Rapor 5 Tahun Kabinet Jokowi
Menkominfo Rudiantara: Beternak Unicorn, Lamban Konsolidasi
Yazid Muamar, CNBC Indonesia
14 July 2019 08:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dalam lima tahun terakhir ini getol menyerukan konsolidasi industri telekomunikasi. Sayang, berakhir sebagai gaung. Tak ada yang menyambut. Di sisi lain, start up tumbuh bak jamur di musim hujan berujung pada lahirnya empat unicorn.
Sejak tanggal 27 Oktober 2014 kementerian tersebut dikomandoi oleh sosok menteri yang bernama Rudiantara. Sejak 2014 sampai dengan 2019, posisinya bisa dikatakan tidak tergoyahkan ketika beberapa menteri lainnya dirotasi atau bahkan diberhentikan.
Sosok peraih penghargaan '50 Pemimpin Baru Pembawa Perubahan' versi AsiaGlobe Indonesia tersebut merupakan seorang profesional di bidang telekomunikasi yang pernah berkarier di Indosat, Telkomsel, Excelcomindo (XL Axiata), dan Telkom.
Dia juga pernah bekerja di PT PLN (Persero) sebagai Wakil Direktur Utama. Saat ditunjuk sebagai Menkominfo, ia sedang menjabat sebagai anggota dewan komisaris di PT Indosat Tbk (ISAT).
Dihadapkan pada tantangan industri digital, lulusan Universitas Padjajaran, jurusan statistika pada 1984 tersebut memiliki cita-cita bahwa Indonesia akan memiliki 10 perusahaan rintisan (start up) level unicorn pada 2020 mendatang.
Unicorn adalah sebutan bagi perusahaan rintisan atau startup yang punya valuasi (nilai bisnis dari suatu perusahaan) sudah mencapai US$1 miliar atau setara Rp14 triliun (dengan kurs Rp14.000/USD). Hingga saat ini, Indonesia memiliki 4 Unicorn (Tokopedia, Go Jek, Traveloka dan Bukalapak), menjadi negara di Asia Tenggara dengan jumlah unicorn terbesar.
Ini layak diapresiasi karena memang tidak mudah mendorong perusahaan rintisan naik ke level tersebut. Salah satu start up yang akan digenjotnya tersebut yakni perusahaan rintisan yang bergerak di bidang financial technology (fintech).
Memang saat ini cukup banyak perusahaan fintech yang beroperasi. Sampai 31 Mei 2019, jumlah fintech yang terdaftar dan berizin di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebanyak 113 perusahaan. Hanya saja, fintech tersebut umumnya masih bersifat jasa peminjaman uang (lending), yang bersaing dengan layanan perbankan konvensional.
Bisa ditebak perkembangan bisnisnya tidak akan secepat start up lain seperti Go Jek maupun Traveloka yang berani masuk ke pasar yang masif dan potensial. Perusahaan fintech juga menghadapi peraturan yang lebih ketat dari berbagai regulator. Misalnya dari OJK yang telah meluncurkan fintech hub atau fintech center.
Meski bertujuan mendukung ekosistem fintech, pihak otoritas menghendaki tanggung jawab yang lebih besar terhadap perusahaan fintech baik secara izin pendirian maupun praktik-praktik bisnis yang lebih ketat.
Selain fintech, sebenarnya masih banyak bidang-bidang lain yang bisa dikembangkan antara lain perumahan, kesehatan, dan lainnya. Di bidang kesehatan misalnya, menurut Catcha Group pada tahun 2025 valuasi pasar industri kesehatan Indonesia diperkirakan tumbuh hingga US$363 miliar.
Pada paruh pertama 2018, total pendanaan healthtech di Asia baru mencapai US$3,3 miliar. Pada tahun 2025, valuasi pasar industri kesehatan di Indonesia diperkirakan tumbuh hingga US$363 miliar sehingga peluang bertumbuhnya perusahaan healthtech di Indonesia sebenarnya cukup besar.
Namun, hingga kini belum ada unicorn baru yang tercipta, sementara kritikan kian bermunculan mengenai 4 unicorn yang kini di atas kertas sudah "dikuasai asing" karena dominannya angel investor dari luar negeri yang kian menggencet kepemilikan pendirinya.
NEXT
Sejak tahun lalu, Kominfo mendorong operator telekomunikasi seluler untuk melakukan konsolidasi guna efisiensi serta mengantisipasi kompetisi antar operator telekomunikasi yang dapat menurunkan pertumbuhan industri telekomunikasi.
Ismail selaku Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika mengungkapkan bahwa industri telekomunikasi sepanjang 2018 semakin terpuruk. Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) bahkan menyebutkan pertama kalinya dalam sejarah, industri telekomunikasi Indonesia mengalami pertumbuhan minus 6,4% tahun lalu.
Penurunan tersebut sebenarnya tidak hanya disebabkan persaingan antaroperator saja tetapi juga disebabkan turunnya pemakaian layanan voice/SMS yang telah digantikan oleh layanan baru dari penyelenggara Over the Top (OTT), serta adanya regulasi registrasi SIM Card.
Di tengah kondisi itu, seruan konsolidasi pun kian kencang. Rudiantara menyusun aturan merger dan akuisisi di sektor telekomunikasi yang intinya menjamin keadilan bagi industri. Termasuk frekuensi, yang tidak akan diambil pemerintah jika ada aksi korporasi satu operator mengakuisisi operator lain.
Jika dilihat dari Jumlah operator telekomunikasi seluler yang beroperasi di Indonesia, saat ini hanya ada lima operator saja, jumlah tersebut sudah termasuk operator Axis yang telah bergabung dengan XL Axiata. Jumlah operator itu bisa dikatakan hampir sama dengan operator di kawasan Asia tenggara.
* Dirangkum dari berbagai sumber
Hanya saja, persaingan yang sengit antar operator dapat merugikan industri itu sendiri. Dengan luas indonesia yang garis pantainya terpanjang di dunia, perlu pemain-pemain besar dari sisi kekuatan kapital untuk membangun infrastruktur di seluruh Indonesia secara cepat dan bukannya jumlah pemain yang banyak tetapi saling bersaing di wilayah yang sama.
Namun sayangnya, sampai dengan sekarang belum ada kabar konsolidasi baru untuk menguatkan industri berbasis teknologi tersebut. Seruan dan program Rudiantara sampai saat ini belum berujung pada akuisisi atau merger baru.
Padahal, pada periode pemerintahan sebelumnya (2009-2014) kita mencatat ada tiga aksi konsolidasi: PT Mobile-8 Telecom Tbk yang mengakuisisi PT Smartfren Telecom pada 2010, yakni Ceria (PT Bakrie Telecom Tbk) yang mengakuisisi PT Sampoerna Telekom (2012), dan PT XL Axiata Tbk yang mengakuisisi PT Axis (2014).
Ada apa, Pak Rudiantara?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(yam/roy) Next Article Rudiantara Buka-Bukaan Soal Palapa Ring
Sejak tanggal 27 Oktober 2014 kementerian tersebut dikomandoi oleh sosok menteri yang bernama Rudiantara. Sejak 2014 sampai dengan 2019, posisinya bisa dikatakan tidak tergoyahkan ketika beberapa menteri lainnya dirotasi atau bahkan diberhentikan.
Sosok peraih penghargaan '50 Pemimpin Baru Pembawa Perubahan' versi AsiaGlobe Indonesia tersebut merupakan seorang profesional di bidang telekomunikasi yang pernah berkarier di Indosat, Telkomsel, Excelcomindo (XL Axiata), dan Telkom.
Dihadapkan pada tantangan industri digital, lulusan Universitas Padjajaran, jurusan statistika pada 1984 tersebut memiliki cita-cita bahwa Indonesia akan memiliki 10 perusahaan rintisan (start up) level unicorn pada 2020 mendatang.
Unicorn adalah sebutan bagi perusahaan rintisan atau startup yang punya valuasi (nilai bisnis dari suatu perusahaan) sudah mencapai US$1 miliar atau setara Rp14 triliun (dengan kurs Rp14.000/USD). Hingga saat ini, Indonesia memiliki 4 Unicorn (Tokopedia, Go Jek, Traveloka dan Bukalapak), menjadi negara di Asia Tenggara dengan jumlah unicorn terbesar.
Ini layak diapresiasi karena memang tidak mudah mendorong perusahaan rintisan naik ke level tersebut. Salah satu start up yang akan digenjotnya tersebut yakni perusahaan rintisan yang bergerak di bidang financial technology (fintech).
Memang saat ini cukup banyak perusahaan fintech yang beroperasi. Sampai 31 Mei 2019, jumlah fintech yang terdaftar dan berizin di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebanyak 113 perusahaan. Hanya saja, fintech tersebut umumnya masih bersifat jasa peminjaman uang (lending), yang bersaing dengan layanan perbankan konvensional.
Bisa ditebak perkembangan bisnisnya tidak akan secepat start up lain seperti Go Jek maupun Traveloka yang berani masuk ke pasar yang masif dan potensial. Perusahaan fintech juga menghadapi peraturan yang lebih ketat dari berbagai regulator. Misalnya dari OJK yang telah meluncurkan fintech hub atau fintech center.
Meski bertujuan mendukung ekosistem fintech, pihak otoritas menghendaki tanggung jawab yang lebih besar terhadap perusahaan fintech baik secara izin pendirian maupun praktik-praktik bisnis yang lebih ketat.
Selain fintech, sebenarnya masih banyak bidang-bidang lain yang bisa dikembangkan antara lain perumahan, kesehatan, dan lainnya. Di bidang kesehatan misalnya, menurut Catcha Group pada tahun 2025 valuasi pasar industri kesehatan Indonesia diperkirakan tumbuh hingga US$363 miliar.
Pada paruh pertama 2018, total pendanaan healthtech di Asia baru mencapai US$3,3 miliar. Pada tahun 2025, valuasi pasar industri kesehatan di Indonesia diperkirakan tumbuh hingga US$363 miliar sehingga peluang bertumbuhnya perusahaan healthtech di Indonesia sebenarnya cukup besar.
Namun, hingga kini belum ada unicorn baru yang tercipta, sementara kritikan kian bermunculan mengenai 4 unicorn yang kini di atas kertas sudah "dikuasai asing" karena dominannya angel investor dari luar negeri yang kian menggencet kepemilikan pendirinya.
NEXT
Sejak tahun lalu, Kominfo mendorong operator telekomunikasi seluler untuk melakukan konsolidasi guna efisiensi serta mengantisipasi kompetisi antar operator telekomunikasi yang dapat menurunkan pertumbuhan industri telekomunikasi.
Ismail selaku Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika mengungkapkan bahwa industri telekomunikasi sepanjang 2018 semakin terpuruk. Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) bahkan menyebutkan pertama kalinya dalam sejarah, industri telekomunikasi Indonesia mengalami pertumbuhan minus 6,4% tahun lalu.
Penurunan tersebut sebenarnya tidak hanya disebabkan persaingan antaroperator saja tetapi juga disebabkan turunnya pemakaian layanan voice/SMS yang telah digantikan oleh layanan baru dari penyelenggara Over the Top (OTT), serta adanya regulasi registrasi SIM Card.
Di tengah kondisi itu, seruan konsolidasi pun kian kencang. Rudiantara menyusun aturan merger dan akuisisi di sektor telekomunikasi yang intinya menjamin keadilan bagi industri. Termasuk frekuensi, yang tidak akan diambil pemerintah jika ada aksi korporasi satu operator mengakuisisi operator lain.
Jika dilihat dari Jumlah operator telekomunikasi seluler yang beroperasi di Indonesia, saat ini hanya ada lima operator saja, jumlah tersebut sudah termasuk operator Axis yang telah bergabung dengan XL Axiata. Jumlah operator itu bisa dikatakan hampir sama dengan operator di kawasan Asia tenggara.
No | Negara | Jumlah Operator |
1 | Australia | 3 |
2 | Kanada | 11 |
3 | China | 3 |
4 | Perancis | 4 |
5 | Japan | 4 |
6 | Malaysia | 9 |
7 | Singapura | 5 |
8 | Indonesia | 5 |
9 | Thailand | 4 |
10 | Vietnam | 6 |
Hanya saja, persaingan yang sengit antar operator dapat merugikan industri itu sendiri. Dengan luas indonesia yang garis pantainya terpanjang di dunia, perlu pemain-pemain besar dari sisi kekuatan kapital untuk membangun infrastruktur di seluruh Indonesia secara cepat dan bukannya jumlah pemain yang banyak tetapi saling bersaing di wilayah yang sama.
Namun sayangnya, sampai dengan sekarang belum ada kabar konsolidasi baru untuk menguatkan industri berbasis teknologi tersebut. Seruan dan program Rudiantara sampai saat ini belum berujung pada akuisisi atau merger baru.
Padahal, pada periode pemerintahan sebelumnya (2009-2014) kita mencatat ada tiga aksi konsolidasi: PT Mobile-8 Telecom Tbk yang mengakuisisi PT Smartfren Telecom pada 2010, yakni Ceria (PT Bakrie Telecom Tbk) yang mengakuisisi PT Sampoerna Telekom (2012), dan PT XL Axiata Tbk yang mengakuisisi PT Axis (2014).
Ada apa, Pak Rudiantara?
TIM RISET CNBC INDONESIA
(yam/roy) Next Article Rudiantara Buka-Bukaan Soal Palapa Ring
Most Popular