
Kritikan The Economist untuk Jokowi, Tepatkah 'Serangannya'?
Iswari Anggit Pramesti, CNBC Indonesia
25 January 2019 19:40

Jakarta, CNBC Indonesia - The Economist, dalam artikelnya yang berjudul "Indonesia's Economic Growth is Being Held Back by Populism", mengkritik kinerja pemerintah era Presiden Joko Widodo (Jokowi) terutama terkait kinerja ekonominya.
Salah satu poin yang menjadi sorotan, ketika Jokowi di awal pemerintahannya menggenjot pembangunan infrastruktur. Bahkan, Jokowi mengambil langkah berani untuk memangkas subsidi energi.
Namun belakangan ini, memasuki masa kampanye jelang Pemilihan Umum pada April 2019 mendatang, Jokowi justru terkesan mengambil langkah mundur dengan mengurangi anggaran belanja modal untuk pembangunan infrastruktur dan kembali menambah anggaran subsidi.
The Economist memandang keputusan Jokowi ini telah ditunggangi kepentingan politik, untuk mencari "suara". Menurut The Economist, keputusan ini menghambat laju investasi dan berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Lantas, bagaimana pandangan ekonom Indonesia terkait hal ini?
Salah satu ekonom Center of Reform on Economist (CORE) Piter Abdullah berpandangan kalau kritik The Economist tidak sepenuhnya benar.
Yang benar dalam kritik tersebut menurutnya, hanya tentang target pertumbuhan ekonomi yang belum tercapai, serta langkah kebijakan pemerintah yang memang mempertimbangkan populis atau voters.
Piter menjelaskan keputusan pemerintah untuk kembali mengalokasikan anggaran untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti bantuan sosial dan subsidi energi, adalah tepat, karena telah mempertimbangkan kondisi ekonomi global dan dalam negeri.
"Tapi The Economist nampaknya salah memahami kondisi sosial politik Indonesia. Keputusan menahan harga BBM subsidi yang menyebabkan kenaikan beban subsidi, menurut hemat saya adalah yang paling tepat ditengah gejolak ekonomi global saat ini. Ketika permintaan global tidak bisa diharapkan, pemerintah harus menjaga permintaan domestik dan itu hanya bisa dilakukan dengan menjaga daya beli masyarakat," jelas Piter pada CNBC Indonesia, Jumat (25/1/2019).
Jika pemerintah tidak mengambil keputusan itu, Piter memprediksi inflasi yang menggerogoti daya beli bisa muncul. Dampaknya, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terhambat.
"Pertumbuhan ekonomi justru bisa lebih rendah lagi. Belanja infrastruktur tahun 2019 memang tidak melonjak drastis karena fokus pemerintah ke pembangunan SDM. Tapi belanja infrastruktur tidak turun. Pemerintah tetap komitmen untuk membangun infrastruktur. Dengan infrastruktur yang lebih baik plus perbaikan perizinan dan kebijakan lain yang memperbaiki ease of doing business, industri Indonesia akan kembali tumbuh."
Pandangan lain tentang kritik The Economist diutarakan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira. Menurut Bhima, kritikan dari The Economist terjadi karena media tersebut melihat akumulasi kebijakan pemerintah yang tidak jelas arahnya.
"Menurut saya kenapa artikel ini keluar, sebenarnya ini adalah peringatan keras bahwa reformasi yang dulu digadang-gadang pada saat kampanye 2014, faktanya justru turn arround atau berbalik arah. Makanya, [judulnyakan] Being Held by Populism, populismnya siapa? Ya voters jelang Pemilu 2019 nanti," kata Bhima.
Bhima menekankan bahwa kritik The Economist seharusnya menjadi pengingat kalau kebijakan ekonomi era pemerintah Jokowi belum optimal. Dengan demikian, jika dalam Pemilu 2019 Jokowi kembali terpilih, bisa memperbaiki kinerja ekonominya.
"Ini menjadi kritik yang cukup serius gitu, jadi gimana bisa ekonomi kita maju? Industri manufaktur kita tidak mengalami deindustrialisasi karena dari segi kebijakan pemerintah pun sekarang cenderung untuk populis gitu."
"Subsidi PKH [Program Keluarga Harapan] dinaikkan, subsidi energi juga dinaikkan. [Padahal] katanya kemarin mau memotong subsidi sehingga alokasi belanjanya bisa lebih produktif. Sementara belanja infrastruktur di APBN itu, ternyata memang kenaikkannya tidak sebesar dari belanja lainnya, dan lebih banyak membebani belanja BUMN. Nah ini ada efek resiko, siapapun pemerintahan berikutnya."
(dru) Next Article Proyek Infrastruktur Rp 6.000 T Pemerintah Tetap Lanjut
Salah satu poin yang menjadi sorotan, ketika Jokowi di awal pemerintahannya menggenjot pembangunan infrastruktur. Bahkan, Jokowi mengambil langkah berani untuk memangkas subsidi energi.
Namun belakangan ini, memasuki masa kampanye jelang Pemilihan Umum pada April 2019 mendatang, Jokowi justru terkesan mengambil langkah mundur dengan mengurangi anggaran belanja modal untuk pembangunan infrastruktur dan kembali menambah anggaran subsidi.
Lantas, bagaimana pandangan ekonom Indonesia terkait hal ini?
Salah satu ekonom Center of Reform on Economist (CORE) Piter Abdullah berpandangan kalau kritik The Economist tidak sepenuhnya benar.
Yang benar dalam kritik tersebut menurutnya, hanya tentang target pertumbuhan ekonomi yang belum tercapai, serta langkah kebijakan pemerintah yang memang mempertimbangkan populis atau voters.
Piter menjelaskan keputusan pemerintah untuk kembali mengalokasikan anggaran untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) seperti bantuan sosial dan subsidi energi, adalah tepat, karena telah mempertimbangkan kondisi ekonomi global dan dalam negeri.
"Tapi The Economist nampaknya salah memahami kondisi sosial politik Indonesia. Keputusan menahan harga BBM subsidi yang menyebabkan kenaikan beban subsidi, menurut hemat saya adalah yang paling tepat ditengah gejolak ekonomi global saat ini. Ketika permintaan global tidak bisa diharapkan, pemerintah harus menjaga permintaan domestik dan itu hanya bisa dilakukan dengan menjaga daya beli masyarakat," jelas Piter pada CNBC Indonesia, Jumat (25/1/2019).
Jika pemerintah tidak mengambil keputusan itu, Piter memprediksi inflasi yang menggerogoti daya beli bisa muncul. Dampaknya, konsumsi rumah tangga dan investasi akan terhambat.
"Pertumbuhan ekonomi justru bisa lebih rendah lagi. Belanja infrastruktur tahun 2019 memang tidak melonjak drastis karena fokus pemerintah ke pembangunan SDM. Tapi belanja infrastruktur tidak turun. Pemerintah tetap komitmen untuk membangun infrastruktur. Dengan infrastruktur yang lebih baik plus perbaikan perizinan dan kebijakan lain yang memperbaiki ease of doing business, industri Indonesia akan kembali tumbuh."
Pandangan lain tentang kritik The Economist diutarakan ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira. Menurut Bhima, kritikan dari The Economist terjadi karena media tersebut melihat akumulasi kebijakan pemerintah yang tidak jelas arahnya.
"Menurut saya kenapa artikel ini keluar, sebenarnya ini adalah peringatan keras bahwa reformasi yang dulu digadang-gadang pada saat kampanye 2014, faktanya justru turn arround atau berbalik arah. Makanya, [judulnyakan] Being Held by Populism, populismnya siapa? Ya voters jelang Pemilu 2019 nanti," kata Bhima.
Bhima menekankan bahwa kritik The Economist seharusnya menjadi pengingat kalau kebijakan ekonomi era pemerintah Jokowi belum optimal. Dengan demikian, jika dalam Pemilu 2019 Jokowi kembali terpilih, bisa memperbaiki kinerja ekonominya.
"Ini menjadi kritik yang cukup serius gitu, jadi gimana bisa ekonomi kita maju? Industri manufaktur kita tidak mengalami deindustrialisasi karena dari segi kebijakan pemerintah pun sekarang cenderung untuk populis gitu."
"Subsidi PKH [Program Keluarga Harapan] dinaikkan, subsidi energi juga dinaikkan. [Padahal] katanya kemarin mau memotong subsidi sehingga alokasi belanjanya bisa lebih produktif. Sementara belanja infrastruktur di APBN itu, ternyata memang kenaikkannya tidak sebesar dari belanja lainnya, dan lebih banyak membebani belanja BUMN. Nah ini ada efek resiko, siapapun pemerintahan berikutnya."
(dru) Next Article Proyek Infrastruktur Rp 6.000 T Pemerintah Tetap Lanjut
Most Popular