggarkan protokol kesehatan. Salah satunya, lanjut JK, seperti yang dilakukan Swedia.
"Apa yang dilakukan di Swedia, yang tidak menekan lockdown dibandingkan dengan Finlandia, Norwegia. Tingkat kematian di Swedia 5 kali lipat dibanding dengan negara sekitarnya, akibat ingin mencoba herd immunity," tuturnya.
Menurutnya, boleh saja kebijakan itu diambil, namun sekali lagi dia mengingatkan risiko kematian. Apalagi, sejumlah lembaga internasional juga tidak merekomendasikan adanya herd immunity.
"Jadi jangan coba-coba yang begini. Korbannya banyak, pasti. Apakah kita ingin memilih itu? Silakan kalau ada yang mau memilih biar imun kena dulu, begitulah kira-kira. Negara apa yang ingin seperti itu? Itu juga tidak dianjurkan oleh WHO, itu belum pasti lagi imun, bisa saja mati," paparnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat berdamai dengan corona (COVID-19). Hal tersebut ditegaskannya kembali dalam Twitternya @jokowi pada Sabtu (16/5/2020).
Mengutip WHO, ia mengatakan bahwa kita harus hidup berdampingan dengan COVID-19. Alasannya karena virus ini tak akan segera menghilang dan tetap ada di tengah masyarakat.
Meski begitu, ia menuturkan berdampingan bukan berarti masyarakat diminta menyerah. "Tapi menyesuaikan diri," tulisnya dalam akun media sosial itu.
Dikatakannya ini adalah titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat. "Untuk dapat beraktivitas kembali sambil tetap melawan ancaman COVID-19 dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat," katanya lagi.
(miq/miq) Next Article Kasus Harian Covid di Indonesia Meroket, Tambah 802 Hari ini
"Virus ini ganas, tidak pilih-pilih siapa, tidak bisa diajak berdamai," kata Jusuf Kalla dalam sebuah diskusi virtual yang dikutip CNBC Indonesia, Rabu (20/5/2020).
JK, sapaan akrabnya, juga mempertanyakan penggunaan istilah berdamai. Sebab, dia berpendapat bahwa perdamaian hanya bisa terwujud jika kedua belah pihak sama-sama punya keinginan menyudahi perang.
"Tidak ada perdamaian bagi mereka, pokoknya kena bisa sakit, bisa mati. Tidak ada kita gencatan senjata, nanti tahun depan lagi kita mulai, enggak ada istilahnya," lanjutnya.
Kendati begitu, JK menerka, maksud pemerintah terkait perdamaian itu barangkali mengenai perubahan kebiasaan.
"Mungkin kebiasaan-kebiasaan kita yang harus diubah, itu yang dianggap kita hidup berbarengan, jadinya tetap pakai masker, cuci tangan terus, tapi tidak berarti kita berdamai, karena risikonya mati," tandasnya.
JK juga memberi contoh kebijakan sejumlah negara yang memilih melonggarkan protokol kesehatan. Salah satunya, lanjut JK, seperti yang dilakukan Swedia.
"Apa yang dilakukan di Swedia, yang tidak menekan lockdown dibandingkan dengan Finlandia, Norwegia. Tingkat kematian di Swedia 5 kali lipat dibanding dengan negara sekitarnya, akibat ingin mencoba herd immunity," tuturnya.
Menurutnya, boleh saja kebijakan itu diambil, namun sekali lagi dia mengingatkan risiko kematian. Apalagi, sejumlah lembaga internasional juga tidak merekomendasikan adanya herd immunity.
"Jadi jangan coba-coba yang begini. Korbannya banyak, pasti. Apakah kita ingin memilih itu? Silakan kalau ada yang mau memilih biar imun kena dulu, begitulah kira-kira. Negara apa yang ingin seperti itu? Itu juga tidak dianjurkan oleh WHO, itu belum pasti lagi imun, bisa saja mati," paparnya.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta masyarakat berdamai dengan corona (COVID-19). Hal tersebut ditegaskannya kembali dalam Twitternya @jokowi pada Sabtu (16/5/2020).
Mengutip WHO, ia mengatakan bahwa kita harus hidup berdampingan dengan COVID-19. Alasannya karena virus ini tak akan segera menghilang dan tetap ada di tengah masyarakat.
Meski begitu, ia menuturkan berdampingan bukan berarti masyarakat diminta menyerah. "Tapi menyesuaikan diri," tulisnya dalam akun media sosial itu.
Dikatakannya ini adalah titik tolak menuju tatanan kehidupan baru masyarakat. "Untuk dapat beraktivitas kembali sambil tetap melawan ancaman COVID-19 dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat," katanya lagi.
(miq/miq) Next Article Kasus Harian Covid di Indonesia Meroket, Tambah 802 Hari ini
Most Popular