
Meski Proyek Rugi, Freeport Garap Smelter Gresik Rp 42 T
Wahyu Daniel, CNBC Indonesia
26 August 2019 11:11

Gresik, CNBC Indonesia - Dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.1 Tahun 2017 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara (Minerba), perusahaan tambang di dalam negeri bisa mengekspor tambang mentah dalam 5 tahun setelah PP keluar.
Mereka yang bisa mengekspor tambang mentah ini, harus terlebih dahulu mengubah statusnya dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
PT Freeport Indonesia sudah mengubah statusnya menjadi IUPK, dan punya waktu hingga sekitar 2022 untuk membangun smelter.
Saat ini pembangunan smelter Freeport dilakukan, dengan menggunakan lahan sewa di Kawasan Industri Java Integrated Industrial Estate (JIIPE), yang dimiliki oleh Pelindo III dan PT AKR Corporindo Tbk. Lokasinya di Manyar, Gresik, Jawa Timur.
Di atas lahan seluas 100 hektar, smelter atau pabrik pemurnian tambang ini dibangun. Pekerjaan saat ini adalah pemadatan tanah.
Dalam kunjungan CNBC Indonesia ke lokasi, Sabtu (24/8/2019), terlihat hamparan luas lahan yang tengah dipersiapkan untuk smelter yang rencananya bakal memiliki kapasitas pengolahan 2 juta ton konsentrat per tahun.
"Ini merupakan smelter terbesar di dunia yang dibangun dalam 2 tahun terakhir. Ini akan mengguncang dunia, karena nanti pasokan konsentrat kami akan dipasok ke smelter ini," kata Presdir Freeport Indonesia, Tony Wenas.
Anggaran yang dibutuhkan untuk membangun smelter ini cukup besar, yaitu US$ 3 miliar atau sekitar Rp 42 triliun. Hingga saat ini, Freeport sudah mengeluarkan kocek sekitar US$ 150 juta untuk persiapan pembangunan smelter ini, mulai dari desain, pembayaran sewa lahan, hingga pemadatan tanah.
Biaya sewa lahan juga sudah dibayar oleh Freeport kepada pengelola JIIPE selama 5 tahun.
Proyek Rugi
Smelter ini bukan proyek yang menguntungkan buat Freeport. Karena margin keuntungan dari bisnis smelter sangat kecil. Dari perhitungan pihak Freeport, dana investasi smelter baru bisa kembali dalam 20 tahun. Berat memang...
Jadi, smelter ini baru akan beroperasi 2023, bila balik modalnya 20 tahun, maka dana investasi baru bisa tertutup pada 2043. Sementara kontrak Freeport di Papua habis 2041. Belum balik modal, kontrak sudah habis.
Berat dan tipisnya margin smelter tembaga ini, terlihat dari bisnis PT Smelting, smelter di Gresik yang dimiliki oleh Freeport dan Mitsubishi. Smelter ini sudah beroperasi sejak 1999 dan bisa memiliki kapasitas pengolahan 1 juta ton konsentrat per tahun, yang saat ini menghasilkan katoda tembaga sekitar 300 ribu ton per tahun.
Dari data pengelola smelter ini, dalam setiap pon konsentrat, margin pengolahan yang didapat oleh smeltar hanya 24 sen. PT Smelting harus terus efisien sehingga bisa untung dari bisnis smelter tembaganya.
Sementara dari perhitungan Tony Wenas, Presdir Freeport, bila bisnis smelter baru Freeport mau terus berjalan, maka biaya pengolahan itu harus mencapai 60 sen/pon konsentrat. Sementara biaya pengolahan rata-rata di smelter saat ini berkisar 20 sen/pon. Freeport pun harus memberikan 'subsidi' kepada smelter miliknya agar bisa berjalan dengan sehat. Karena itulah bisnis smelter tembaga ini tidak menguntungkan alias bisnis rugi.
Tak hanya itu, smelter tembaga saat ini hasilnya masih banyak diekspor ke luar negeri. Karena penyerapan katoda tembaga di dalam negeri tidak maksimal, sebab industri elektronik tidak berkembang pesat di dalam negeri. Bila katoda tembaga masih harus diekspor, maka ada lagi biaya pengiriman yang harus ditanggung. Jadi margin bisnis smelter bisa makin tipis.
Menurut Tony, konsentrat tembaga yang dihasilkan Freeport saat ini bukanlah barang mentah. Tapi nilai tambahnya sudah 95%. Konsentrat inilah yang diekspor oleh Freeport selama ini. Jadi ujar Tony, smelter tembaga tidak perlu dibangun di Indonesia. Berbeda dengan nikel, yang memang memerlukan smelter di dalam negeri, karena nilai tambah yang dihasilkan smelter nikel lebih besar.
PT Smelting saat ini mengekspor 60% katoda tembaga yang dihasilkan, dan hanya 40% yang diserap ke dalam negeri.
Ditambah, smelter bisa dibilang sebagai proyek padat modal namun tidak padat karya. Untuk investasi senilai US$ 3 miliar di lahan ratusan hektar, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengoperasikannya hanya sekitar 500 orang.
Utang Perdana Freeport demi Semlter
Pembangunan smelter baru Freeport di Gresik akan menelan US$ 3 miliar atau Rp 42 triliun. Uang ini didapat Freeport dari berutang, alias mendapatkan kredit dari 11 bank. Wakil Presiden Direktur Freeport, Orias Petrus Moedak, mengatakan pada September 2019 nanti penandatanganan utang ini akan dilakukan, sehingga proyek bisa terus berjalan.
"Dari 15 bank, sekarang sudah ada 11 bank yang siap memberi kredit. Ada 8 bank asing dan 3 bank lokal. Ini bentuknya bukan pembiayaan proyek, tapi pembiayaan perusahaan," ujar Orias.
Tony Wenas mengatakan, Freeport Indonesia selama ini adalah perusahaan yang tidak memiliki utang, alias zero debt. "Jadi ini merupakan utang perdana kita, demi smelter," kata Tony.
Menurut data Freeport yang disampaikan Tony, dengan adanya smelter setoran Freeport ke pemerintah akan turun.
Simak video soal smelter Freeport di bawah ini:
[Gambas:Video CNBC]
(wed/gus) Next Article Chappy Hakim: Turbulensi Freeport Hingga 'Papa Minta Saham'
Mereka yang bisa mengekspor tambang mentah ini, harus terlebih dahulu mengubah statusnya dari Kontrak Karya (KK) menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
PT Freeport Indonesia sudah mengubah statusnya menjadi IUPK, dan punya waktu hingga sekitar 2022 untuk membangun smelter.
Di atas lahan seluas 100 hektar, smelter atau pabrik pemurnian tambang ini dibangun. Pekerjaan saat ini adalah pemadatan tanah.
Dalam kunjungan CNBC Indonesia ke lokasi, Sabtu (24/8/2019), terlihat hamparan luas lahan yang tengah dipersiapkan untuk smelter yang rencananya bakal memiliki kapasitas pengolahan 2 juta ton konsentrat per tahun.
"Ini merupakan smelter terbesar di dunia yang dibangun dalam 2 tahun terakhir. Ini akan mengguncang dunia, karena nanti pasokan konsentrat kami akan dipasok ke smelter ini," kata Presdir Freeport Indonesia, Tony Wenas.
![]() |
Anggaran yang dibutuhkan untuk membangun smelter ini cukup besar, yaitu US$ 3 miliar atau sekitar Rp 42 triliun. Hingga saat ini, Freeport sudah mengeluarkan kocek sekitar US$ 150 juta untuk persiapan pembangunan smelter ini, mulai dari desain, pembayaran sewa lahan, hingga pemadatan tanah.
Biaya sewa lahan juga sudah dibayar oleh Freeport kepada pengelola JIIPE selama 5 tahun.
Proyek Rugi
Smelter ini bukan proyek yang menguntungkan buat Freeport. Karena margin keuntungan dari bisnis smelter sangat kecil. Dari perhitungan pihak Freeport, dana investasi smelter baru bisa kembali dalam 20 tahun. Berat memang...
Jadi, smelter ini baru akan beroperasi 2023, bila balik modalnya 20 tahun, maka dana investasi baru bisa tertutup pada 2043. Sementara kontrak Freeport di Papua habis 2041. Belum balik modal, kontrak sudah habis.
Berat dan tipisnya margin smelter tembaga ini, terlihat dari bisnis PT Smelting, smelter di Gresik yang dimiliki oleh Freeport dan Mitsubishi. Smelter ini sudah beroperasi sejak 1999 dan bisa memiliki kapasitas pengolahan 1 juta ton konsentrat per tahun, yang saat ini menghasilkan katoda tembaga sekitar 300 ribu ton per tahun.
![]() |
Dari data pengelola smelter ini, dalam setiap pon konsentrat, margin pengolahan yang didapat oleh smeltar hanya 24 sen. PT Smelting harus terus efisien sehingga bisa untung dari bisnis smelter tembaganya.
Sementara dari perhitungan Tony Wenas, Presdir Freeport, bila bisnis smelter baru Freeport mau terus berjalan, maka biaya pengolahan itu harus mencapai 60 sen/pon konsentrat. Sementara biaya pengolahan rata-rata di smelter saat ini berkisar 20 sen/pon. Freeport pun harus memberikan 'subsidi' kepada smelter miliknya agar bisa berjalan dengan sehat. Karena itulah bisnis smelter tembaga ini tidak menguntungkan alias bisnis rugi.
Tak hanya itu, smelter tembaga saat ini hasilnya masih banyak diekspor ke luar negeri. Karena penyerapan katoda tembaga di dalam negeri tidak maksimal, sebab industri elektronik tidak berkembang pesat di dalam negeri. Bila katoda tembaga masih harus diekspor, maka ada lagi biaya pengiriman yang harus ditanggung. Jadi margin bisnis smelter bisa makin tipis.
Menurut Tony, konsentrat tembaga yang dihasilkan Freeport saat ini bukanlah barang mentah. Tapi nilai tambahnya sudah 95%. Konsentrat inilah yang diekspor oleh Freeport selama ini. Jadi ujar Tony, smelter tembaga tidak perlu dibangun di Indonesia. Berbeda dengan nikel, yang memang memerlukan smelter di dalam negeri, karena nilai tambah yang dihasilkan smelter nikel lebih besar.
PT Smelting saat ini mengekspor 60% katoda tembaga yang dihasilkan, dan hanya 40% yang diserap ke dalam negeri.
Ditambah, smelter bisa dibilang sebagai proyek padat modal namun tidak padat karya. Untuk investasi senilai US$ 3 miliar di lahan ratusan hektar, tenaga kerja yang dibutuhkan untuk mengoperasikannya hanya sekitar 500 orang.
Utang Perdana Freeport demi Semlter
Pembangunan smelter baru Freeport di Gresik akan menelan US$ 3 miliar atau Rp 42 triliun. Uang ini didapat Freeport dari berutang, alias mendapatkan kredit dari 11 bank. Wakil Presiden Direktur Freeport, Orias Petrus Moedak, mengatakan pada September 2019 nanti penandatanganan utang ini akan dilakukan, sehingga proyek bisa terus berjalan.
"Dari 15 bank, sekarang sudah ada 11 bank yang siap memberi kredit. Ada 8 bank asing dan 3 bank lokal. Ini bentuknya bukan pembiayaan proyek, tapi pembiayaan perusahaan," ujar Orias.
Tony Wenas mengatakan, Freeport Indonesia selama ini adalah perusahaan yang tidak memiliki utang, alias zero debt. "Jadi ini merupakan utang perdana kita, demi smelter," kata Tony.
Menurut data Freeport yang disampaikan Tony, dengan adanya smelter setoran Freeport ke pemerintah akan turun.
![]() |
[Gambas:Video CNBC]
(wed/gus) Next Article Chappy Hakim: Turbulensi Freeport Hingga 'Papa Minta Saham'
Most Popular