- Netflix adalah salah satu yang belum membayar kewajiban pajaknya kepada Indonesia
- Pengguna Netflix di Indonesia mencapai 481.450
- Ekonomi Indonesia masih memiliki celah dalam hal penerimaan pajak dari perusahaan asing
Jakarta, CNBC Indonesia - Waktu menunjukkan tepat pada pukul 21.00 WIB, Ucida (32) salah satu karyawan di sebuah perusahaan swasta buru-buru mengemas barang-barangnya untuk segera pulang menuju apartemennya.
"Gue buru-buru. Mau nonton Friends di Netflix. Wajib hukumnya!" kata Ucida.
Ia mengatakan, setiap harinya nonton melalui layanan video on demand yang lagi nge-hits ini adalah hal yang wajib dilakukan menjelang istirahat malamnya.
Ucida mungkin satu di antara ratusan ribu orang yang menjadi subscriber
Netflix. Ia mengeluarkan Rp 139.000 per bulan sebagai pelanggan Netflix.
"Bayarnya pakai kartu kredit lah. Kan cuma bisa bayar pakai kartu kredit," terangnya saat ditemui CNBC Indonesia, Rabu (13/11/2019).
 Foto: Netflix (REUTERS/Mike Blake) |
Ucida kemudian menunjukkan billing pembayarannya. Tertulis Netflix International B.V di Amsterdam.
Ucida menggunakan layanan standar. Netflix memberikan 3 jenis layanan kepada penggunanya di Indonesia.
 Foto: foto/netflix/netflix |
Pertama layanan dasar Rp 109.000 per bulan, kemudian layanan Standar Rp 139.000 per bulan dan Premium Rp 169.000 per bulan.
 Foto: foto/netflix/netflix |
Perbedaannya kualitas layanan seperti HD, Ultra HD, Nonton Secara Bersamaan dengan satu akun di TV, Ponsel, hingga Tablet.
Mengutip Statista tahun ini jumlah subscriber di Indonesia mencapai 481.450. Tahun depan diperkirakan naik menjadi 906.800.
Bayangkan, jika sebanyak 481.450 subscriber di Indonesia berarti Netflix mendapatkan Rp 52,4 miliar per bulan. Itu pun dengan perhitungan paket paling murah yang harus diibayar subscriber Rp 109.000.
Maka dalam setahun Netflix mampu mengantongi Rp 629 miliar. Fantastis!
Semua mengalir deras ke rekening Netflix di Belanda.
Halaman Selanjutnya >>
Indonesia Kebobolan?
Ini adalah bukti konkret kebocoran ekonomi Indonesia. Regulator tak punya banyak upaya dalam mengejar penerimaan yang nyata sekali.
Regulator pajak hanya bisa mengejar para wajib pajak dalam negeri. Pertanyaan selanjutnya, apakah mereka membayar pajak?
Jawabannya tidak!
Hal ini diamini oleh Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Hestu Yoga Saksama.
"Enggak [bayar pajak]. Karena memang selama ini, mereka belum jadi BUT [Badan Usaha Tetap] di Indonesia, dan tidak menjadi wajib pajak di Indonesia," kata Hestu saat dihubungi CNBC Indonesia.
"Nah memang kesulitan kita memang di situ. Karena dari segi regulasi yang ada sekarang ini, belum bisa memaksa mereka jadi BUT, jadi subyek pajak dalam negeri. BUT kan subyek pajak dalam negeri."
Melihat kewajiban Netflix sendiri, jika menggunakan PPN sebesar 10% maka Netflix harus setor ke negara sebsar Rp 62 miliar. Belum lagi PPh atau pajak penghasilan dan lainnya.
Corporate Communication Netflix Kooswardini Wulandari sudah dikonfirmasi mengenai hal ini. Namun pihaknya meminta waktu untuk memberikan jawabannya.
Jadi Indonesia Kebobolan?
"Ya memang, istilahnya ini memang masih lolos. Masih lolos pemajakan kita. Tapi masalah ini, bukan hanya masalah di Indonesia ya. Tapi hampir di semua negara," tegas Hestu.
"Makanya seperti beberapa negara, membuat skema perpajakan tersendiri yang kita sebut unilateral. Seperti Inggris, India, Australia. Tapi Indonesia sementara ini masih menunggu kesepakatan OECD aja dulu. Artinya nanti kita mengikuti sepakati di OECD," terang Hestu.
Omnibus Law Jadi Jawaban?
Lebih jauh Hestu menceritakan. Memang masalah perusahaan dari luar negeri atau Over The Top untuk di Indonesia memang masih punya masalah dengan regulasi.
"Bagaimana kita bisa membuat mereka membayar pajak. Nah, ini bukan hanya masalah di Indonesia, tapi juga masalah di seluruh negara."
"Oleh karena itu perbaikannya ada di regulasi nanti, yang pertama, kami sedang menyusun omnibus law perpajakan itu. Nah disitu nanti kita atur," tambahnya.
Semua demi equal treatment. Hestu menegaskan, perusahaan seperti Netflix ini memang harus berbasis di Indonesia.
"Mereka harus jadi perusahana kena pajak, memungut pajak untuk penjualannya," tegas Hestu.
"Kalau mereka tidak ada di Indonesia, mereka boleh menunjuk perwakilannya untuk memungut PPN itu. Jadi ada equal treatment antara mereka dengan yang perusahaan berbasis di Indonesia. Dari sisi PPN-nya," jelas Hestu.
Sebenarnya banyak layanan seperti ini. Layanan data dan media yang berbasis di AS yang 'berjualan' di Indonesia juga bukan merupakan BUT.
"Nah selama ini BUT definisi kan kehadiran fisik, physical existency begitu. Nah selama ini mereka tidak ada di sini. Makanya kita tidak bisa mengenakan PPh-nya ke mereka atas penghasilan dari Indonesia."
Oleh karena itu, sambung Hestu, di omnibus law akan me-redefinisi kembali BUT itu.
"Jadi pengertiannya nggak hanya harus adanya kehadirian fisik, tapi seperti subtansial economic presence, kalau mereka dapat penghasilan dari Indonesia, konsumennya di Indonesia itu kita anggap sebagai punya economic presence di Indonesia. Nah sehingga kita masukan sebagai BUT. Sehingga bisa kita pajaki di Indonesia."