Serba Serbi Iuran BPJS

BPJS Kesehatan Nombok Terus, Apa yang Salah?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
12 September 2019 15:16
BPJS Kesehatan Nombok Terus, Apa yang Salah?
Ilustrasi BPJS Kesehatan (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - BPJS Kesehatan mencatatkan defisit rata-rata tahunan Rp 7,3 triliun rupiah sejak 2014-2018. Skema BPJS Kesehatan yang sekarang sepertinya menjadi penyebab utama.

Untuk menambal defisit tersebut, pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus menyuntikkan modal. Penyertaan Modal Negara (PMN) sepanjang 2014-2018 rata-rata adalah Rp 4,16 triliun per tahun.



Jaminan sosial berupa asuransi kesehatan merupakan salah satu komitmen negara untuk melindungi dan menyejahterakan rakyat. Proteksi sosial berbentuk Universal Health Coverage (UHC), juga jadi agenda PBB yang tertuang dalam Sustainable Development Goals (SDG).

Program UHC yang diselenggarakan di berbagai negara belahan dunia menggunakan skema pembiayaan kesehatan yang mirip. Skema pembiayaan meliputi subsidi pemerintah dan iuran wajib serta masyarakat.

Mengutip riset Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), Amerika Serikat (AS) dan Swiss merupakan negara dengan pengeluaran per kapita untuk kesehatan yang paling tinggi. Pada 2018, AS merogoh kocek US$ 10.586 per orang sementara Swiss mematok US$ 7.317 per bulan.

Pengeluaran per kapita Indonesia untuk kesehatan masih tergolong rendah yaitu US$ 301. Dari jumlah tersebut, 45,2% ditanggung oleh subsidi pemerintah dan program BPJS Kesehatan.




Sejak 2014-2019, jumlah peserta program BPJS Kesehatan terus meningkat. Tercatat dalam kurun waktu tersebut angkanya naik hampir 64%. Kini jumlah peserta BPJS Kesehatan sudah mencapai lebih dari 80% dari total penduduk Indonesia.



Sebagai peserta BPJS Kesehatan, banyak manfaat yang ditawarkan dibandingkan dengan program asuransi swasta. Biaya yang lebih murah dan tidak ada batasan plafon merupakan salah satu keunggulan yang ditawarkan BPJS Kesehatan. Bayangkan saja mana ada premi asuransi di bawah Rp 100.000 per bulan.

(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Skema seperti itulah yang membuat BPJS Kesehatan pada akhirnya mengalami defisit. Pasalnya setoran premi yang murah dan tidak ada batasan plafon tidak sebanding dengan pertumbuhan jumlah peserta serta nominal klaim yang diajukan.

Akses kesehatan yang inklusif dan menjangkau semua warga negara memang tujuan dari semua negara di dunia. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, sistem kesehatan suatu negara harus memperhatikan tiga pilar utamanya yaitu revenue collection, pooling mechanism, dan purchasing.

Inggris merupakan salah satu contoh negara maju yang menerapkan sistem jaminan kesehatan melalui pajak. Melalui National Health Services (NHS) hampir semua jenis pelayanan kesehatan gratis dapat dinikmati oleh seluruh warga negaranya.

Sumber pendanaan NHS 85% dari pemerintah yang bersumber dari pajak. Pemerintah Inggris menarik pajak umum yang juga mencakup untuk pelayanan kesehatan yang diselenggarakan oleh NHS. Walaupun NHS tidak diperuntukkan untuk golongan tertentu terbatas dari kemampuan ekonominya, tetapi sebagian besar alokasi dana NHS diperuntukkan untuk program-program dengan imbal hasil yang tinggi seperti pelayanan kesehatan ibu dan anak.

Sementara Jepang sebagai negara yang menua mewajibkan seluruh masyarakatnya untuk mengikuti program asuransi kesehatan. Mayoritas jaminan kesehatan yang ada ditanggung oleh pemerintah (hingga 70%). Selain itu, masyarakat miskin mendapat pelayanan kesehatan gratis.

Berbeda lagi dengan Thailand. Jika pada 2009 sebanyak 30% orang Indonesia masih mengeluarkan uang secara langsung untuk mendapatkan pelayanan kesehatan, Thailand sudah mencapai universal coverage sejak 2002. Universal coverage memiliki dua arti penting yaitu perolehan pelayanan kesehatan yang merata, adil, dan bermutu serta perlindungan risiko finansial ketika menggunakan pelayanan tersebut.

Thailand memiliki tiga jenis skema pembiayaan yang dilaksanakan oleh pemerintah. Pertama melalui Civil Servant Medical Benefits Scheme (CSMBS) yang merupakan program jaminan bagi pekerja di sektor publik yang dibiayai oleh anggaran belanja negara tanpa dipungut biaya sepeser pun.

Kedua melalui Social Security System (SSS) yang merupakan program jaminan komprehensif untuk pegawai swasta yang dibayarkan oleh pekerja, pemberi kerja dan pemerintah. Ketiga, Universal Coverage System (UCS) yang merupakan program untuk masyarakat yang bekerja di sektor informal atau yang tidak ditanggung oleh dua skema lain.
 

Untuk mengurangi defisit BPJS Kesehatan, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sempat mengusulkan skema sistem terpisah mirip di Thailand. Masyarakat mampu menggunakan asuransi swasta dan BPJS Kesehatan untuk masyarakat miskin.

Peningkatan iuran untuk BPJS Kesehatan yang baru baru ini santer terdengar menuai pro-kontra. Terlepas dari itu, pemerintah perlu meninjau kemampuan bayar  kelompok masyarakat miskin, kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan selama ini mengingat selalu defisit serta efektivitas pelayanan yang ada seperti fasilitas dan plafon yang diberikan.



(BERLANJUT KE HALAMAN 3)




(Tirta Citradi/dru) Next Article Terancam Tekor Rp 20 Triliun, Bos BPJS Kesehatan Beberkan Pemicunya

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular