
Iran Serang Markas AS di Irak, Perang Dunia III Terjadi?
Sefti Oktarianisa & Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
08 January 2020 10:44

Baghdad, CNBC Indonesia - Garda Revolusi Iran mengonfirmasi serangan ke pangkalan udara gabungan AS-Irak di Ayn al-Asad, Irak Barat, Rabu (8/1/2020). Serangan itu merupakan balasan atas kematian pemimpin Pasukan Quds, sayap eksternal Garda Revolusi Iran, Jenderal Qasem Soleimani, pekan lalu.
"Garda Revolusi Iran mengumumkan kepada AS bahwa balasan ini akan penuh dengan 'rasa sakit' dan 'kehancuran'," tulis Garda Revolusi Iran seperti dilaporkan Bloomberg, hari ini.
Juru Bicara Gedung Putih Stephanie Grisham mengonfirmasi serangan itu.
"Kami mengetahui adanya laporan serangan terhadap fasilitas AS di Irak. Presiden telah diberi pengarahan dan sedang memantau situasi dengan cermat dan berkonsultasi dengan penasehat keamanan nasional," kata Stephanie.
Sebelumnya, Iran dikabarkan memang telah merancang serangan balik ke AS. Sebagaimana dikutip Bloomberg dari Fars News Agency, Kepala Komite Pengamanan Nasional Iran Ali Shamkhani menegaskan hal itu pada Selasa (7/1/2020). Bahkan, ia mengatakan hal itu bisa menjadi "mimpi buruk bersejarah" bagi AS.
Tensi ketegangan antara AS dan Iran makin tinggi dalam beberapa hari terakhir. Adu ancaman terus dilontarkan, baik dari sisi AS maupun dari sisi Iran. Tak terkecuali saat prosesi pemakaman Soleimani Senin lalu.
Meski bukan resmi pernyataan negara, dalam pidato pemakaman itu dibacakan seruan yang menawarkan hadiah bagi siapapun yang bisa mendapatkan kepala Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Dan kami akan memberikan US$ 80 juta ... sebagai hadiah pada siapapun yang bisa membawa kepala dari seseorang yang telah memerintahkan membunuh tokoh revolusi kita. Siapapun yang bisa membawa kepala orang gila berambut kuning akan kami berikan US$ 80 juta atas nama negara besar Iran. Bersoraklah jika setuju," ujar orang itu.
Mencuatnya ketegangan antara Iran dan AS menghadirkan pertanyaan. Siapa yang jadi pemenang dalam pertempuran itu? "Ada pemenang di sini dan pemenangnya adalah ISIS," kata Dan Yergin, analis IHS Markit kepada CNBC International, Senin (6/1/2020).
Sebab, serangan AS yang menewaskan Jenderal Qasem. Padahal soal ISIS, AS dan Iran sama-sama memerangi kelompok itu.
Lokasi yang dipilih AS untuk menyerang Iran, yakni di Irak, juga membuat negara mantan diktator Saddam Hussein merasa dilangkahi. Padahal, berbeda dengan Iran, Irak adalah sekutu dekat AS dalam melawan ISIS.
Namun, setelah serangan yang menewaskan Soleimani, termasuk satu petinggi militer Irak, negara itu mengatakan akan mengkaji ulang kerja sama dengan AS. Parlemen Irak pun sempat meminta militer AS angkat kaki dari negara tersebut.
Ini pun membuat berang Trump yang berjanji akan memberi sanksi ke Irak jika ada pengusiran paksa pada tentara negeri Paman Sam. Hal itu membuat kedua koalisi yang terjadi dipertaruhkan. Alhasil ISIS bisa mengambil celah untuk kembali tumbuh dan menyebar di Timur Tengah.
"Karena koalisi yang memukul ISIS mundur tidak mungkin (terjadi) antara Amerika Serikat dan Iran ... Pasukan AS pergi atas keinginan sendiri, itu adalah kabar baik bagi Iran ... tetapi itu juga kabar baik bagi ISIS. ISIS yang tampaknya telah berjaga-jaga, mendapat celah baru untuk (menyerang)," ujar Yergin.
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pun sudah buka suara perihal perkembangan terkini di Timur Tengah. Pendapat ini disampaikan selepas Soleimani, tewas akibat serangan AS pekan lalu.
Dalam tulisan yang diunggah di akun Facebook resmi miliknya, SBY membuka tulisannya dengan mengingatkan kepada pihak-pihak yang berharap dunia menjadi lebih aman dan damai pada tahun ini harus bersiap kecewa bahkan frustrasi.
"Tidak ada tanda-tanda untuk itu. Yang terjadi, di awal tahun baru ini, kawasan Timur Tengah kembali membara," tulis SBY dalam artikel berjudul "Perang Besar Bisa Terjadi Karena Miskalkulasi, Pemimpin Yang Eratik & Nasionalisme Yang Ekstrem" seperti dikutip CNBC Indonesia, Selasa (7/1/2020).
Kendati demikian, SBY tidak percaya krisis di Timur Tengah akan menjurus ke sebuah perang besar, apalagi perang dunia. Namun, Ketua Umum Partai Demokrat itu mengaku punya hak untuk cemas dan sekaligus menyerukan kepada para pemimpin dunia agar tidak abstain dan tidak melakukan pembiaran.
(miq/wed) Next Article Pangkalan Militer AS di Irak Diserang 7 Roket, Bakal Perang?
"Garda Revolusi Iran mengumumkan kepada AS bahwa balasan ini akan penuh dengan 'rasa sakit' dan 'kehancuran'," tulis Garda Revolusi Iran seperti dilaporkan Bloomberg, hari ini.
Juru Bicara Gedung Putih Stephanie Grisham mengonfirmasi serangan itu.
Sebelumnya, Iran dikabarkan memang telah merancang serangan balik ke AS. Sebagaimana dikutip Bloomberg dari Fars News Agency, Kepala Komite Pengamanan Nasional Iran Ali Shamkhani menegaskan hal itu pada Selasa (7/1/2020). Bahkan, ia mengatakan hal itu bisa menjadi "mimpi buruk bersejarah" bagi AS.
Tensi ketegangan antara AS dan Iran makin tinggi dalam beberapa hari terakhir. Adu ancaman terus dilontarkan, baik dari sisi AS maupun dari sisi Iran. Tak terkecuali saat prosesi pemakaman Soleimani Senin lalu.
Meski bukan resmi pernyataan negara, dalam pidato pemakaman itu dibacakan seruan yang menawarkan hadiah bagi siapapun yang bisa mendapatkan kepala Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
"Dan kami akan memberikan US$ 80 juta ... sebagai hadiah pada siapapun yang bisa membawa kepala dari seseorang yang telah memerintahkan membunuh tokoh revolusi kita. Siapapun yang bisa membawa kepala orang gila berambut kuning akan kami berikan US$ 80 juta atas nama negara besar Iran. Bersoraklah jika setuju," ujar orang itu.
Mencuatnya ketegangan antara Iran dan AS menghadirkan pertanyaan. Siapa yang jadi pemenang dalam pertempuran itu? "Ada pemenang di sini dan pemenangnya adalah ISIS," kata Dan Yergin, analis IHS Markit kepada CNBC International, Senin (6/1/2020).
Sebab, serangan AS yang menewaskan Jenderal Qasem. Padahal soal ISIS, AS dan Iran sama-sama memerangi kelompok itu.
Lokasi yang dipilih AS untuk menyerang Iran, yakni di Irak, juga membuat negara mantan diktator Saddam Hussein merasa dilangkahi. Padahal, berbeda dengan Iran, Irak adalah sekutu dekat AS dalam melawan ISIS.
Namun, setelah serangan yang menewaskan Soleimani, termasuk satu petinggi militer Irak, negara itu mengatakan akan mengkaji ulang kerja sama dengan AS. Parlemen Irak pun sempat meminta militer AS angkat kaki dari negara tersebut.
Ini pun membuat berang Trump yang berjanji akan memberi sanksi ke Irak jika ada pengusiran paksa pada tentara negeri Paman Sam. Hal itu membuat kedua koalisi yang terjadi dipertaruhkan. Alhasil ISIS bisa mengambil celah untuk kembali tumbuh dan menyebar di Timur Tengah.
"Karena koalisi yang memukul ISIS mundur tidak mungkin (terjadi) antara Amerika Serikat dan Iran ... Pasukan AS pergi atas keinginan sendiri, itu adalah kabar baik bagi Iran ... tetapi itu juga kabar baik bagi ISIS. ISIS yang tampaknya telah berjaga-jaga, mendapat celah baru untuk (menyerang)," ujar Yergin.
Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono pun sudah buka suara perihal perkembangan terkini di Timur Tengah. Pendapat ini disampaikan selepas Soleimani, tewas akibat serangan AS pekan lalu.
Dalam tulisan yang diunggah di akun Facebook resmi miliknya, SBY membuka tulisannya dengan mengingatkan kepada pihak-pihak yang berharap dunia menjadi lebih aman dan damai pada tahun ini harus bersiap kecewa bahkan frustrasi.
"Tidak ada tanda-tanda untuk itu. Yang terjadi, di awal tahun baru ini, kawasan Timur Tengah kembali membara," tulis SBY dalam artikel berjudul "Perang Besar Bisa Terjadi Karena Miskalkulasi, Pemimpin Yang Eratik & Nasionalisme Yang Ekstrem" seperti dikutip CNBC Indonesia, Selasa (7/1/2020).
Kendati demikian, SBY tidak percaya krisis di Timur Tengah akan menjurus ke sebuah perang besar, apalagi perang dunia. Namun, Ketua Umum Partai Demokrat itu mengaku punya hak untuk cemas dan sekaligus menyerukan kepada para pemimpin dunia agar tidak abstain dan tidak melakukan pembiaran.
(miq/wed) Next Article Pangkalan Militer AS di Irak Diserang 7 Roket, Bakal Perang?
Most Popular