Mengapa Ponsel Lokal Masih Tertinggal dari Negara Lain?

Samuel Pablo, CNBC Indonesia
15 June 2019 14:51
Janu menyebut krisis sumber daya manusia (SDM) berkualitas menjadi masalah utama pengembangan ponsel lokal.
Foto: Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketika dunia diributkan dengan serangan bertubi-tubi Presiden AS Donald Trump terhadap Huawei Technologies Co. Ltd. dalam perang teknologi AS-China, industri telepon seluler (ponsel) RI ternyata masih jauh dari kenyataan tersebut.

Berbincang eksklusif dengan CNBC Indonesia, Direktur Industri Elektronika dan Telematika Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Janu Suryanto mengatakan industri ponsel RI masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara lain.

Janu menyebut krisis sumber daya manusia (SDM) berkualitas, khususnya dalam software engineering serta penguasaan teknologi, baik untuk perangkat keras (hardware) maupun perangkat lunak (software) menjadi masalah utama pengembangan industri ponsel di Tanah Air.

Untuk perangkat keras ponsel, Janu menyebut pabrik ponsel domestik saat ini belum mampu memproduksi chip, mainboard, semi-conductor dan LCD monitor.

"Di dunia saja masih sedikit pabrik yang bisa produksi LCD. Berat itu, biasanya kita impor langsung. Untung sudah ada pabrikan dalam negeri yang bisa produksi backlight, tapi teknologinya masih asing," kata Janu di kantornya, Kamis (13/6/2019).



Lagi-lagi soal penguasaan teknologi, Janu menyebut Hak Kekayaan Intelektual/ Intellectual Property Rights (HKI/IPR) sebagai kendala bagi industri dalam negeri untuk melakukan transfer teknologi.

"Kemarinan saja ada beberapa merek ponsel Indonesia dituntut pelanggaran IPR sama Nokia. Terus terang, berat bagi kita kalau berhadapan dengan masalah HKI ini. Ini kuncinya di riset dan inovasi, tugasnya universitas kita," jelasnya.

"Masalah di kita itu kekurangan SDM yang ahli, khususnya software engineer. Kita masih kalah dari India. Programming, buat software itu nggak gampang. Lulusan sini pun kan jarang yang ambil software engineering," tambahnya.

Dia mencontohkan rencana Kemenperin membuat regulasi terkait pengaturan IMEI (International Mobile Equipment Identity) bersama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo). Pihaknya ternyata kesulitan mencari software engineer yang memenuhi kualifikasi.

"Itu saja kita cari software engineer yang menguasai Python [bahasa pemrograman] susah sekali. Belum ada tuh yang daftar. Sementara di Taiwan sana mahasiswa sarjana mauoun magisternya sudah paham Python," keluhnya.

Mengapa Industri Ponsel RI Masih Tertinggal dari Negara Lain?Foto: Doc. Razer


Janu menyebut Advan, Evercoss dan Mito Mobile sebagai merk-merk ponsel lokal yang mampu bersaing di tengah serbuan ponsel impor. Masalahnya, sedikit dari merk tersebut yang menguasai teknologi sistem operasi (operating system/OS).

"Ada software yang dikembangkan Polytron, yakni Fira. Advan juga sudah ada OS sendiri tapi saya lupa namanya. Masalahnya Polytron kalah bersaing di 4G, mungkin nanti di 5G saya akan usahakan supaya dia mau terlibat lagi," katanya.

Janu menerangkan, pemerintah sedang mengusahakan agar Huawei mau melakukan kerja sama dan transfer teknologi pengembangan chip dengan perusahaan lokal seperti Polytron, supaya industri elektronika domestik bisa kembali hidup dan kompetitif.

"Seperti produk BTS [base transceiver station] Huawei itu kan high-tech, bisa lah dibagi teknologinya ke perusahaan lokal. Dan ini terbuka untuk perusahaan manapun, Huawei pun kan sedang cari partner. Kita ini kan bebas aktif," pungkasnya.

[Gambas:Video CNBC]


(miq/miq) Next Article Akhirnya Ponsel Black Market Disuntik Mati

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular