Corona di RI: Jadi 172 Kasus, 7 Pasien Meninggal

Redaksi, CNBC Indonesia
18 March 2020 06:25
Corona di RI: Jadi 172 Kasus, 7 Pasien Meninggal
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah kembali mengumumkan tambahan kasus corona (COVID-19) di Indonesia. Di mana hingga Selasa (17/3/2020), ada total 172 kasus positif.

"Total sampai hari ini (kemarin) mencapai 172 kasus," kata Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19 Achmad Yurianto kepada wartawan. 
"Paling banyak di DKI. Pintu gerbangnya memang banyak di DKI. Mobilitas tinggi."



Kasus yang terbaru terjadi di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Kepulauan Riau.

Sementara itu, untuk data pasien meninggal, pemerintah melakukan update pada Selasa malam. Ada tambahan, dua kematian baru karena corona.



"Tujuh. Saya dikasih tahu rumah sakitnya. Itu dinamis. Bergerak terus," kata Yurianto saat dikonfirmasi melalui sambungan telepon.

Sebelumnya, Yurianto mengatakan pasien meninggal hanya 5. Padahal Gubernur Jateng Ganjar Pranowo mengatakan pasien di Jateng sudah ada yang meninggal sehingga ada telat penyampaian informasi seputar pasien meninggal.

"Itu diumumkan setelah saya merilis jumlah kematian. Oleh karena itu saya tambah dengan kasus itu," tutur Yurianto.

Sementara itu total pasien sembuh masih delapan orang. Pemerintah pun menegaskan akan mempercepat tracing karena penambahan pasien masih akan ada secara signifikan.

Hotline Virus Corona (Kementerian Kesehatan RI): 021-5210411 dan 081212123119. Info corona juga bisa diakses di sejumlah website milik Pemda antara lain https://corona.jakarta.go.id/peta dan https://pikobar.jabarprov.go.id

[Gambas:Video CNBC]





Sementara itu, di kesempatan berbeda Yurianto blak-blakan soal pasien dalam pengawasan (PDP) virus corona yang dilepas oleh rumah sakit tanpa pengawasaan khusus.

PDP adalah ketika seseorang tidak menunjukkan gejala, tapi pernah memiliki kontak erat dengan pasien positif COVID-19 dan atau orang dengan demam/gejala pernafasan dengan riwayat dari negara/area transmisi lokal.

Dalam talkshow di kanal Youtube milik Deddy Corbuzier, seperti dikutip CNBC Indonesia, Selasa, ia mengakui hal tersebut terjadi di sebuah RS swasta.

"Ini sebenarnya pasien yang berobat ke Rumah Sakit Mitra Keluarga kalau tidak salah. Dia datang ke sana, kemudian dia adalah pasien yang diyakini kayaknya di terinfeksi. Artinya, dia jadi pasien dalam pengawasan," kata Yurianto saat ditunjukan sebuah video wanita yang mengaku tidak mendapatkan perawatan semestinya.

"Rumah sakit mengatakan, kami tidak punya fasilitas untuk merawat, karena itu silahkan Anda menuju ke rumah sakit lain, yang bisa merawat. Kita kasih pengantar, silahkan dengan pengantar ini menuju ke rumah sakit yang lain," kata Yurianto.

Padahal, kata Yurianto, rumah sakit tidak perlu memiliki fasilitas khusus untuk menangani COVID-19. Faktanya, ditegaskan dia, justru saat ini banyak rumah sakit yang menjaga citra mereka.

"Kalau seandainya dia diperiksa dia positif, dengan klinis seperti itu kan nggak membutuhkan fasilitas khusus, yang penting hanya dipisahkan saja dengan pasien lain," katanya.

"Kita menyadari betul bahwa beberapa rumah sakit menjaga citranya, dengan jangan sampai ketahuan orang bahwa saya merawat COVID-19. Kalau ketahuan nanti semua pasien lain nggak mau datang. This is businesss. itu yang terjadi," jelasnya.

Lantas, apakah hal ini melanggar hukum?

"Melanggar. Bolehlah dia menolak pasien dengan reason yang jelas. Bolehlah dia merujuk pasien dengan alasan yang jelas. Bukan kaya pasar, silahkan Anda cari sendiri, kami gak mau terima," jelasnya.

Yuri bahkan mengakui bahwa kasus ini memang kerap kali ditemukan di sejumlah rumah sakit swasta. Kondisi tersebut, ditegaskan dia, akan dibicarakan dengan asosiasi rumah sakit.

"Ini yang jadi PR besar kita. kita tau bahwa rumah sakit itu tidak lagi mengemban fungsi sosial, rumah sakit itu bisnis kok," tegas Yurianto.

"Kita akan berbicara degan asosiasi rumah sakit. Silahkan Anda kartu kuning, kalau masih anu ya tinggal kartu merah. UU rumah sakit tegas kok. Ada mekanisme. Memang tidak harus semua rumah sakit itu menerima semua pasien kok. Tentu ada kapasitasnya."

"Misalnya ada rumah sakit didatangi kasus bedah, tapi dia tidak ada dokter bedah. Its okay, silahkan dirujuk ke tempat lain. Ini masalahnya prosedur tidak elegan. Boleh dia mengatakan kami tidak bisa, tapi kekecewaan pasien kan jelas itu tadi."




(sef/sef) Next Article Tahun Baru, Kasus Covid-19 di Australia Cetak Rekor Baru

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular