Dear Zaky, Kunci Dana R&D Besar Itu Bukan di 'Presiden Baru'

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
15 February 2019 20:48
Dear Zaky, Kunci Dana R&D Besar Itu Bukan di 'Presiden Baru'
Foto: Bukalapak
Jakarta, CNBC Indonesia-Tumben sekali persoalan minimnya dana riset dan pengembangan (research & development/ R&D) menjadi topik utama pembahasan netizen di Indonesia. Untuk ini, kita harus berterima kasih pada Pendiri Bukalapak Achmad Zaky.

Secara esensial, tidak ada yang salah dari cuitan Chief Executive Officer (CEO) startup berstatus unicorn-perusahaan bervaluasi di atas US$1 miliar (Rp 14,12 triliun)-ini. Indonesia memang tertinggal jauh dari negara lain untuk urusan dana R&D.

Namun apakah kemunculan "presiden baru" atau katakanlah terbentuknya pemerintahan terpilih yang baru layak dijadikan sorotan seperti cuitan dia? Kalo soal ini, tunggu dulu...

Berdasarkan
 penelusuran Tim Riset CNBC Indonesia, Indonesia memang menduduki peringkat buncit di antara negara utama di Asia Tenggara dalam hal alokasi dana R&D. Hal ini bisa dilihat dari data UNESCO Institute for Statistik (UIS) per 2018.

UNESCO adalah Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan milik Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Lembaga ini menjadi satu-satunya penyedia data komparasi mengenai indikator pengembangan R&D antar negara anggota PBB.



Berdasarkan data tersebut, terlihat bahwa Indonesia memiliki alokasi dana R&D yang terkecil di antara negara-negara lainnya yang terdata oleh UNESCO. Nilainya memang sesuai dengan yang dikutip Zaky yakni US$2 miliar, atau lebih tepatnya US$2,13 miliar.

Angka itu setara dengan 0,1% dari produk domestik bruto (PDB) nasional. Tidak ayal, Indonesia rata-rata hanya memiliki 89 orang periset dari setiap 1 juta penduduknya. Tak heran, Indonesia tidak masuk dalam daftar 20 besar negara yang paling rajin menerbitkan makalah ilmiah.

Jika dibandingkan dengan Filipina, Indonesia masih kalah dalam hal jumlah periset yang dimiliki per sejuta populasi, yakni 187 orang. Padahal, dana yang dialokasikan untuk aktivitas R&D pada kurun waktu yang sama justru tak lebih besar dari Indonesia, yakni 0,1% dari PDB.

Dari sisi nominal, angka gelontoran dana R&D di Filipina malah terhitung lebih kecil yakni sebesar US$886,5 juta atau dua kali lipat di bawah alokasi Indonesia.

Lalu apa yang membedakan Indonesia dengan Filipina? Ternyata ada pada kontribusi swasta yang jauh lebih besar, yakni US$316,7 juta, sedangkan pemerintah hanya US$263,6 juta.

NEXT 

Lalu bagaimana caranya agar dana R&D Indonesia bisa meningkat seperti di negara-negara tetangga sebagaimana yang diharapkan Zaky? Ternyata jawabannya—merujuk pada data Unesco, justru menunjuk ke mereka yang kini menjalankan bisnis seperti halnya Zaky. Bukan presiden, atau pemerintah.

“Di antara 15 negara yang berada di posisi teratas dalam hal jumlah alokasi Riset R&D, ada kesamaan yang mereka miliki, yakni anggaran R&D yang terbesar justru disumbangkan oleh pihak swasta," tulis UIS dalam laporan yang dirilis pada 28 Juni 2018 lalu.

Mari kita tengok Korea Selatan yang mengalokasikan dana R&D setara dengan 4,3% PDB-nya. Angka ini merupakan yang tertinggi di dunia, dan berujung pada jumlah periset sebanyak 6.856 orang dari setiap 1 juta populasinya.

Nilai dana R&D yang dibelanjakan tersebut setara dengan US$73,19 miliar. Namun, yang menyumbang terbesar justru sektor swasta yakni US$57,26 miliar (setara 78,2% dari total angka itu), diikuti pemerintah US$8,21 miliar dan Universitas US$6,6 miliar.



Dari sisi dominasi porsi swasta dalam pendanaan R&D, negara pendudukan Israel berada di posisi teratas dengan porsi swasta 84,6% (US$10,19 miliar) dari total alokasi US$12 miliar. Negara yang tengah berkonflik dengan Palestina ini memiliki 8.250 orang periset dari setiap 1 juta orang penduduknya.

Dari sisi nilai, Amerika Serikat (AS) memimpin dengan alokasi dana riset sebesar US$476,5 miliar, didorong oleh swasta dengan porsi 71,6% (US$340,73 miliar), disusul universitas (US$62,35 miliar). Pemerintah hanya menyumbang 11%. Hasilnya? Ada 4.255 orang periset per sejuta populasi di AS.

Mari kita bandingkan dengan Indonesia, di mana pemerintah masih menyumbang posisi terbesar yakni US$839,16 juta, atau 39,4% dari total alokasi dana R&D. Civitas akademika menyusul di posisi kedua (US$744,84 juta) sedangkan swasta hanya menyumbang US$547 juta (25,7%).

Jadi, jika Zaky berharap porsi dana R&D meningkat terhadap PDB, maka jangan bergantung pada “presiden baru.” Ajaklah para pengusaha nasional untuk mengalokasikan lebih banyak dana riset mengikuti Bukalapak yang baru-baru ini membuka dua fasilitas riset di Bandung.

Riset, dalam pertarungan industri, adalah senjata. Yang terdepan bakal menguasai inovasi produk, efektivitas ekspansi pasar, hingga efisiensi operasi. Lalu di mana peran pemerintah? Berikan insentif dan stimulus untuk aktivitas demikian, bukan (hanya) gelontoran dana yang kadang berujung jadi bancakan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular