Telanjur Nikah Beda Agama, Anaknya Bisa Dapat Warisan?
Jakarta, CNBC Indonesia - Mahkamah Agung (MA) telah resmi melarang permohonan pencatatan pernikahan beda agama. Apabila seseorang sudah terlanjur menikah beda agama dan disahkan di catatan sipil, apa kabar dengan hak waris sang anak?
Kasus nikah beda agama kembali ramai setelah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) mengizinkan pernikahan beda agama di antara dua pasangan kekasih Islam dan Kristen. Seperti diberitakan detik, berdasarkan UU Adminduk, penetapan yang diketok hakim Bintang AL mendasarkan alasan sosiologis, yaitu keberagaman masyarakat.
Hakim Bintang AL menyatakan putusan itu sesuai Pasal 35 huruf a UU 23/2006 tentang Adminduk. Juga berdasarkan putusan MA Nomor 1400 K/PDT/1986 yang mengabulkan permohonan kasasi tentang izin perkawinan beda agama.
Selama ini, pernikahan beda agama sejatinya memang tidak bisa dicatatkan, kecuali ada penetapan pengadilan atas pernikahan tersebut.
Lantas apa kabarnya jika ada pasangan beda agama yang pernikahannya sudah disahkan, dan memiliki anak? Apakah sang anak bakal kehilangan hak waris di masa depan? Berikut penjelasannya.
Selama pernikahan sah secara negara, hak waris aman
Berdasarkan Pasal 42 UU Perlindungan Anak, disebutkan bahwasannya setiap anak akan mendapat perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. Anak juga dapat menentukan pilihan agama yang dipeluk, namun sebelum bisa menentukan hal itu maka agama yang dipeluknya akan mengikuti agama orangtuanya.
Oleh karena itu, harus ada sebuah kesepakatan dari kedua orangtua anak agama yang dipeluk anak mereka, sebelum akhirnya sang anak menentukan agamanya sendiri saat beranjak dewasa.
Selama pernikahan itu dianggap sah oleh negara, maka anak tidak akan kehilangan hak warisnya. Karena jika pernikahan tersebut tidak bisa disahkan, maka status anak dari pasangan itu bisa menjadi anak luar kawin.
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan bahwa, anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
Mewaris lewat hukum KUH Perdata
Dalam Pasal 832 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dinyatakan bahwa pewarisan hanya terjadi karena kematian. Dan prinsip pewarisan yang ada di KUH Perdata adalah berdasarkan hubungan darah.
Jadi intinya, yang berhak menjadi ahli waris ialah para keluarga sedarah, baik sah maupun luar kawin dan si suami atau istri yang hidup terlama, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 832 KUH Perdata.
Pembagian harta waris menurut KUH Perdata tidak membedakan bagian antara laki-laki atau perempuan, KUH Perdata juga tidak mengatur adanya pewarisan beda agama.
(aak/aak)