
Tarif Tiket Pesawat
Tiket Mahal, Maskapai Bukan Satu-satunya yang Tanggung Jawab
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
13 June 2019 13:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga tiket pesawat yang melangit sudah cukup lama menjadi polemik di tengah masyarakat Indonesia.
Bahkan masalah tersebut tidak kunjung mereda pasca kementerian perhubungan menetapkan Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) pada April 2019.
Saat ini berbagai maskapai berlomba-lomba untuk menetapkan tarif yang mendekati plafon atas. Tengok saja penerbangan rute Jakarta-Surabaya, dimana pemerintah menetapkan TBB sebesar Rp 480.000 dan TBA sebesar Rp 1.372.000. Sementara berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia pada salah satu situs tiket online hari Kamis (13/6/2019), harga tiket untuk rute tersebut paling murah adalah Rp 1.032.500 atau lebih dari dua kali lipat di atas TBB.
Pembentukan harga tiket itu memang kompleks. Maskapai penerbangan bukanlah satu-satunya entitas yang bertanggung jawab atas mahalnya harga tiket pesawat. Pasalnya, pembentukan harga tiket juga memasukkan komponen-komponen di luar operasional penerbangan.
Contohnya saja biaya bandar udara (bandara). Berdasarkan laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), beban bandara pada 2018 mencapai US$ 404,7 juta atau naik 5,76% dibanding tahun sebelumnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 20 Tahun 2019, juga ada komponen yang disebut dengan Biaya Jasa Bandar Udara dalam penentuan TBB dan TBA. Dalam komponen tersebut ada sejumlah biaya yang harus dibayarkan kepada bandara oleh maskapai penerbangan, seperti:
Artinya, untuk setiap pendaratan, parkir pesawat, serta layanan penerbangan seperti navigasi dan komunikasi, maskapai penerbangan perlu membayar kepada pihak-pihak yang terkait. Entitas-entitas yang kemungkinan besar terlibat dalam pembentukan biaya tersebut antara lain Angkasa Pura selaku bandara dan AirNav selaku penyedia layanan penerbangan.
Biaya-biaya tersebut, mau tidak mau nantinya akan diteruskan kepada konsumen melalui harga tiket.
Belum lagi ada juga biaya passenger service charge (PSC) di berbagai bandara yang ikut memberi nilai tambah pada harga tiket. Bahkan pada Maret 2018, biaya ini mengalami kenaikan. Contohnya di Bandara Soekarno-Hatta terminal 3 domestik yang naik 73,33% dari Rp 75.000 menjadi Rp 130.000.
Maka dari itu, bila memang pemerintah ingin membuat iklim dunia penerbangan di Indonesia lebih ramah untuk konsumen, maka seluruh pihak yang terkait dengan pembentukan harga tiket harus saling mendukung.
Karena maskapai penerbangan juga sudah berdarah-darah. BERLANJUT KE HALAMAN 2>>> Jika solusi untuk menurunkan harga tiket hanya membebani maskapai dengan menurunkan TBA, kinerja maskapai akan semakin tertekan. Apalagi saat ini maskapai sudah terbebani harga avtur yang tinggi, seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia.
Sepanjang tahun 2018, IATA mencatat adanya kenaikan biaya bahan bakar hingga 20,5% dibanding tahun 2017. Hal itu praktis dipengaruhi oleh harga minyak mentah, dimana rata-rata Brent tahun 2018 berada di posisi US$ 71,61 atau naik hingga 30,9% dibanding tahun sebelumnya.
Mengingat biaya bahan bakar merupakan penyumbang 30-35%% dari total biaya operasi penerbangan, maka tentu saja beban total maskapai penerbangan juga meningkat secara signifikan.
Pun tahun ini, beberapa analis memperkirakan harga Brent secara rata-rata tahunan akan berada di posisi US$ 70/barel, yang artinya mirip dengan kondisi tahun 2018.
Penuh tekanan.
Pemerintah pun sebenarnya sudah sadar akan hal ini. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Polana B. Pramesti juga mengatakan kondisi keuangan sebagian besar maskapai di Indonesia sedang tidak baik.
"Kalau dari laporan keuangan sih. Terakhir ya 2018 banyak yang rugi lah," ujar Polana di kantornya, Senin (10/6/2019). "Tak ada yang untung malahan. AirAsia juga, hampir Rp 1 triliun kalau enggak salah ya [kerugiannya]," ujar Polana.
Terlebih lagi, maskapai penerbangan juga harus menanggung biaya perawatan pesawat. Pada 2018, biaya pemeliharaan dan perbaikan Garuda Indonesia mencapai US$ 529,3 juta.
Tentu saja tidak ada yang mau maskapai penerbangan memangkas biaya perawatan demi menurunkan harga tiket. Biaya ini menyangkut keselamatan penumpang yang tidak bisa diganggu-gugat.
Namun, jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan maka akan banyak industri yang menjadi korbannya. Salah satu yang paling kentara adalah industri pariwisata. Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel pada kuartal I-2019 hanya tinggal 52,26%, turun dari posisi 55,07% di kuartal I-2018. Itu merupakan indikasi bahwa wisatawan domestik semakin berkurang. Padahal industri pariwisata merupakan salah satu tonggak perekonomian Indonesia yang menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Mulai Besok, Beli Tiket Pesawat Diskon Sampai Rp 100 Ribu
Bahkan masalah tersebut tidak kunjung mereda pasca kementerian perhubungan menetapkan Tarif Batas Atas (TBA) dan Tarif Batas Bawah (TBB) pada April 2019.
Saat ini berbagai maskapai berlomba-lomba untuk menetapkan tarif yang mendekati plafon atas. Tengok saja penerbangan rute Jakarta-Surabaya, dimana pemerintah menetapkan TBB sebesar Rp 480.000 dan TBA sebesar Rp 1.372.000. Sementara berdasarkan penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia pada salah satu situs tiket online hari Kamis (13/6/2019), harga tiket untuk rute tersebut paling murah adalah Rp 1.032.500 atau lebih dari dua kali lipat di atas TBB.
Contohnya saja biaya bandar udara (bandara). Berdasarkan laporan keuangan PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), beban bandara pada 2018 mencapai US$ 404,7 juta atau naik 5,76% dibanding tahun sebelumnya.
Berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 20 Tahun 2019, juga ada komponen yang disebut dengan Biaya Jasa Bandar Udara dalam penentuan TBB dan TBA. Dalam komponen tersebut ada sejumlah biaya yang harus dibayarkan kepada bandara oleh maskapai penerbangan, seperti:
- Jasa Pendaratan, yang mana dihitung berdasarkan jumlah pendaratan pesawat.
- Jasa Penempatan, dihitung berdasarkan jumlah penempatan yang setara dengan frekuensi penerbangan.
- Pelayanan Jasa Penerbangan, dihitung berdasarkan jumlah rute unit penerbangan per tahun.
Artinya, untuk setiap pendaratan, parkir pesawat, serta layanan penerbangan seperti navigasi dan komunikasi, maskapai penerbangan perlu membayar kepada pihak-pihak yang terkait. Entitas-entitas yang kemungkinan besar terlibat dalam pembentukan biaya tersebut antara lain Angkasa Pura selaku bandara dan AirNav selaku penyedia layanan penerbangan.
Biaya-biaya tersebut, mau tidak mau nantinya akan diteruskan kepada konsumen melalui harga tiket.
Belum lagi ada juga biaya passenger service charge (PSC) di berbagai bandara yang ikut memberi nilai tambah pada harga tiket. Bahkan pada Maret 2018, biaya ini mengalami kenaikan. Contohnya di Bandara Soekarno-Hatta terminal 3 domestik yang naik 73,33% dari Rp 75.000 menjadi Rp 130.000.
Maka dari itu, bila memang pemerintah ingin membuat iklim dunia penerbangan di Indonesia lebih ramah untuk konsumen, maka seluruh pihak yang terkait dengan pembentukan harga tiket harus saling mendukung.
Karena maskapai penerbangan juga sudah berdarah-darah. BERLANJUT KE HALAMAN 2>>> Jika solusi untuk menurunkan harga tiket hanya membebani maskapai dengan menurunkan TBA, kinerja maskapai akan semakin tertekan. Apalagi saat ini maskapai sudah terbebani harga avtur yang tinggi, seiring dengan kenaikan harga minyak mentah dunia.
Sepanjang tahun 2018, IATA mencatat adanya kenaikan biaya bahan bakar hingga 20,5% dibanding tahun 2017. Hal itu praktis dipengaruhi oleh harga minyak mentah, dimana rata-rata Brent tahun 2018 berada di posisi US$ 71,61 atau naik hingga 30,9% dibanding tahun sebelumnya.
![]() |
Mengingat biaya bahan bakar merupakan penyumbang 30-35%% dari total biaya operasi penerbangan, maka tentu saja beban total maskapai penerbangan juga meningkat secara signifikan.
Pun tahun ini, beberapa analis memperkirakan harga Brent secara rata-rata tahunan akan berada di posisi US$ 70/barel, yang artinya mirip dengan kondisi tahun 2018.
Penuh tekanan.
Pemerintah pun sebenarnya sudah sadar akan hal ini. Direktur Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Polana B. Pramesti juga mengatakan kondisi keuangan sebagian besar maskapai di Indonesia sedang tidak baik.
"Kalau dari laporan keuangan sih. Terakhir ya 2018 banyak yang rugi lah," ujar Polana di kantornya, Senin (10/6/2019). "Tak ada yang untung malahan. AirAsia juga, hampir Rp 1 triliun kalau enggak salah ya [kerugiannya]," ujar Polana.
Terlebih lagi, maskapai penerbangan juga harus menanggung biaya perawatan pesawat. Pada 2018, biaya pemeliharaan dan perbaikan Garuda Indonesia mencapai US$ 529,3 juta.
Tentu saja tidak ada yang mau maskapai penerbangan memangkas biaya perawatan demi menurunkan harga tiket. Biaya ini menyangkut keselamatan penumpang yang tidak bisa diganggu-gugat.
Namun, jika pemerintah tidak segera mengambil tindakan maka akan banyak industri yang menjadi korbannya. Salah satu yang paling kentara adalah industri pariwisata. Mengutip Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata Tingkat Penghunian Kamar (TPK) hotel pada kuartal I-2019 hanya tinggal 52,26%, turun dari posisi 55,07% di kuartal I-2018. Itu merupakan indikasi bahwa wisatawan domestik semakin berkurang. Padahal industri pariwisata merupakan salah satu tonggak perekonomian Indonesia yang menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Mulai Besok, Beli Tiket Pesawat Diskon Sampai Rp 100 Ribu
Most Popular