Simak Dulu, Begini Runyamnya Urusan Harga BBM di RI

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
13 May 2020 10:04
Kilang
Foto: Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesa - Harga minyak mentah dunia kembali menguat. Namun pemerintah, dalam hal ini PT Pertamina (Persero), masih disorot karena tak menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) tatkala negara tetangga memangkas harga BBM mereka. Adilkah?

Harga minyak mentah dunia pada Mei cenderung berbalik menguat. Mengacu pada data Revinitif, harga energi utama dunia tersebut sepanjang bulan berjalan (month to date/MTD) naik 13% untuk minyak jenis Brent dan 24% untuk jenis West Texas Intermedate (WTI).

Pada hari Selasa (12/5/2020) saja, harga minyak jenis Brent yang menjadi acuan internasional termasuk Indonesia naik 0,24% menjadi US$ 29.71 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) terangkat 0,95% menjadi 24,37 per barel.

Kenaikan harga terjadi setelah Arab Saudi mengumumkan pemangkasan produksi hingga 1 juta barel per hari (bph) Juni nanti. Jika hal ini dilakukan maka total pemangkasan produksi yang dilakukan Arab Saudi mencapai 7,5 juta bph atau turun 40% dibanding April 2020.

Uni Emirat Arab (UEA) dan Kuwait juga berkomitmen memangkas kembali produksinya. Pada Juni nanti UEA akan memangkas produksi sebesar 100 ribu bph dan Kuwait akan memotong 80 ribu bph di luar kuota yang sudah ditetapkan.

Melihat tren tersebut, Dana Moneter Internasional (International Monetary Fund/IMF) memperkirakan harga minyak mentah dunia pada tahun ini akan berkisar US$ 35 per barel. Artinya, harga minyak hari ini masih berpeluang menguat lebih lanjut.

Di tengah penguatan kembali harga minyak, pemerintah masih menghadapi desakan pemangkasan harga BBM. Desakan terutama dikeluarkan dengan argumen bahwa negara-negara tetangga telah melakukan penurunan harga.

Benarkah demikian? Tidak juga. Vietnam telah menaikkan harga BBM-nya menjadi US$ 0,95 per liter. Mengutip media setempat VN Express, harga BBM jenis RON-95 tersebut kini di level 22.191 dong (US$ 0,95) per liter, atau naik 30% (setara US$ 0,21/ liter) sepanjang tahun ini.

Dengan demikian, harga BBM non-subsidi di Indonesia merupakan yang termurah kedua, setelah Malaysia. Thailand juga telah menaikkan harga BBM-nya baru-baru ini, dari US$ 0,79 per liter menjadi US$ 0,82 per liter.

Sepanjang tahun berjalan, harga minyak mentah dunia memang terhitung melemah, yakni sebesar 55% untuk minyak jens Brent dan 60% untuk minyak jenis WTI. Di tengah koreksi harga tersebut, semua negara Asia Tenggara telah menurunkan harga BBM, termasuk Indonesia.

Mengutip Global Petrol Price, harga BBM Indonesia setara pertamax terhitung turun 10,3% sepanjang tahun ini mengekor Singapura yang harga BBM-nya turun 13%. Penurunan terbesar terjadi di Malaysia yakni sebesar 39,6%.

Harga BBM jenis RON-95 di Negeri Jiran ini juga paling murah yakni US$ 0,29 per liter. Sebaliknya, harga BBM termahal ada d Singapura, yakni US$ 1,33/liter, atau dua kali dari harga BBM di Indonesia. 

Hal ini bisa dipahami karena Singapura mengimpor 100% kebutuhan minyaknya sehingga harga jual BBM meninggi akibat depresiasi kurs. Sementara itu, Malaysia masih signifikan produksi minyaknya sebagai anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (Organization of Petroleum Exporting Countries/OPEC).

Menurut data CEIC, produksi minyak Malaysia tercatat 650.000 barel per hari (bph) dengan konsumsi 813.000 bph per 2018. Kebutuhan impornya sebesar 25%. Indonesia, sebagai perbandingan, mengimpor 40% dari konsumsi minyaknya yang nyaris menembus 1,8 juta bph.

Di mana posisi Indonesia? Menurut situs Global Petrol Price, harga BBM Indonesia di posisi ketiga termurah ASEAN setelah Vietnam, yakni sebesar US$ 0,61 per liter, sedangkan Vietnam di harga US$ 0,51/liter. Hanya saja, data Global Petrol Prices ini belum memasukkan kenaikan harga BBM di Vietnam yang saat ini di level US$0,92 per liter.

Dan harap dicatat, itu adalah perbandingan harga BBM non-subsidi jenis RON 95 yang konsumsinya hanya sekitar 30% dari total konsumsi BBM nasional. Konsumsi BBM terbesar di Indonesia adalah jenis premium (mencapai 50%), sedangkan jenis pertalite sebesar 20%.

Jika ditotal, konsumsi BBM dengan kadar oktan di bawah 95 (premium dan pertalite) mencapai 70%. Inilah yang mesti dipertimbangkan jika ingin adil membandingkan tingkat harga dengan negara tetangga. Pertamina masih mensubsidi sebagian besar BBM yang dikonsumsi masyarakat itu.

Jika bicara produk premium, di mana harganya di level Rp 6.450 (setara US$ 0,49) per liter, maka harga BBM Indonesia masih terhitung jauh lebih murah di antara negara ASEAN yang rata-rata sebesar US$ 0,71 (mengacu pada data Global Petrol Price).

Bicara harga premium, maka kita juga harus memperhatikan data lain yang menunjukkan kebijakan harga Pertamina. Meski sepanjang tahun ini terhitung harga BBM non-subsidi turun “hanya” 10%, harga BBM jenis premium yang menyumbang separuh konsumsi nasional itu tak berubah dalam 3 tahun terakhir.

Harga Pertalite, di sisi lain tidak pernah naik dalam kurun waktu setahun terakhir meski harga minyak mentah sempat menguat. Pada tahun 2019, harga minyak Brent dan WTI naik sebesar 22,7% dan 34,4% secara tahunan. Namun harga pertalite, dan juga premium, tak berubah.

Perlu diketahui, pemerintah saat ini hanya menyubsidi solar, sedangkan premium dan pertalite menjadi beban Pertamina dari sisi arus kas (cashflow). Pemerintah memang akan memberikan kompensasi pada akhir tahun, tetapi cashflow tidak menunggu akhir tahun.

qSumber: Pertamina

Mantan Gubernur Indonesia untuk OPEC (2015-2016) Widhyawan Prawiraatmadja menilai arus kas Pertamina sangat terbebani karena menjual premium dan pertalite sebagai bagian dari fungsi public service obligation (PSO) yang harus dijalaninya.

Selama ini, pemerintah menyubsidi premium dengan skema kompensasi yang dibayarkan tahun buku berikutnya setelah audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Sebelum kompensasi diberikan, Pertamina lah yang pasang badan dengan menombok demi menjaga ‘BBM murah’ bagi rakyat.

Di sisi lain, pertalite tidak mendapatkan subsidi tetapi harganya harus menyesuaikan premium. Padahal menurut hitungan bisnis semestinya harga pertalite juga naik turun mengikuti harga minyak dunia. "Pertamina untuk Pertalite subsidi sekitar Rp 4- 8 triliun per tahun. Ini nggak sehat," papar Widhyawan.

Kondisi kian runyam karena Pertamina harus menghadapi tekanan depresiasi kurs yang dibarengi dengan pelemahan konsumsi BBM selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Penurunan terutama terjadi pada konsumsi bensin jens RON 92, yang menjadi sumber penerimaan Pertamina dari sektor hilir.

Sudah Adilkah Pertamina terhadap Konsumennya?Sumber: Pertamina

Dengan penurunan konsumsi BBM, dan harga premium yang tidak naik bertahun-tahun meski paling banyak dikonsumsi masyarakat, maka seruan penurunan harga BBM di tengah arah kenaikan harga minyak dunia bisa jadi malah bikin runyam keuangan Pertamina dan negara. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


(ags/gus) Next Article Pertamina Lakukan Digitalisasi Nozzle SPBU

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular