
SBY, Jokowi, dan Tumpukan Utang

Salah satu contoh yakni kritik yang disampaikan parlemen, terutama yang tergabung dalam kelompok oposisi. Mereka menyebut Indonesia nyaris masuk dalam jebakan utang, karena berutang untuk membayar cicilan utang pokok dan bunga utang jatuh tempo.
Belum cukup sampai disitu, utang yang melonjak di era Presiden Joko Widodo pun kerap dibanding-bandingkan dengan pendahulunya, baik dari sisi nominal maupun rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
(NEXT)
Jakarta, CNBC Indonesia - Total utang pemerintah pusat hingga Juni 2018 mencapai Rp 4.227,8 triliun yang terdiri dari utang dalam bentuk Surat Berharga Negara (SBN) dan pinjaman.
Total utang pemerintah, tidak hanya terjadi di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi), melainkan warisan masa lalu khususnya saat kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Pada periode kedua pemerintahan SBY, total utang tercatat bertambah hingga Rp 1.018 triliun. Berikut data utang pemerintahan sejak 2010- 2014 :
* 2010 bertambah Rp 91 triliun
* 2011 bertambah Rp 127,2 triliun
* 2012 bertambah Rp 168,8 triliun
* 2013 bertambah Rp 397,8 triliun
* 2014 bertambah Rp 233,2 triliun.
Pada era Ketua Umum Partai Demokrat tersebut, beban yang ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) bukan berasal dari gencarnya pembangunan infrastruktur melainkan dari kebijakan subsidi BBM.
Ketika pemerintah memutuskan untuk menahan harga BBM beberapa tahun lalu, maka subsidi BBM secara tidak langsung akan membengkak dan harus ditutup dengan utang lantaran penerimaan yang lesu.
Bagaimana dengan Jokowi?
Di era Jokowi, utang pemerintah bertambah hingga Rp 1.169 triliun. Berikut data utang pemerintah sejak periode 2015 hingga pertengahan 2018 :
• 2015 bertambah Rp 556,3 triliun
• 2016 bertambah Rp 350,6 triliun
• 2017 bertambah Rp 479,4 triliun
• Juni 2018 bertambah Rp 232,7 triliun.
Melonjaknya utang dalam beberapa tahun terakhir tak lepas dari upaya pemerintah menggenjot pembangunan infrastruktur, di tengah kas keuangan negara yang masih mengalami defisit.
Defisit kas negara terjadi karena penerimaan pajak tak mampu mengkompensasi belanja yang ekspansif. Maka dari itu, pemerintah harus menerbitkan utang untuk menutup defisit.
Utang secara nominal di era Jokowi, bukan tidak mungkin kembali bertambah sejalan dengan proyeksi APBN ke depan yang tetap diperkirakan mengalami defisit.
Pada tahun depan, pemerintah memperkirakan kas keuangan negara akan mengalami defisit sebesar Rp 297,2 triliun atau 1,84% dari produk domestik bruto (PDB).
(NEXT)
Berdasarkan data Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) yang diolah CNBC Indonesia, rasio utang terhadap PDB pemerintahan Jokowi berada di kisaran 27% - 29%, sementara di pemerintahan SBY berada di kisaran 22% - 24%.
Berikut data outstanding utang sejak 2009 sampai saat ini :
• Utang 2009 Rp 1.590,7 triliun (28,3%)
• Utang 2010 Rp 1.681,7 triliun (24,5%)
• Utang 2011 Rp 1.808,9 triliun (23,1%)
• Utang 2012 Rp 1.977,7 triliun (23%)
• Utang 2013 Rp 2.375,5 triliun (24,9%)
• Utang 2014 Rp 2.608,7 triliun (24,7%)
• Utang 2015 Rp 3.165,1 triliun (27,4%)
• Utang 2016 Rp 3.515,7 triliun (28%)
• Utang 2017 Rp 3.995,1 triliun (29,2%)
• Utang 2018 Rp 4.227,8 triliun realisasi sampai Juni (29,79%).
(NEXT)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tidak semua sepakat dengan stigma yang menyebut Indonesia sudah masuk dalam jebakan utang. Namun, bukan berarti pemerintah berleha-leha seakan tidak terjadi apa-apa.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) membantah stigma para anggota dewan parlemen yang menyebut Indonesia saat ini nyaris masuk dalam jebakan utang negara yang menggunung.
Pasalnya, beban utang pemerintah saat ini sudah semakin tinggi. Pemerintah, pun harus kembali berutang untuk membayar bunga utang di masa lampau.
"Pendapat yang mengatakan kita terjebak itu tidak tepat," kata Direktur Strategi dan Portofolio Pembiayaan DJPPR Scenaider Siahaan, kepada CNBC Indonesia, Senin (27/8/2018).
"Hanya pendapat retorika tanpa analisis yang memadai, mengingat semua beban kewajiban pokok dan bunga yang jatuh tempo saat ini sesuai rencana pengelolaan utang," jelasnya.
Prinsip kehati-hatian dalam berutang ke depannya perlu menjadi prioritas. Meskipun pemerintah masih memiliki kemampuan untuk membayar bunga utang, tapi ada berbagai risiko yang harus dihadapi ke depan.
Misalnya, dari depresiasi nilai tukar tupiah. Komposisi utang pemerintah yang didominasi oleh Surat Berharga Negara (SBN) cukup berisiko tinggi, apalagi jika ada sentimen yang membuat modal tersebut tiba-tiba keluar dari Indonesia.
“Idealnya share SBN terhadap total utang baru harusnya bisa turun dan share pinjaman multilateral dan bilateral terhadap total utang bisa naik," kata Project Consultant ADB Institute Eric Sugandi
Rasio utang terhadap PDB memang masih dalam batas aman. Namun, bagi Eric, pertumbuhan total utang pemerintah secara nominal yang terus merangkak naik, perlu menjadi perhatian lebih oleh pemerintah.
Persoalan utang pemerintah yang terus menumpuk, hanya bisa diselesaikan dengan menggenjot penerimaan pajak. Masalah yang ada selama ini adalah belanja yang ekspansif tak mampu diimbangi dengan akselerasi penerimaan pajak.
Selama APBN tetap mengalami defisit keseimbangan primer, maka pemerintah mau tidak mau harus menerbitkan utang baru untuk membayar utang-utang jatuh tempo. Kondisi ini, tentu akan menambah outstanding utang.
Jadi, kredibel mana utang SBY Vs Jokowi?
(NEXT)
(ray) Next Article Utang Era SBY Vs Utang Era Jokowi, Mana Paling Kredibel?