Karangan bunga terpampang di depan Masjid Al Noor, lokasi terjadinya penembakan yang menewaskan 50 orang yang sedang menunaikan ibadah Salat Jumat pada (15/3/2019), di Christchurch, Selandia Baru. (REUTERS / Edgar Su)
Farid Ahmed memandang foto mendiang istrinya Husna yang tewas dalam penembakan itu dan putri mereka. (REUTERS / Edgar Su)
Farid Ahmed (di kursi roda), selamat dari penembakan di Christchurch sementara istrinya Husna terbunuh. Ia bergabung dengan kerabatnya saat ia mengunjungi tetangganya untuk mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka, di Christchurch, Selandia Baru. (REUTERS / Edgar Su)
Farid Ahmed berdoa bersama tetangganya selama kunjungannya untuk mengucapkan terima kasih atas dukungan mereka. Ketika tetangganya mendengar kematian istrinya, "mereka berlari mereka menangis," kata Ahmed. (REUTERS / Edgar Su)
Di sebuah rumah satu lantai dekat Masjid Al Noor, Zahra Fathy membalik halaman-halaman dalam album foto yang disusun oleh suaminya Hussein Moustafa, yang meninggal dalam pembantaian itu. (REUTERS / Edgar Su)
Mohammed Moustafa menunjukkan sebuah arloji yang dikenakan oleh almarhum ayahnya, Hussein Moustafa, 70 tahun. Arloji itu adalah hadiah dari Mohammed kepada ayahnya. (REUTERS / Edgar Su)
Al-Quran ditumpuk dengan rapi di perpustakaan yang disusun oleh Hussein Moustafa. Moustafa telah menghabiskan waktu di masjid hampir setiap hari, mengatur teks-teks agama dan merawat kebun sayur yang menghasilkan labu, selada, dan brokoli untuk masyarakat sekitar. (REUTERS / Edgar Su)
Mohammed Israfil Hossain, seorang muazzin dari Bangladesh, menunjukkan sebuah pembukaan di mimbar tempat seorang bocah laki-laki berusia tiga tahun bersembunyi selama penembakan di masjid Al Noor Christchurch, Selandia Baru. (REUTERS / Edgar Su)
Pada hari penembakan, Faisal (korban selamat) terlambat ke masjid, suatu sifat yang tidak biasa yang mungkin menyelamatkan hidupnya. Ketika pria bersenjata itu masuk dan mulai menembak jamaah saat sholat, Faisal ada di kamar mandi dan baru saja akan mandi. (REUTERS / Edgar Su)