Pabrik Sepatu Sampai Tekstil Pindah ke Jateng, Kok Bisa Ya?

Efrem Siregar, CNBC Indonesia
15 November 2019 11:41
Jateng menjadi primadona baru bagi investasi padat karya.
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia - Para pengusaha industri padat karya ramai-ramai memindahkan pabrik mereka dari Banten ke Jawa Tengah (Jateng). Tren relokasi ini sudah lebih dulu dilakukan pengusaha tekstil dan produk tekstil (TPT) jauh sebelum relokasi industri alas kaki dari Banten dan Jawa Barat.

Ketua Umum Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Ade Sudrajat mengatakan relokasi pabrik tekstil dari Jawa Barat ke Jawa Tengah sudah berlangsung sejak 2015. Tingginya upah di Jawa Barat dan masih rendahnya upah di Jawa Tengah menjadi salah satu pertimbangan.

"[Relokasi ke Jawa Tengah] sudah sejak 2015, pabrik-pabrik di sekitar Jabodetabek, Bandung, Karawang, Purwakarta, semuanya ke Jawa Tengah," kata Ade kepada CNBC Indonesia, Kamis (15/11).

Kota-kota yang dimaksud memang memiliki nominal upah minimum yang cukup tinggi di Indonesia. Sebagai contoh, UMK Karawang pada tahun 2019 sebesar Rp4,23 juta; Purwakarta Rp3,7 juta, dan Kabupaten Bekasi sebesar Rp4,1 juta. Sementara itu, UMK di Jawa Tengah, rata-rata setengah di bawahnya, UMP di Jateng saja pada 2019 masih Rp 1,6 juta.



"Perbandingan [upah] 1:2, ini nggak kondusif," ucap Ade.

Menurutnya, saat ini ada 600 pabrik TPT di Jawa Barat. Namun, perlahan mungkin akan mengambil ancang-ancang relokasi ke Jawa Tengah. Pengusaha yang akan membuka pabrik barunya juga lebih memilih Jawa Tengah.

"Kecuali ada industrial park di Jawa Barat, harusnya ada industrial park, khususnya pencelupan mereka tidak mau ada masalah hukum," kata Ade.

Industri tekstl di Jabar terutama Bandung dan sekitarnya didera isu pencemaran lingkungan khususnya Sungai Citarum. Pemerintah sedang gencar melakukan normalisasi sungai ini dari pencemaran akut. Beberapa industri TPT di Bandung harus mengalami penutupan Instalasi pengolahan air limbah (IPAL).

Selain upah dan lingkungan, faktor keamanan menjadi alasan lain. Oknum ormas kerap menjadikan pengelolaan limbah sebagai modus mereka. "Macam-macam, mulai limbah dan lapangan kerja melalui mereka (Ormas)," ucap Ade.

Kondisi-kondisi di atas yang sering dialami pengusaha industri padat karya di Banten. Pabrik-pabrik, khususnya alas kaki atau sepatu, memilih angkat kaki dari Banten dipicu upah yang tinggi dan persoalan premanisme yang dilakukan oleh oknum ormas.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Firman Bakri Anom mengatakan ada beberapa modus premanisme di Banten antara lain mulai dari pengelolaan sampah/limbah sampai rekrutmen tenaga kerja yang dikuasai oleh ormas. Ia bilang ada beberapa kasus tenaga kerja sebelum bekerja di perusahaan alas kaki, harus bayar ke preman.

[Gambas:Video CNBC]


(hoi/hoi) Next Article Pabrik Kompak Cabut dari Banten: Upah Tinggi, Nganggur Tinggi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular