Tingkat Pengangguran Era Jokowi Memang Berkurang, Tapi...

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
17 March 2019 19:29
Tingkat Pengangguran Era Jokowi Memang Berkurang, Tapi...
Foto: Presiden Joko Widodo (Jokowi) (dok. Setkab)
Jakarta, CNBC Indonesia - Permasalahan ketenagakerjaan merupakan permasalahan yang sangat penting. Saking pentingnya, isu tenaga kerja menjadi salah satu yang akan menjadi sorotan utama pada perhelatan debat calon wakil presiden pada Minggu malam ini (17/3/2019).

Memang tak melulu soal tenaga kerja, ada beberapa isu lain seperti pendidikan, kesehatan, dan sosial budaya yang juga akan dibahas.

Namun, tampaknya tenaga kerja akan menjadi yang paling hangat, mengingat hubungannya paling dekat dengan penghasilan dan kesejahteraan. Kalau sudah menyangkut perut, orang agak lebih cepat panas.

Dalam hal ini, posisi incumbent memiliki keuntungan karena sudah dapat membuktikan hasil kerjanya. Sudah ada yang bisa diperlihatkan.

Namun bak pedang bermata dua. Kala hasilnya bagus bisa menjadi keunggulan. Tapi berlaku pula sebaliknya.

Bila melihat data dari tahun 2015-2018, yaitu saat pemerintahan sudah di bawah kendali penuh Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla, tingkat pengangguran memang tercatat berada pada angka yang relatif rendah.



Hal ini dapat terlihat dari tingkat pengangguran yang rata-ratanya berada di angka 5,55% pada periode tersebut. Bahkan untuk semester yang berakhir pada Februari 2018, tingkat pengangguran hanya sebesar 5,13%, atau merupakan yang paling rendah setidaknya sejak 2005.

Artinya memang harus diakui bahwa tingkat pengangguran sudah semakin berkurang di tangan Joko Widodo.

Namun sayangnya, jika dibandingkan dari seluruh jumlah pengangguran, porsi pengangguran yang memiliki pendidikan di tingkat universitas terus mengalami tren peningkatan.

Pada periode 2015-208, pengangguran yang memiliki tingkat pendidikan universitas memiliki porsi rata-rata sebesar 9,19%. Jauh meningkat dibanding periode 2005-2008 yang hanya sebesar 4,55%.

Ini artinya, pertumbuhan tenaga kerja pada tingkat pendidikan tinggi tidak tumbuh secepat ketersediaan tenaga kerjanya.

Di sisi lain, sistem pendidikan yang kurang kurang sesuai dengan kebutuhan pasar tenaga kerja juga turut mendukung terjadinya hal tersebut.

Hal ini dikarenakan pendidikan di tingkat universitas sudah menjurus ke suatu bidang keilmuan tertentu. Apabila antara bidang keilmuan dan bidang tenaga kerja tidak sesuai, maka sudah tentu pengangguran akan meningkat.

Sama halnya dengan porsi pengangguran dengan tingkat pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) yang juga mengalami tren peningkatan. Pada pada periode 2015-2018, pengangguran dengan pendidikan SMK memiliki porsi rata-rata sebesar 20,69% terhadap total pengangguran. Padahal Pada periode 2015-2008, rata-rata hanya sebesar 12,30% orang berpendidikan SMK yang menganggur dibanding total pengangguran.

Untuk itu, pemerintah selayaknya lebih memperhatikan perkembangan kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan industri, bukan hanya berfokus pada sistem pendidikan yang turun temurun. Tak hanya itu, pertumbuhan industri juga harus didukung. Bila tidak, ya hasilnya akan sama saja.



(BERLANJUT KE HALAMAN SELANJUTNYA)
Fenomena itu tidak terlepas dari kinerja sektor manufaktur yang masih belum mendapat perhatian serius. Lihat saja porsi tenaga kerja yang masih didominasi di sektor pertanian (termasuk didalamnya kehutanan dan perikanan).

Pada Agustur 2018 saja, porsi tenaga kerja yang berada di sektor pertanian masih sebesar 29% dibanding seluruh tenaga kerja pada periode tersebut. Disusul oleh sektor penjualan dan reparasi kendaraan bermotor dengan sumbangsih sebesar 19%. Sektor manufaktur harus rela puas dengan bagian hanya sebesar 15%.

Tak heran bagian industri manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) kian lama makin menipis. Teranyar pada tahun 2018, sumbangan sektor manufaktur terhadap PDB sudah kurang dari 20%, tepatnya 19,86%.
Ini semakin mengonfirmasi bahwa kita adalah bangsa yang sangat tergantung dari hasil alam, alias komoditas. Alhasil, harga-harga komoditas masih akan berperan sangat besar terhadap kinerja perdagangan luar negeri (ekspor-impor). Perekonomian menjadi rentan terhadap faktor-faktor eksternal.
Buktinya pun sudah kita rasakan. Tahun 2018, saat harga-harga komoditas agrikultur utama Indonesia seperti minyak sawit dan karet amblas, defisit neraca perdagangan jatuh ke liang terdalam sepanjang sejarah.
Andaikata sejak dahulu pemerintah lebih menggenjot pertumbuhan manufaktur dalam negeri, mungkin hasilnya akan berbeda. Produk-produk buatan anak bangsa akan memiliki daya saing yang lebih dari sekedar persaingan harga.



TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular