
Awas, Ada Potensi Biaya Dana Makin Mahal
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 February 2018 17:22

Jakarta, CNBC Indonesia – Kongres Amerika Serikat (AS) menyepakati anggaran negara selama dua tahun fiskal ke depan. Batasan belanja negara atau spending cap Negeri Paman Sam disepakati naik sekitar US$ 300 miliar (Rp 4.080 triliun).
Dalam beberapa tahun terakhir, belanja negara AS berada di kisaran US$ 3 triliun (Rp 40.800 triliun). Belanja negara diperkirakan baru menyentuh level US$ 4 triliun (Rp 54.400 triliun).
Namun, belanja negara tidak mampu ditutup oleh penerimaan. Oleh karena itu, anggaran negara AS masih mencatatkan defisit.
Namun, kesepakatan Kongres yang lahir hari ini memicu risiko terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) AS. Pasalnya, kesepakatan ini juga mengubah batasan (cap) atas belanja dan batas utang (debt ceiling).
Dalam anggaran negara AS, ada istilah yang disebut sequestration. Artinya, ada batasan yang ditetapkan untuk pos belanja tertentu. Hal ini dilakukan agar anggaran lebih terencana dan menjaga kesehatan fiskal.
Pada 2013, Presiden Barack Obama menetapkan batas anggaran pertahanan sebagai berikut:
Artinya, belanja negara AS akan naik melebihi perkiraan. Sementara penerimaan kemungkinan justru ada tantangan karena Presiden Trump memangkas tarif pajak korporasi. Kalkulasi lembaga riset Tax Foundation menyebutkan pemangkasan tarif pajak dari 35% menjadi 15% akan berpotensi mengurangi penerimaan negara sebesar US$ 2,2 triliun (Rp 29.900 triliun) dalam 10 tahun.
Situasi ini menyebabkan defisit anggaran AS berpotensi melebar dari perkiraan. Pemerintah AS tentu akan memanfaatkan pasar obligasi untuk pembiayaan defisit.
Ketika kebutuhan pembiayaan defisit semakin besar, maka pemerintah AS akan membanjiri pasar obligasi dengan produk mereka. Hingga akhir 2017, total penerbitan obligasi negara AS sudah mencapai US$ 14,67 triliun (Rp 199.500 triliun).
Ketika terlalu banyak pasokan di pasar (crowding out), maka yang terjadi adalah perang suku bunga. Setiap penerbit obligasi ingin produknya menjadi yang paling laris sehingga menawarkan suku bunga tinggi. Perang suku bunga akan memicu suku bunga pada umumnya meningkat.
Akibatnya, biaya untuk penerbitan obligasi semakin mahal. Bunga yang harus ditanggung penerbit semakin tinggi. Ini tentu akan mempengaruhi keuangan pihak penerbit, baik pemerintah maupun korporasi.
Bagi pemerintah Indonesia, kenaikan suku bunga akan memberatkan APBN. Saat ini, sebagian besar pembiayaan defisit adalah melalui pasar obligasi.
Dalam dokumen Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, setiap 1% kenaikan imbal hasil (yield) akan menambah beban pembiayaan sebesar Rp 1,4-2,3 triliun. Dalam asumsi makro 2018, yield SPN tiga bulan ditetapkan 5,2%.
Potensi kenaikan biaya dana ini harus dicermati. Ketika kenaikan suku bunga sepertinya sudah tidak bisa dihindari, Indonesia harus berupaya mempercantik fundamental ekonomi domestik sehingga setidaknya bisa mengerem laju kenaikan itu.
(aji/aji) Next Article Siap-siap, Donald Trump Janji Rebut Gedung Putih Segera
Dalam beberapa tahun terakhir, belanja negara AS berada di kisaran US$ 3 triliun (Rp 40.800 triliun). Belanja negara diperkirakan baru menyentuh level US$ 4 triliun (Rp 54.400 triliun).
![]() |
Namun, belanja negara tidak mampu ditutup oleh penerimaan. Oleh karena itu, anggaran negara AS masih mencatatkan defisit.
![]() |
![]() |
Namun, kesepakatan Kongres yang lahir hari ini memicu risiko terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) AS. Pasalnya, kesepakatan ini juga mengubah batasan (cap) atas belanja dan batas utang (debt ceiling).
Dalam anggaran negara AS, ada istilah yang disebut sequestration. Artinya, ada batasan yang ditetapkan untuk pos belanja tertentu. Hal ini dilakukan agar anggaran lebih terencana dan menjaga kesehatan fiskal.
Pada 2013, Presiden Barack Obama menetapkan batas anggaran pertahanan sebagai berikut:
- Anggaran pertahanan 2013 sebesar US$ 627,6 miliar (Rp 8.535,36 triliun), turun 6,4% dibandingkan 2013. Pada 2014, anggaran pertahanan akan turun lagi sebesar 5,5% menjadi US$ 593,4 miliar (Rp 8.070,24 triliun).
- Anggaran pertahanan akan naik 2,1% per tahun sampai 2023. Pada 2023, anggaran pertahanan diperkirakan menjadi US$ 714 miliar (Rp 9.710,4 triliun).
- Meski naik secara nominal, tetapi persentase belanja pertahanan terhadap produk domestik bruto (PDB) akan terus menurun dari 4,3% pada 2012 menjadi 2,8% pada 2023.
Artinya, belanja negara AS akan naik melebihi perkiraan. Sementara penerimaan kemungkinan justru ada tantangan karena Presiden Trump memangkas tarif pajak korporasi. Kalkulasi lembaga riset Tax Foundation menyebutkan pemangkasan tarif pajak dari 35% menjadi 15% akan berpotensi mengurangi penerimaan negara sebesar US$ 2,2 triliun (Rp 29.900 triliun) dalam 10 tahun.
Situasi ini menyebabkan defisit anggaran AS berpotensi melebar dari perkiraan. Pemerintah AS tentu akan memanfaatkan pasar obligasi untuk pembiayaan defisit.
Ketika kebutuhan pembiayaan defisit semakin besar, maka pemerintah AS akan membanjiri pasar obligasi dengan produk mereka. Hingga akhir 2017, total penerbitan obligasi negara AS sudah mencapai US$ 14,67 triliun (Rp 199.500 triliun).
![]() |
Ketika terlalu banyak pasokan di pasar (crowding out), maka yang terjadi adalah perang suku bunga. Setiap penerbit obligasi ingin produknya menjadi yang paling laris sehingga menawarkan suku bunga tinggi. Perang suku bunga akan memicu suku bunga pada umumnya meningkat.
Akibatnya, biaya untuk penerbitan obligasi semakin mahal. Bunga yang harus ditanggung penerbit semakin tinggi. Ini tentu akan mempengaruhi keuangan pihak penerbit, baik pemerintah maupun korporasi.
Bagi pemerintah Indonesia, kenaikan suku bunga akan memberatkan APBN. Saat ini, sebagian besar pembiayaan defisit adalah melalui pasar obligasi.
Dalam dokumen Nota Keuangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2018, setiap 1% kenaikan imbal hasil (yield) akan menambah beban pembiayaan sebesar Rp 1,4-2,3 triliun. Dalam asumsi makro 2018, yield SPN tiga bulan ditetapkan 5,2%.
Potensi kenaikan biaya dana ini harus dicermati. Ketika kenaikan suku bunga sepertinya sudah tidak bisa dihindari, Indonesia harus berupaya mempercantik fundamental ekonomi domestik sehingga setidaknya bisa mengerem laju kenaikan itu.
(aji/aji) Next Article Siap-siap, Donald Trump Janji Rebut Gedung Putih Segera
Most Popular