Divestasi Freeport: Menanti Grasberg ke Pangkuan Ibu Pertiwi

Wahyu Daniel & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
01 July 2018 07:22
Negosiasi alot antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran tampaknya sudah menuju ke arah yang saling menguntungkan.
Foto: Freeport
Jakarta, CNBC Indonesia - Titik terang divestasi Freeport Indonesia mulai tampak. Negosiasi alot antara Pemerintah Indonesia dengan Freeport McMoran sudah sampai pada tahap final untuk segera dirampungkan.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) menaksir harga divestasi saham Freeport Indonesia diperkirakan akan mencapai US$3,5 miliar hingga US$4 miliar atau sekitara Rp 49,35 triliun-Rp 57,1 triliun. Dalam divestasi ini pemerintah diwakili Inalum akan membuat perusahaan patungan (join venture) bersama dengan Freeport McMohan untuk mengelola tambang Grassberg di Papua.

Menteri BUMN Rini Soemarno menargetkan proses divestasi tambang akan selesai pada Juli 2018. "Tinggal finalisasi beberapa dokumen-dokumen yang harus ditandatangani. Dalam dua minggu lagi semestinya proses bisa selesai," ujar Rini Soemarno, Menteri BUMN kemarin, Sabtu (30/6/2018).

Sebelumnya, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan saat menyambangi Amerika Serikat (AS), bertemu dengan CEO Freeport McMoran Richard Adkerson. Dalam pertemuan terbatas mereka membicarakan hal-hal terkait kelanjutan operasional tambang Freeport yang ada di tanah Papua.

"Soal pengelolaan atau pengendalian manajemen jadinya Joint Venture (JV), dan akan dituangkan dalam JV agreement," kata Jonan di Washington, Selasa (26/6/2018).

Perjanjian JV, kata Jonan, akan dilakukan antara Freeport dan PT Inalum selaku holding BUMN tambang. Isi kesepakatan akan merinci tentang program-program yang disusun bersama kedua pihak hingga masa akhir berlakunya perjanjian.

Selain itu, ada juga kesepakatan mengenai komitmen tentang tidak akan adanya perubahan yang bisa menganggu bisnis perusahaan. "Ini semata-mata harus ada justifikasi bisnis buat kedua belah pihak agar menguntungkan," tegas Jonan.

Jonan dan Rini tampaknya sudah mulai tidak terlalu mempersoalkan pengelolaan dan pengendalian karena Freeport juga melunak. Rini mengakui, Indonesia memang belum memiliki pengetahuan dan teknologi yang cukup untuk mengoperasikan tambang terbesar di dunia tersebut.

"Mengenai operasinya, kami menyadari kalau Indonesia masih kurang, maka dibentuklah join venture agreement, yang jadi penting dan krusial karena dari pihak Freeport ingin menjaga agar tetap bekerja sama dengan Indonesia," tutur Rini.

"Ok lah kalau soal operasional mereka (Freeport) boleh mayoritas, tetapi selain itu, Indonesia yang pegang kendali," tambahnya.

Lebih lanjut, Rini mengatakan, join venture tersebut akan dikelola secara transparan dan profesional, yang juga menekankan cara bagaimana menjaga supaya pihak Freeport tidak mengintervensi pemerintah.

Sudah Siap
Lalu bagaimana dengan Inalum yang menjadi wakil pemerintah, apakah sudah menyiapkan dana sebesar itu? Beruntung nilai divestasi yang disepakati turun sedikit dari angka perkiraan sebelumnya, dikisaran US$ 3 miliar - US$ 5 milar.

Terkait soal dana tersebut, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menegaskan, "Semuanya sudah beres jadi satu tahapan. Insyaallah PT Inalum (Persero) siap, dananya juga sudah ada."

PT Indonesia Asahan Aluminium/Inalum (Persero) sebagai komando transaksi divestasi saham Freeport ke RI mengatakan saat ini proses negosiasi antara Inalum dan PT Freeport Indonesia masih berlangsung, dan perbedaan pandangan di kedua perusahaan sudah semakin menyempit.

"Proses negosiasi masih berlangsung dan perbedaan pandangan kedua belah pihak terkait proses divestasi sudah semakin mengecil," ujar Kepala Komunikasi Korporat dan Hubungan Antarlembaga Holding Industri Pertambangan Inalum Rendi Witular kepada CNBC Indonesia.
(hps) Next Article Mulai 2022, Freeport Bakal Cetak Laba US$ 2 M

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular