Pak Jokowi Tolong! RI Rawan Tsunami, Bereskan Buoy Segera

Muhamad Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
25 December 2018 10:45
Ada banyak hal yang perlu dibenahi dalam sistem peringatan dini tsunami.
Foto: Gumpalan abu naik ketika Anak Krakatau meletus di Indonesia, 23 Desember 2018, dalam gambar ini diperoleh dari media sosial. Susi Air / via REUTERS
Jakarta, CNBC Indonesia - Hampir tanpa peringatan, tsunami yang terjadi pada Sabtu (22/12/2018) pada pukul 21:30 WIB seakan mengatakan bahwa ada banyak hal yang perlu dibenahi dalam sistem peringatan dini tsunami.

Kepala Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Tiar Prasetya mengatakan ketiadaan peringatan dini tsunami tersebut karena tidak ada gempa yang terjadi pada malam itu. "Memang tidak ada warning karena secara BMKG tidak ada gempa yang terjadi malam itu", ujar Tiar seperti yang dilansir oleh CNN Indonesia seperti dikutip CNBC Indonesia, Selasa (25/12/2018).

Foto: Grafis tsunami 3


Seperti yang telah diketahui, BMKG memiliki program peringatan dini tsunami yang dikenal dengan nama Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS). Sistem InaTEWS menggabungkan antara data seismik, data GPS, data Buoy, dan data Tide Gauge.

Foto: Presiden Jokowi meninjau Tsunami Selat Sunda (Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden)


Pada sistem InaTEWS, data seismik menjadi ujung tombak observasi, karena dapat mendeteksi potensi tsunami dalam waktu 5 menit setelah kejadian gempa bumi. Berdasarkan peta jaringan seismik yang di akses pada laman InaTEWS (inatews.bmkg.go.id), BMKG telah menggunakan data dari 263 stasiun seismik untuk mendeteksi kejadian gempa bumi di Indonesia.

Namun bagaimana dengan yang lain?

Nasib tragis dialami oleh Buoy pada sistem INaTEWS yang seharusnya mengirimkan datanya ke pusat kontrol Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Foto: Grafis Tsunami 2


Hasil pantauan tim riset CNBC Indonesia pada laman Pusat Data Buoy Indonesia (https://bpptbuoy.info/pdbi) yang dikelola oleh BBPT pada hari ini (25/12/2018), terdapat 20 titik Buoy yang tersebar di perairan Indonesia dan sekitarnya. Enam titik diantaranya berada dekat dengan pesisir barat Sumatera yang kurang lebih sepanjang 1.700 kilometer.

Sedangkan pada daerah selatan Jawa hingga Nusa Tenggara Barat yang juga sepanjang kurang lebih 1.700 kilometer, hanya ada 3 titik, dimana 2 diantaranya berjarak lebih dari 700 kilometer ke arah Samudera Hindia. Indonesia bagian timur hanya kebagian 2 titik, yaitu di sekitar 150 kilometer di sebelah selatan kota Manado dan 150 kilometer di selatan Teluk Ambon.

Namun sayangnya tidak satupun data Buoy tersebut yang dapat di akses.

Menurut Kepala Pusat Data dan Informasi (Kapusdatin) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho pada Oktober (3/10/2018) lalu, buoy tsunami sudah tak lagi dimiliki Indonesia sejak 2012 seperti yang dimuat di detik.com.

Sutopo mengatakan, dari 22 buoy tsunami yang ada di Indonesia, semuanya sudah tidak berfungsi sejak 2012. Menurut sumber yang sama, Indonesia membutuhkan 25 buoy tsunami agar bisa memastikan apakah tsunami terjadi di wilayah Indonesia atau tidak.

Keterbatasan anggaran menjadi alasan utama tidak berfungsinya buoy yang seharusnya menjadi salah satu basis data InaTEWS ini.
Pada awaal Oktober (5/10/2018), Deputi Bidang Teknologi Pengembangan Sumber Daya Alam (TPSA) BPPT Hammam Riza mengatakan bahwa biaya untuk satu buoy mencapai Rp 6 miliar, sedangkan untuk perawatannya sebesar bisa mencapai 20% per tahun.

Artinya bila sistem buoy ingin dihidupkan kembali, pemerintah perlu merogoh kocek sebesar Rp 150 miliar untuk pengadaan 25 buoy dan alokasi anggran Rp 30 miliar/tahun untuk biaya perawatannya. Bila pengadaan dan pengelolaan buoy ini tetap dipegang oleh BPPT, maka artinya anggaran yang diperlukan untuk pengelolaan buoy setara dengan 12% dari total anggaran BPPT sebesar Rp 1,47 triliun pada tahun 2017.

Jika dilihat lebih luas lagi, kebutuhan anggaran untuk buoy ini hanya 0,012% dari total anggaran belanja pemerintah pusat pada tahun 2018 yang mencapai Rp 1.454,5 triliun. Jumlah ini tergolong sangat kecil mengingat pentingnya memaksimalkan kemampuan deteksi dini tsunami untuk menyelamatkan banyak nyawa.

Hilangnya Buoy dari sistem InaTEWS memang tidak lantas membuat sistem peringatan tsunami menjadi lumpuh. Namun dengan adanya Buoy, deteksi tsunami bisa lebih akurat.

Mirisnya, hilangnya sistem buoy dari sistem InaTEWS selama bertahun-tahun karena alasan anggaran yang tidak seberapa membuktikan bahwa pemerintah belum menaruh perhatian yang serius pada mitigasi bencana di tanah air.

Kemarin (24/12/2018) Presiden Jokowi memang sudah memerintahkan BMKG untuk membeli alat pendeteksi yang bisa memberikan peringatan kepada masyarakat. Namun ini baru dilakukan setelah 'kecolongan' pada peristiwa tsunami banten.

Padahal, pada pedoman InaTEWS, jelas dipaparkan bahwa lebih dari setengah panjang garis pantai Indonesia yang sepanjang 99.093 kilometer merupakan daerah yang rawan terkena dampak tsunami.

Foto: Grafis Tsunami 1



(dru) Next Article RI Wajib Punya Sistem Mitigasi Tsunami Canggih

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular