Riset DBS: Bunga Acuan BI Bakal Turun Hingga 50 Bps

Herdaru Purnomo, CNBC Indonesia
19 August 2019 18:27
Bank DBS Indonesia baru saja merilis DBS Group Research berjudul Kelemahan Ekonomi Indonesia Muncul ke Permukaan.
Foto: REUTERS/Edgar Su
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank DBS Indonesia baru saja merilis DBS Group Research berjudul Kelemahan Ekonomi Indonesia Muncul ke Permukaan.

Riset tersebut diolah oleh Economist Bank DBS Indonesia, Masyita Crystallin. Ia menyoroti beberapa poin.

  • Pertumbuhan bertahan di angka 5% pada triwulan kedua 2019, didukung oleh konsumsi masyarakat dan swasta.
  • Konsumsi dan investasi kemungkinan meningkat karena ketidakpastian politik akibat Pemilu tahun ini mereda. Kebijakan fiskal dan moneter ekspansif diharapkan mendukung kondisi tersebut.
  • Sejumlah masalah belum teratasi, di antaranya defisit neraca berjalan yang semakin melebar, keresahan di pasar global, serta harga komoditas yang lemah.
  • Kebijakan fiskal dapat menjadi lebih efektif dalam mendukung pertumbuhan karena transmisi kebijakan moneter ke pertumbuhan lambat dan terkendala oleh pengetatan likuiditas.
  • Implikasi terhadap perkiraan: Kami menurunkan perkiraan pertumbuhan menjadi sebesar 5,0% pada tahun 2019 serta tingkat suku bunga acuan dipangkas sebesar 50 basis poin dalam beberapa bulan mendatang.
  • Implikasi terhadap investor: Kami tetap positif terhadap aset Indonesia, dengan preferensi sedikit lebih tinggi untuk obligasi pemerintah Indonesia bertenor 5-10 tahun.

Yang menarik adalah, DBS meramalkan bunga acuan BI bakal turun 50 bps dalam beberapa bulan ke depan.

"Bank Indonesia telah menekankan bahwa ada ruang bagi kebijakan moneter lebih akomodatif untuk mendukung pertumbuhan setelah pemotongan suku bunga sebesar 25 basis poin pada bulan lalu. Namun, hal tersebut tidak akan memberikan dampak secara langsung terhadap pertumbuhan tahun ini karena keterlambatan transmisi kebijakan moneter," tulis Masyita dalam rilisnya, Senin (19/8/2019).

Likuiditas domestik, yang lebih ketat, dan penetapan kembali suku bunga (repricing), dan jeda selama 6 bulan antara penetapan kembali suku bunga pinjaman dan deposito, dapat membatasi efektivitas saluran suku bunga terhadap kredit sehingga mempengaruhi pertumbuhan.

Ia menerangkan, defisit transaksi berjalan (CAD) pada triwulan kedua 2019 memburuk hingga mencapai 3% dari PDB, dibandingkan dengan 2,6% dari PDB pada triwulan pertama 2019, karena repatriasi dividen musiman, pembayaran pinjaman luar negeri dan penurunan ekspor.

"Dengan pelebaran CAD dan ketegangan perang mata uang, yang tengah berlangsung, Bank Indonesia (BI) akan tetap berhati-hati dalam melakukan penurunan suku bunga lebih lanjut."

"Kami berharap bahwa besarnya pemotongan suku bunga akan hampir sama sebagaimana kebijakan Bank Sentral AS sehingga dapat mempertahankan perbedaan tingkat suku bunga," terangnya lebih jauh.

Setelah ledakan komoditas berakhir pada 2013, CAD melebar secara signifikan selama ekspansi pertumbuhan. Dalam 2 tahun terakhir, pertumbuhan, yang berada di atas 5,1%, menyebabkan defisit sebesar -7,4 miliar dolar AS (jika dibandingkan dengan defisit sebesar -4,7 miliar dolar AS untuk pertumbuhan di bawah 5,1%) dalam tiga tahun terakhir.

Guna mengurangi kecenderungan akibat CAD tersebut, kebijakan sektor riil perlu mengejar ketertinggalan ini melalui kebijakan di sisi permintaan (baik moneter maupun fiskal). Kebijakan sektor riil ini termasuk menindaklanjuti reformasi struktural, yang bertujuan untuk menurunkan biaya logistik, meningkatkan kemudahan dalam berbisnis, merealisasikan undang-undang ketenagakerjaan ramah bisnis, serta pengembangan industri berorientasi ekspor dengan nilai tambah lebih tinggi.





(dru) Next Article DBS Indonesia Borong Penghargaan Nasional & Internasional

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular