Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi dunia belum baik-baik saja. Selepas pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) mereda, dunia harus dihadapkan dengan resesi. Kali ini resesi berpeluang terjadi karena tingginya inflasi akibat harga komoditas energi yang melesat akibat perang Ukraina-Rusia.
Secara umum, resesi terjadi ketika ekonomi tumbuh negatif dua kuartal beruntun. Pada tahun 2020 lalu dunia mengalami resesi akibat pandemi Covid-19, yang membuat aktivitas dan mobilitas miliaran umat manusia terganggu. Tanpa aktivitas dan mobilitas manusia, roda ekonomi pun 'macet'.
Pandemi menyisakan gap antara produksi komoditas yang terlalu lambat untuk mengimbangi pemulihan permintaan. Akibatnya barang langka dan harganya meroket. Saat masalah ini masih jauh dari solusi, konflik antara Rusia dan Ukraina menambah runyam urusan pasokan komoditas dunia.
Apalagi kedua negara yang berkonfrontasi tersebut adalah pemasok utama energi dan pangan dunia. Makin beratlah laju ekonomi dunia. Sementara komoditas melesat, Covid-19 diam-diam masih membayangi.
Resesi kemudian membuat para investor ketar-ketir. Memegang uang tunai dan menghindari investasi menjadi pilihan yang dianggap terbaik saat resesi. Lantas apakah saat resesi sama sekali tidak bisa investasi?
Pilihan memegang uang tunai memang bisa jadi pilihan. Namun, investasi bisa tetap dilakukan meski keadaan sedang krisis. Strategi yang bisa dipilih adalah menggunakan alokasi aset.
Alokasi aset adalah strategi investasi dengan memberi bobot tertentu masing-masing instrumen investasi pada portfolio. Tujuannya untuk memberi keseimbangan pada imbal hasil dan risiko. Tidak ada aturan baku dalam menentukan porsi dalam strategi alokasi dana. Idealnya menyesuaikan dengan profil risikonya masing-masing.
Akan tetapi, ketika resesi memperbanyak porsi untuk instrumen investasi yang memiliki risiko rendah bisa jadi pilihan bijak. Hal ini untuk mengurangi risiko kerugian dan fluktuasi imbal hasil portfolio keseluruhan bisa lebih stabil.
Lalu apa saja pilihan instrumen investasi yang minim risiko dan direkomendasikan saat terjadi resesi?
Deposito
Deposito bisa mengamankan dana kita dalam titik tertentu untuk meredam guncangan resesi yang membuat nilai uang tergerus. Meskipun menawarkan imbal hasil paling moderat, tetapi deposito bisa menjadi pilihan yang tepat karena sifatnya yang lebih stabil.
Saat ini bunga deposito berada di kisaran 2% hingga 2,5% untuk bank konvensional, dan 4% hingga 6% untuk bank digital.
Emas
Emas bisa melindungi aset dari ketika dunia sedang berada adalah ketidakpastian ekonomi atau politik yang menyebabkan pasar lebih fluktuatif. Sebab harganya yang stabil dan tidak terdepresiasi seperti nilai uang. Inilah kenapa emas banyak dijadikan sebagai lindung nilai (hedging).
Risiko emas cenderung kecil karena tingkat volatilitasnya yang tidak besar. Sehingga aman menyimpannya dalam jangka panjang. Saat resesi akibat pandemi Covid-19 pada 2020, harga emas dunia di pasar spot melonjak 25,01%. Kala itu, emas jadi salah satu aset dengan kinerja terbaik.
Obligasi Negara
Berinvestasi di obligasi Treasury (T-bonds) terkenal lebih aman dibandingkan saham. Itu karena T-bonds dijamin oleh pemerintah federal, yang dapat meningkatkan pajak atau memotong pengeluaran untuk memastikan pembayaran dilakukan kepada pemegang obligasi.
Meski obligasi pemerintah tidak sepenuhnya tangguh selama resesi ekonomi, sifat beli-tahan (buy-and-hold) dan pembayaran kupon yang stabil menjadi daya tarik bagi investor yang tidak begitu menyukai volatilitas di pasar penuh risiko.
Saat tanda tanda resesi meningkat pada 2020, imbal hasil acuan tenor 10 tahun melonjak hingga 8,3%. Kemudian jatuh ke level 6% kala pemulihan terjadi. Kini imbal hasil yang ditawarkan kembali melejit dan mencapai posisi 7,287% seiring dengan ketidakpastian global yang makin meningkat.
Saham
Ketiga jenis investasi di atas adalah moderat. Namun, tidak menutup kemungkinan untuk berinvestasi di aset risiko seperti saham.
Ketika terjadi resesi, saham-saham yang memiliki fundamental baik bisa jadi pilihan. Melihat fundamental perusahaan bisa dari kinerja keuangan, bisnis, pengelolaan risiko saat terjadi krisis oleh manajemen, hingga ketahanan perusahaan tersebut dalam menghadapi berbagai krisis.
Ketika resesi dan harga saham anjlok, saham-saham yang memiliki fundamental bagus akan menjadi lebih murah atau undervalued. Sehingga menciptakan peluang bagi investor untuk membeli sahamnya.
Reksa Dana
Reksa Dana bisa dibilang sebagai investasi 'palugada' alias 'apa lu mau gue ada'. Sebab reksa dana menawarkan berbagai instrumen investasi dari yang berisiko rendah hingga tinggi dan dari instrumen yang cocok untuk jangka menengah hingga jangka panjang.
Ada reksa dana pasar uang yang memiliki risiko minim dan cocok untuk investasi di bawah 1 tahun. Kemudian, reksa dana pendapatan tetap atau obligasi yang cocok untuk investasi 1-3 tahun. Reksa dana campuran yang cocok buat yang suka risiko sedang. Reksa dana ini bisa diinvestasikan untuk 3-5 tahun. Jika ingin lebih berisiko, bisa pilih reksa dana saham yang cocok untuk investasi jangka panjang atau di atas 5 tahun.
Return yang bisa diraih di reksa dana beragam tergantung produk. Semakin minim risiko, return yang bisa diraih akan lebih kecil dibandingkan produk reksa dana yang tinggi risiko.
Mengutip situs Bareksa, return yang berhasil dicapai oleh produk reksa dana pasar uang rata-rata mencapai 3% hingga 4% dalam setahun. Lalu, return untuk reksa dana pendapatan tetap rata-rata sebesar 20% hingga 22% dalam jangka waktu 3 tahun.
Kemudian, Reksa dana campuran bisa menghasilkan return 10% hingga 12% dalam jangka waktu 3 tahun. Sementara return reksa dana saham bisa mencapai 78% dengan rata-rata return 25% dalam jangka waktu lima tahun.
TIM RISET CNBC INDONESIA