
Sepekan, Rupiah Merana di Hadapan Dolar AS

Selama sepekan, rupiah melemah 0,27% terhadap dolar AS. Sementara jika kita rekapitulasi perdagangan 2-6 Juli 2018, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS rata-rata adalah Rp 14.368/US$.
![]() |
![]() |
Sepekan kemarin, rupiah kembali dihantam faktor negatif dari eksternal dan internal.
Kebijakan Presiden AS, Donald Trump, yang terus mengedepankan proteksionisme, membuat negara-negara global terutama China geleng-geleng kepala. Negeri Paman Sam resmi mengenakan bea masuk tambahan sebesar 25% untuk 818 produk China. China pun membalas dengan mengenakan bea masuk 25% untuk 659 produk AS.
Tidak hanya itu, Presiden AS Donald Trump juga mengancam bakal memberlakukan bea masuk kepada produk-produk China senilai US$ 500 miliar. Jika ini dilakukan, maka bukan tidak mungkin China akan membalas. Situasi ini pun semakin membuat pasar khawatir akan situasi global yang kurang kondusif
Memanasnya tensi perang dagang ini pun sempat melibatkan Uni Eropa. Namun, Benua Biru tampaknya lebih melunak. Informasi terbaru, pejabat-pejabat terkait melakukan pertemuan untuk mengevaluasi penerapan kebijakan tarif impor guna mencegah perang dagang terjadi dalam skala besar
Indonesia pun tidak lepas dari ancaman perang dagang dengan AS. Sofjan Wanandi, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden, yang mengungkapkan Trump akan mencabut sejumlah perlakukan khusus yang saat ini diberikan ke Indonesia.
"Trump sudah kasih warning ke kita karena kita surplus. Beberapa special treatment yang dia beri ke kita mau dia cabut, terutama untuk tekstil," katanya.
Kondisi ini pun menjadi peringatan bagi Indonesia bahwa perang dagang dengan AS kapan pun bisa meletus, dan bisa memberikan dampak terganggunya stabilitas nilai tukar di dalam negeri.
Tidak cukup perang dagang, rupiah pun diterpa tekanan dari arah kebijakan moneter The Federal Reserve/The Fed. Dari hasil rilis minutes meeting edisi Juni, The Fed memberikan sinyal kuat akan kembali menaikkan suku bunga acuannya. Meskipun sinyal tersebut sudah ditebak oleh pasar, namun dampak dari arah kebijakan tersebut tetap menekan pergerakan rupiah.
Terhitung The Fed sudah menaikkan suku bunga acuan sebanyak 2 kali pada tahun ini. Kemungkinan kebijakan tersebut akan bertambah 2 kali sehingga total The Fed diperkirakan menaikkan suku bunga acuan hingga 4 kali.
Meskipun rilis data klaim pengangguran dan pertambahan lapangan kerja baru baru ini dibawah ekspektasi pasar, namun hasil minutes meeting bisa menjadi arah sinyal kuat The Fed tetap menaikkan suku bunga acuannya dalam beberapa waktu ke depan.
Sebagai informasi, saat ini suku bunga acuan The Fed berada di rentang 1,75-2%. Dengan perkiraan kenaikan hingga 2 kali tahun ini, maka besaran suku bunga acuan bisa berada di kisaran 2,25-2,5%
Ekspektasi kenaikan suku bunga acuan The Fed,memang berdampak kepada pelemahan mata uang global termasuk rupiah. Bank Indonesia (BI) pun sudah mengantisipasi dengan menaikkan suku bunga acuan hingga 100 basis poin. Namun dampak dari kebijakan tersebut belum mampu mengangkat posisi rupiah dari keterpurukan saat ini.
Dari dalam negeri, BI memperkirakan defisit transaksi berjalan di kuartal II-2018 akan semakin melebar. Pada periode tersebut, defisit transaksi berjalan diproyeksi sebesar 2,5% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Jika angka tersebut benar, maka lebih besar dari defisit pada kuartal I-2018 yang sebesar 2,15% dari PDB.
Saat lubang di transaksi berjalan makin menganga sementara pos transaksi modal dan finansial tertekan karena seretnya hot money di pasar keuangan, maka Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) praktis tidak tertolong. Pada akhirnya, nilai tukar rupiah menjadi taruhannya, lantaran NPI merupakan salah satu fundamental yang menjadi pijakan penguatan nilai tukar
Perkiraan ini pun semakin mengkhawatirkan, Pasalnya pada sepekan kemarin saja aliran hot money yang keluar mencapai Rp 1,32 triliun. Dengan kondisi faktor eksternal dan internal yang begitu kuat, membuat aliran modal asing tidak betah di Indonesia.
Belum lagi rilis data terbaru kondisi cadangan devisa Indonesia. BI merilis angka cadangan devisa Indonesia per akhir Juni 2018 sebesar US$ 119,8 miliar. Angka ini turun US$ 3,1 miliar dari posisi akhir Mei 2018. Penurunan ini salah satunya didorong usaha BI dalam menstabilisasi nilai tukar dalam negeri.
Di sisi lain, penurunan juga sebagai akibat defisit perdagangan yang masih dialami oleh Indonesia. Data Badan Pusat Statistik (BPS) per Mei 2018, Indonesia mengalami defisit perdagangan sekitar US$ 1,5 miliar.
Praktis dengan kuatnya sentimen negatif dari eksternal dan internal mengakibatkan rupiah dalam sepekan ini bergerak melemah
(ray) Next Article Hot News : Indonesia Mulai Tinggalkan Dolar