
Dolar AS Sentuh Rp 14.000, Ini Produk yang Kian Mahal di RI
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
08 May 2018 18:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) semakin nyaman di level Rp 14.000 pada perdagangan Selasa (8/5) pukul 12:00 WIB. Di pasar spot, rupiah dihargai pada level 14.035, melemah 0,29 % dibandingkan dengan penutupan sehari sebelumnya.
Pelemahan rupiah yang kian mendalam ini dipastikan memukul daya beli masyarakat, karena harga barang impor atau yang mayoritas bahan bakunya dibeli dari luar negeri mau tak mau meningkat.
Misalnya, laptop atau ponsel yang berasal dari China. Jika pada awal tahun harganya sekitar Rp 3 juta, pelemahan rupiah bisa membuat harga barang yang sama membengkak menjadi Rp 4 juta.
Tas mewah seperti Chanel, Louis Vuitton, atau Gucci pun harganya akan lebih mahal sekian ratus ribu atau sekian juta rupiah, mengingat produk-produk yang dipajang itu merupakan produk impor.
Tidak terbatas hanya barang yang langsung diimpor, jejak pelemahan rupiah juga bisa terlihat pada barang yang diproduksi dengan bahan baku impor. Merujuk pada UN Comtrade Database, ada lima komoditas non-migas utama yang diimpor Indonesia selama 2017.
Kelimanya adalah peralatan mesin, ketel uap, dan sejenisnya (kode HS 84); Mesin listrik, perekam suara, layar TV, dan sejenisnya (kode HS 85); besi dan baja (kode HS 72); plastik (kode HS 39); dan kendaraan - selain kereta api dan trem (kode HS 87).
Lebih lengkapnya, tim Riset CNBC Indonesia menguraikan 10 besar barang-barang yang paling banyak diimpor Indonesia, sebagai berikut:
Dapat dilihat hampir seluruh komoditas yang diimpor merupakan produk bahan baku. Apabila bahan baku menjadi lebih mahal, biaya produksi perusahaan pun akan meningkat dan ujung-ujungnya bebannya dialihkan ke konsumen dalam bentuk penaikan harga jual.
Sebagai contoh, nilai impor besi dan baja yang merupakan bahan baku proyek pembangunan infrastruktur, properti, dan otomotif Indonesia nilainya mencapai US$ 8,46 miliar (Rp 118,77 triliun) sepanjang 2017.
Dengan harga besi dan baja yang kian mahal, biaya pembangunan infrastruktur pun membesar. Selain itu, harga property seperti perumahan dan apartemen juga melambung. Demikian juga dengan harga penjualan kendaraan bermotor.
PT Mitsubishi Krama Yudha Motors Sales Indonesia (MMKSI) bahkan sudah merencanakan kenaikan harga produk mobilnya hingga Rp 2 juta- Rp 3 juta mulai bulan Mei, menyusul pelemahan rupiah yang sudah menyentuh Rp 14.000.
Di luar itu, Indonesia juga mengimpor bahan kimia organik hingga mencapai US$ 5,78 miliar pada tahun lalu. Kimia organik dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai macam industri mulai dari pupuk, kosmetik, hingga obat-obatan. Apabila biaya impor kimia organik meningkat, dipastikan harga jual produk pupuk, kosmetik, dan farmasi ke masyarakat juga melambung.
Menyusul pupuk, ampas makanan untuk pakan ternak pun ternyata diimpor dengan nilai US$ 2,93 miliar. Alhasil, biaya produksi petani dan peternak pun meningkat dan mendongkrak harga produk-produk pertanian dan peternakan yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari seperti telur, sayur-sayuran, dan daging.
Di atas itu semua, bahan baku utama pabrik industry yakni peralatan mesin juga masih diimpor dalam jumlah yang amat besar, yakni mencapai US$20,03 miliar (Rp281,41 triliun). Tentunya ini akan mendongkrak hampir seluruh barang keluaran pabrik yang dikonsumsi oleh masyarakat. Singkat kata, pelemahan rupiah akan berdampak pada kenaikan harga seluruh barang yang dikonsumsi masyarakat, dari mulai kebutuhan primer hingga tersier.
Tidak heran Bank Indonesia (BI) mati-matian menjaga nilai tukar rupiah supaya tidak anjlok terlalu dalam karena dampak berantai dari pelemahan rupiah pada akhirnya bisa mengusik stabilitas moneter berupa kenaikan imported inflation.
Sekadar mengingatkan, imported inflation-inflasi yang terjadi karena kenaikan harga barang impor akibat depresiasi nilai tukar atau kenaikan ongkos produksi bahan baku tersebut di luar negeri-pada Maret lalu besarnya telah mencapai 7,81% year on year (YoY).
Lalu, bagaimana pemerintah bisa meminimalisasi efek depresiasi rupiah terhadap kehidupan sehari-hari kita di masa mendatang? Kuncinya sederhana-tetapi realisasinya tidak, yakni: industrialisasi.
Apabila industri dalam negeri mampu menyediakan bahan baku berkualitas, impor bahan baku pun tak lagi diperlukan dan BI relatif bisa lebih duduk tenang ketika rupiah lagi tertekan.
(ags/ags) Next Article Sederet Barang Ini Bakal Mahal Gegara Rupiah Melemah
Pelemahan rupiah yang kian mendalam ini dipastikan memukul daya beli masyarakat, karena harga barang impor atau yang mayoritas bahan bakunya dibeli dari luar negeri mau tak mau meningkat.
Misalnya, laptop atau ponsel yang berasal dari China. Jika pada awal tahun harganya sekitar Rp 3 juta, pelemahan rupiah bisa membuat harga barang yang sama membengkak menjadi Rp 4 juta.
Tidak terbatas hanya barang yang langsung diimpor, jejak pelemahan rupiah juga bisa terlihat pada barang yang diproduksi dengan bahan baku impor. Merujuk pada UN Comtrade Database, ada lima komoditas non-migas utama yang diimpor Indonesia selama 2017.
Kelimanya adalah peralatan mesin, ketel uap, dan sejenisnya (kode HS 84); Mesin listrik, perekam suara, layar TV, dan sejenisnya (kode HS 85); besi dan baja (kode HS 72); plastik (kode HS 39); dan kendaraan - selain kereta api dan trem (kode HS 87).
Lebih lengkapnya, tim Riset CNBC Indonesia menguraikan 10 besar barang-barang yang paling banyak diimpor Indonesia, sebagai berikut:
![]() |
Sebagai contoh, nilai impor besi dan baja yang merupakan bahan baku proyek pembangunan infrastruktur, properti, dan otomotif Indonesia nilainya mencapai US$ 8,46 miliar (Rp 118,77 triliun) sepanjang 2017.
Dengan harga besi dan baja yang kian mahal, biaya pembangunan infrastruktur pun membesar. Selain itu, harga property seperti perumahan dan apartemen juga melambung. Demikian juga dengan harga penjualan kendaraan bermotor.
PT Mitsubishi Krama Yudha Motors Sales Indonesia (MMKSI) bahkan sudah merencanakan kenaikan harga produk mobilnya hingga Rp 2 juta- Rp 3 juta mulai bulan Mei, menyusul pelemahan rupiah yang sudah menyentuh Rp 14.000.
Di luar itu, Indonesia juga mengimpor bahan kimia organik hingga mencapai US$ 5,78 miliar pada tahun lalu. Kimia organik dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai macam industri mulai dari pupuk, kosmetik, hingga obat-obatan. Apabila biaya impor kimia organik meningkat, dipastikan harga jual produk pupuk, kosmetik, dan farmasi ke masyarakat juga melambung.
Menyusul pupuk, ampas makanan untuk pakan ternak pun ternyata diimpor dengan nilai US$ 2,93 miliar. Alhasil, biaya produksi petani dan peternak pun meningkat dan mendongkrak harga produk-produk pertanian dan peternakan yang dikonsumsi masyarakat sehari-hari seperti telur, sayur-sayuran, dan daging.
Di atas itu semua, bahan baku utama pabrik industry yakni peralatan mesin juga masih diimpor dalam jumlah yang amat besar, yakni mencapai US$20,03 miliar (Rp281,41 triliun). Tentunya ini akan mendongkrak hampir seluruh barang keluaran pabrik yang dikonsumsi oleh masyarakat. Singkat kata, pelemahan rupiah akan berdampak pada kenaikan harga seluruh barang yang dikonsumsi masyarakat, dari mulai kebutuhan primer hingga tersier.
Tidak heran Bank Indonesia (BI) mati-matian menjaga nilai tukar rupiah supaya tidak anjlok terlalu dalam karena dampak berantai dari pelemahan rupiah pada akhirnya bisa mengusik stabilitas moneter berupa kenaikan imported inflation.
Sekadar mengingatkan, imported inflation-inflasi yang terjadi karena kenaikan harga barang impor akibat depresiasi nilai tukar atau kenaikan ongkos produksi bahan baku tersebut di luar negeri-pada Maret lalu besarnya telah mencapai 7,81% year on year (YoY).
Lalu, bagaimana pemerintah bisa meminimalisasi efek depresiasi rupiah terhadap kehidupan sehari-hari kita di masa mendatang? Kuncinya sederhana-tetapi realisasinya tidak, yakni: industrialisasi.
Apabila industri dalam negeri mampu menyediakan bahan baku berkualitas, impor bahan baku pun tak lagi diperlukan dan BI relatif bisa lebih duduk tenang ketika rupiah lagi tertekan.
(ags/ags) Next Article Sederet Barang Ini Bakal Mahal Gegara Rupiah Melemah
Most Popular