Indonesia belakangan ini kerap menerima setidaknya 300 kontainer limbah impor dari negara-negara maju seperti AS, Australia, Prancis, Jerman dan Hong Kong. (ist Bea Cukai)
Penerimaan sampah atau limbah impor tersendiri hukumnya legal menurut Peraturan Menteri Perdagangan No.31 Tahun 2016 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Beracun Berbahaya. (ist Bea Cukai)
Dalam Permendag itu disebutkan bahwa limbah non-B3 yang dapat diimpor hanya berupa sisa, reja (sisa buangan) dan scrap. Limbah non-B3 yang dimaksud juga tidak terkontaminasi limbah B3 atau limbah lain yang tidak diatur dalam beleid itu. (ist Bea Cukai)
Namun, karena pelanggaran dari Permendag tersebut, banyak sampah impor akhirnya dipulangkan ke negara asal karena adanya muatan sampah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). (ist Bea Cukai)
Importir juga harus mengantongi persetujuan impor disertai lampiran surveyor agar dapat mengimpor sampah, tetapi aturan ini tak selamanya diindahkan seperti kasus yang terjadi di Batam, Kepulauan Riau. Di sana ada banyak limbah B3 disusupkan masuk ke kontainer berisi limbah non-B3. (ist Bea Cukai)
Alasan impor sampah ini tak terlepas pada kebutuhan bahan baku industri. Salah satu yang membutuhkannya adalah industri kertas, di mana industri ini menggunakan sampah kertas untuk diolah kembali menjadi kertas baru. (ist Bea Cukai)
Data Kementerian Perindustrian pun menunjukkan industri plastik nasional masih kekurangan material sebanyak 600.000 ton yang selama beberapa waktu dipenuhi dari impor "sampah plastik" berupa scrap sebanyak 110.000 ton, dari kebutuhan yang biasa mencapai 5,6 juta ton per tahun. (ist Bea Cukai)
Indonesia dapat memenuhi kebutuhan bahan baku tanpa impor jika pengelolaan sampah lebih terurus oleh pemerintah. Menurut penelitian Sustainable Waste Indonesia tahun 2019, sebesar 69% sampah Indonesia masuk Tempat Pembuangan Akhir tanpa dikelola dengan benar, 24% tak terkelola sama sekali, dan hanya 7% sampah yang didaur ulang. (ist Bea Cukai)