Kilang RI Kalah dengan Malaysia, Bertekut Lutut ke Singapura!

Gustidha Budiartie & Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 December 2019 10:35
Kilang RI Kalah dengan Malaysia, Bertekut Lutut ke Singapura!
Foto: Kilang Minyak Cilacap. Kilang Cilacap merupakan kilang minyak terbesar di Indonesia dengan kapasitas mencapai 348 ribu barel/hari atau 33,4% dari total kapasitas kilang nasional. (CNBC Indonesia/Gustidha Budiarti)
Jakarta, CNBC Indonesia- Wajar jika Presiden Joko Widodo sampai berkali-kali menekankan dan kebelet untuk bangun kilang. Mengintip fasilitas pengolahan minyak dan petrokimia negara-negara tetangga, Indonesia bisa dibilang sudah tertinggal jauh.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) juga lagi-lagi mengungkapkan kekecewaan soal defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD). Eks gubernur DKI Jakarta itu menyebutkan penyebab masalah defisit transaksi berjalan adalah tingginya impor, salah satunya minyak dan produk turunannya.

"Kenapa sudah 30 tahun lebih kita tidak membangun satu kilang pun? Kilang ada turunannya, seperti petrokimia, masak kita masih impor. Ini tidak dikerjakan, ada apa? Ini gede banget," tegas Jokowi belum lama ini.

Apalagi, kilang terakhir yang dibangun Indonesia adalah di tahun 1995, artinya sudah 24 tahun lalu. Risikonya adalah terlalu gagap dari sisi teknologi dan skema pendanaan untuk membangun kilang baru karena sudah terlalu lama tak ada infrastruktur tersebut.



Malaysia misalnya, ketika Indonesia susah payah 5 tahun melobi Saudi Aramco untuk berinvestasi di Kilang Cilacap. Toh, perusahaan minyak raksasa dunia asal Arab ini tanpa hambatan berarti bisa kucurkan duit puluhan triliun ke Malaysia.

Maret tahun lalu, Aramco dan Petronas mengumumkan kerja sama mereka dengan membentuk dua usaha joint ventures untuk proyek pengembangan kilang dan petrokimia terpadu (Refinery and Petrochemical Integrated Development/RAPID Project).

Meski baru diumumkan Maret, tak perlu waktu bertahun-tahun seperti Cilacap, sampai akhirnya Petronas dan Aramco kembali mengumumkan proyek kilang berkapasitas 300 ribu barel sehari dengan investasi US$ 7 miliar dan siap beroperasi pada tahun ini.

Mengutip Oil & Gas Journal, Aramco dan Petronas bahkan sudah menyelesaikan pembangunan kilang ini pada November lalu dan mulai beroperasi untuk uji coba di bulan berikutnya.

Proyek kilang ini digagas oleh Petronas sejak 2014 lalu, melibatkan 40 kontraktor, 13 licensors, dan 200 pemasok dan sub kontraktor. Kilang nantinya akan hasilkan 220 ribu barel oil per hari BBM dengan standar emisi Euro 5.

Selain BBM, kilang ini juga terdapat kompleks Petrokimia berkapasitas 3,6 juta ton per tahun. Keberadaan kilang yang disebut kilang Pangerang ini bakal menjadi pusat kilang minyak dan petrokimia di Asia Tenggara.


[Gambas:Video CNBC]



Walau teritorinya tidak lebih luas dari DKI Jakarta, Singapura lebih maju dalam hal kepemilikan kilang minyak. Saat ini ada tiga kilang besar yang beroperasi di Negeri Singa yaitu ExxonMobil Jurong Island Refinery (kapasitas 605.000 barel/hari), SRC Jurong Island Refinery (290.000 barel/hari), dan Shell Pulau Bukom Refinery (500.000 barel/hari).

Dengan kebutuhan domestik yang minim (populasi Singapura 'hanya' 5,7 juta), tidak heran Singapura punya kapasitas untuk menjadi pemasok energi bagi negara-negara tetangganya.

Menariknya, ternyata Singapura adalah importir terbesar minyak mentah asal Indonesia. Pada Januari-September 2019, nilai ekspor minyak mentah Indonesia ke Singapura adalah US$ 546,71 juta. Nilai ini mencapai 43,49% dari total ekspor minyak mentah Indonesia.

Jadi Indonesia menjual minyak mentah ke Singapura, kemudian diolah di sana. Singapura menjual produk olahan ke Indonesia, dan dapat lebih dari 10 kali lipat. RI ekspor ke Singapura US$ 500 juta, tapi volume impor dari Singapura sampai US$ 5 miliar. Hebat juga ya...


(gus/gus) Next Article Ini Curhat Jokowi Soal 30 Tahun Tak Ada Kilang Baru

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular