
Ingin Hapus Kemiskinan? RI Harus Bisa Turunkan Harga Beras!
Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
17 July 2018 08:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia mencetak sejarah di satu tahun jelang berakhirnya masa pemerintahan Presiden Joko Widodo. Tingkat kemiskinan berada di angka single digit, sementara ketimpangan Indonesia menjadi terendah dalam 7 tahun terakhir.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat kemiskinan pada Maret 2018 sebesar 9,82%, atau lebih kecil dibandingkan periode sama tahun lalu 10,64%. Ini menjadi kali pertama sejak era reformasi, tingkat kemiskinan di bawah 10%.
Adapun beberapa faktor yang memengaruhi penurunan kemiskinan. Antara lain, inflasi yang terkendali, kenaikan rata-rata pengeluaran per kapita/bulan rumah tangga 40% lapisan terbawah, serat penyaluran bantuan sosial tunai, BPNT, dan Rastra.
Seperti diketahui, tingkat kemiskinan selalu ada di atas 10%, dengan tingkat tertinggi berada di angka 23,4% di tahun 1999, selepas krisis 1997-1998. Artinya, ini menjadi pencapaian tersendiri angka kemiskinan berada di bawah 2 digit.
Sementara itu, otoritas statistik pun mencatat, rasio gini Indonesia pada Maret 2018 sebesar 0,389, atau lebih kecil dari periode sama tahun lalu sebesar 0,393. Sejak Maret 2015 hingga Maret 2018, nilai rasio gini secara konsisten turun.
Bahkan, data BPS pun menunjukan rasio gini Maret 2018 menjadi yang terendah sejak 7 tahun terakhir, atau sejak September 2011, dimana rasio gini di tingkat perkotaan secara konsisten bsa ditekan hingga 0,401, dari yang sempat menyentuh 0,433 di September 2014.
Masih Banyak PR
Tingkat kemiskinan maupun ketimpangan Indonesia memang berhasil mencetak sejarah. Namun bukan berarti pemerintah berpuas diri, lantaran masih ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian serius ke depan.
Pertama, adalah dari sisi angka kemiskinan. Dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), pemerintahan di era Presiden Joko Widodo - Jusuf Kalla mematok angka kemiskinan di rentang 7-8%.
Peluang pemerintah kembali menekan angka kemiskinan ke level tersebut masih terbuka lebar. Namun, Bank Dunia menganggap, bukan hal mudah bagi pemerintah untuk merealisasikan keinginan tersebut.
"Kalau the last mile problem, itu butuh effort besar. Ini paling susah, dan setiap negara juga seperti ini. Saat kemiskinan di angka 20%, menurunkan 5% itu mungkin mudah. Tapi the last mile problem ini, butuh lebih banyak kerja keras." kata Ekonom Bank Dunia Vivi Alatas.
Menurutnya, masih ada beberapa hambatan yang akan dilalui Indonesia dalam upaya menurunkan angka kemiskinan ke depan. Mulai dari persoalan konektivitas, sampai dengan masalah-masalah yang memang tidak diprediksi oleh regulator.
Belum lagi, masalah harga beras yang selama ini terbukti menjadi penyumbang kemiskinan terbesar. Vivi menilai, pengendalian inflasi menjadi sangat penting, terutama dalam menekan angka kemiskinan di Indonesia.
Sementara itu, ketimpangan Indonesia yang menurun pun masih menyisakan catatan. Rasio gini perkotaan di berbagai wilayah Indonesia memang secara konsisten turun, namun rasio gini pedesaan justru mengalami kenaikan.
Adapun penyebab rasio gini di perdesaan terkerek naik pada Maret 2018 adalah kenaikan rata-rata pengeluaran per kapita/bulan penduduk kelompok 40% terbawah yang lebih cepat dibandingkan penduduk 40% menengah, dan lebih lambat dari lapisan 20% teratas.
"Tingkat ketimpangan di pedesaan meningkat tipis. Ini memberikan warning bahwa 40% masyarakat lapisan bawah harus diberi perhatian," kata Kepala BPS Suhariyanto.
Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah?
Pertama, adalah menciptakan lapangan pekerjaan bukan hanya bagi kaum laki-laki melainkan juga perempuan. Hal ini akan membantu setiap keluarga menambah penghasilan, dan terhindar dari jeratan kemiskinan.
"Biggest ticket ada disini. Partisipasi pekerja perempuan itu baru 50,9%, sementara laki-laki 82,5%. Kalau mau menaikan konsumsi dari keluarga, bagaimana caranya agar perempuan mendapatkan kesempatan bekerja," kata Vivi
"Kemudian, lapangan pekerjaan bagi pemuda. Sekarang itu ketersediaan pekerjaan paling banyak untuk orang dewasa. Ini adalah biggest ticket, kalau mau penurunannya lebih cepat," jelasnya.
Kedua, adalah pengendalian inflasi. Selama ini ada beberapa komoditas makanan yang memberikan dampak cukup signifikan terhadap angka kemiskinan, seperti beras maupun komoditas lainnya.
"Beras itu kalau turun, berdampak sekali terhadap penurunan kemiskinan karena 25% konsumsi orang miskin itu beras," katanya.
Ketiga, adalah penguatan program-program seperti bantuan sosial maupun program keluarga harapan (PKH). Distribusi yang cepat dan tepat dari program tersebut, diharapkan dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga, khususnya orang miskin.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menambahkan, efektivitas cash for work yang merupakan bagian dari dana desa juga bisa menjadi alternatif untuk menekn angka kemiskinan, terutama di daerah.
"Cash for work bisa dimaksimalkan lagi, karena ini pembayarannya setiap hari. Ini akan membuat mereka merasa lebih produktif," jelasnya.
(ray) Next Article Ada 26,5 Juta Orang Miskin RI, Turun atau Membludak?
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, tingkat kemiskinan pada Maret 2018 sebesar 9,82%, atau lebih kecil dibandingkan periode sama tahun lalu 10,64%. Ini menjadi kali pertama sejak era reformasi, tingkat kemiskinan di bawah 10%.
Adapun beberapa faktor yang memengaruhi penurunan kemiskinan. Antara lain, inflasi yang terkendali, kenaikan rata-rata pengeluaran per kapita/bulan rumah tangga 40% lapisan terbawah, serat penyaluran bantuan sosial tunai, BPNT, dan Rastra.
Sementara itu, otoritas statistik pun mencatat, rasio gini Indonesia pada Maret 2018 sebesar 0,389, atau lebih kecil dari periode sama tahun lalu sebesar 0,393. Sejak Maret 2015 hingga Maret 2018, nilai rasio gini secara konsisten turun.
Bahkan, data BPS pun menunjukan rasio gini Maret 2018 menjadi yang terendah sejak 7 tahun terakhir, atau sejak September 2011, dimana rasio gini di tingkat perkotaan secara konsisten bsa ditekan hingga 0,401, dari yang sempat menyentuh 0,433 di September 2014.
Masih Banyak PR
Tingkat kemiskinan maupun ketimpangan Indonesia memang berhasil mencetak sejarah. Namun bukan berarti pemerintah berpuas diri, lantaran masih ada beberapa hal yang perlu menjadi perhatian serius ke depan.
Pertama, adalah dari sisi angka kemiskinan. Dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), pemerintahan di era Presiden Joko Widodo - Jusuf Kalla mematok angka kemiskinan di rentang 7-8%.
Peluang pemerintah kembali menekan angka kemiskinan ke level tersebut masih terbuka lebar. Namun, Bank Dunia menganggap, bukan hal mudah bagi pemerintah untuk merealisasikan keinginan tersebut.
"Kalau the last mile problem, itu butuh effort besar. Ini paling susah, dan setiap negara juga seperti ini. Saat kemiskinan di angka 20%, menurunkan 5% itu mungkin mudah. Tapi the last mile problem ini, butuh lebih banyak kerja keras." kata Ekonom Bank Dunia Vivi Alatas.
Menurutnya, masih ada beberapa hambatan yang akan dilalui Indonesia dalam upaya menurunkan angka kemiskinan ke depan. Mulai dari persoalan konektivitas, sampai dengan masalah-masalah yang memang tidak diprediksi oleh regulator.
Belum lagi, masalah harga beras yang selama ini terbukti menjadi penyumbang kemiskinan terbesar. Vivi menilai, pengendalian inflasi menjadi sangat penting, terutama dalam menekan angka kemiskinan di Indonesia.
Sementara itu, ketimpangan Indonesia yang menurun pun masih menyisakan catatan. Rasio gini perkotaan di berbagai wilayah Indonesia memang secara konsisten turun, namun rasio gini pedesaan justru mengalami kenaikan.
Adapun penyebab rasio gini di perdesaan terkerek naik pada Maret 2018 adalah kenaikan rata-rata pengeluaran per kapita/bulan penduduk kelompok 40% terbawah yang lebih cepat dibandingkan penduduk 40% menengah, dan lebih lambat dari lapisan 20% teratas.
"Tingkat ketimpangan di pedesaan meningkat tipis. Ini memberikan warning bahwa 40% masyarakat lapisan bawah harus diberi perhatian," kata Kepala BPS Suhariyanto.
Lantas, apa yang harus dilakukan pemerintah?
Pertama, adalah menciptakan lapangan pekerjaan bukan hanya bagi kaum laki-laki melainkan juga perempuan. Hal ini akan membantu setiap keluarga menambah penghasilan, dan terhindar dari jeratan kemiskinan.
"Biggest ticket ada disini. Partisipasi pekerja perempuan itu baru 50,9%, sementara laki-laki 82,5%. Kalau mau menaikan konsumsi dari keluarga, bagaimana caranya agar perempuan mendapatkan kesempatan bekerja," kata Vivi
"Kemudian, lapangan pekerjaan bagi pemuda. Sekarang itu ketersediaan pekerjaan paling banyak untuk orang dewasa. Ini adalah biggest ticket, kalau mau penurunannya lebih cepat," jelasnya.
Kedua, adalah pengendalian inflasi. Selama ini ada beberapa komoditas makanan yang memberikan dampak cukup signifikan terhadap angka kemiskinan, seperti beras maupun komoditas lainnya.
"Beras itu kalau turun, berdampak sekali terhadap penurunan kemiskinan karena 25% konsumsi orang miskin itu beras," katanya.
Ketiga, adalah penguatan program-program seperti bantuan sosial maupun program keluarga harapan (PKH). Distribusi yang cepat dan tepat dari program tersebut, diharapkan dapat meningkatkan konsumsi rumah tangga, khususnya orang miskin.
Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menambahkan, efektivitas cash for work yang merupakan bagian dari dana desa juga bisa menjadi alternatif untuk menekn angka kemiskinan, terutama di daerah.
"Cash for work bisa dimaksimalkan lagi, karena ini pembayarannya setiap hari. Ini akan membuat mereka merasa lebih produktif," jelasnya.
(ray) Next Article Ada 26,5 Juta Orang Miskin RI, Turun atau Membludak?
Most Popular