'Hujan Emas' di Sudirman
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2025 menjadi tahun yang penuh gejolak bagi pasar saham Indonesia. Salah satu momen yang paling membekas adalah kejatuhan tajam Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) usai libur panjang Lebaran.
Pada tanggal 8 April 2025, IHSGÂ sempat terjun bebas hingga 9,1%Â dan memaksa Bursa Efek Indonesia (BEI)Â untuk menghentikan sementara perdagangan di seluruh pasar atau trading halt selama 30 menit.
Momen tersebut adalah panic selling terparah, terjadi pada hari pertama perdagangan pasca libur panjang Lebaran. Pasar "kaget" dan mengakumulasi semua sentimen negatif global selama liburan, terutama ketakutan terhadap perang dagang baru setelah pengumuman "Tarif Trump".
Saat itu, IHSG merosot hingga ke level 5.912,06. Sebanyak 552 saham turun, 9 naik, dan 65 tidak berubah. Nilai transaksi mencapai Rp1,93 triliun yang melibatkan 1,59 miliar saham dalam 64.620 kali transaksi. Penurunan IHSG membuat kapitalisasi pasar merosot jadi Rp 10.218 triliun.
Namun, pandangan berbeda terihat oleh kaca mata investor legendaris Tanah Air, Lo Kheng Hong. Di tengah kepanikan pasar dan tekanan jual yang masif, sosok yang kerap dijuluki Warren Buffett-nya Indonesia itu melihat badai sebagai peluang.
Menurut Lo, anjloknya IHSG bukanlah tanda kehancuran, melainkan undangan langka bagi investor jangka panjang untuk mengoleksi saham-saham berkualitas dengan harga diskon.
"Hari ini sedang hujan emas di BEI [Gedung Bursa Efek Indonesia yang berlokasi di Jalan Sudirman, Jakarta]," ungkapnya kepada CNBC Indonesia.
Bahkan, kata Lo, saat ini merupakan momentum yang bagus untuk melakukan pembelian atau menambah kepemilikan saham. "Buy in bad times," sebutnya.
Investor ternama ini mengaku terkejut pada kondisi IHSG yang sempat anjlok 7% pada tanggal 18 Maret 2025 lalu. "Saya sedang membeli saham, karena harga saham turun banyak, tiba tiba trading halt, terkejut sebentar saja, kemudian dapat berita trading halt," ungkapnya.
Harga saham-saham yang berguguran saat itu, kata Lo, disebabkan oleh dana asing yang keluar dari pasar modal. Bahkan, membuat harga saham blue chip turut mengalami penurunan tajam.
"Dana asing kabur, harga saham Blue Chip turun banyak," ungkapnya.
Namun, hal itu tak membuatnya ikut hengkang dari pasar saham. Bahkan, Ia memilih untuk membeli saham-saham yang berkinerja cemerlang karena menganggap saat ini merupakan momentum yang bagus.
"Sehingga saya menarik semua Reksadana, mencairkan Deposito dan menjual seluruh Obligasi saya untuk membeli saham Wonderful Company yg dijual obral oleh asing," ucapnya.
Benar saja, seiring berjalannya waktu dan sentimen negatif mulai mereda, IHSG perlahan bangkit. IHSG sudah berhasil mencetak rekor baru dengan menembus level All Time High (ATH) sebanyak 22 kali sepanjang tahun ini.Â
Pada 8 Desember 2025, IHSG dan kapitalisasi pasar mencapai level tertinggi sepanjang masa dengan IHSG ditutup pada posisi 8.710,695 dan kapitalisasi pasar mencapai Rp16.004 triliun.
Hingga penutupan perdagangan Senin (15/12), kapitalisasi pasar BEI telah mencapai Rp15.787 triliun atau setara US$ 947 miliar. Rata-rata nilai transaksi harian berada di level Rp17,67 triliun atau US$ 1,07 miliar, mempertegas posisi Indonesia sebagai pasar yang terus berkembang dengan likuiditas yang sangat kompetitif.
Pencapaian tersebut menggambarkan bahwa ekosistem pasar modal Indonesia tumbuh tidak hanya dari sisi jumlah investor, tetapi juga dari likuiditas perdagangan, daya tarik pasar bagi investor global, dan kekuatan investor domestik yang menciptakan ketahanan pasar terhadap dinamika ekonomi global.
Momentum positif ini juga tercermin dari kinerja bulanan. Bayangkan saja, sepanjang Juli hingga November, atau lima bulan berturut-turut, IHSG selalu ditutup di zona hijau.
Tren penguatan yang konsisten ini membuat pasar semakin optimistis menyambut akhir tahun. Jika pada Desember benar terjadi aksi window dressing, yang biasanya diwarnai akumulasi oleh manajer investasi demi mempercantik laporan kinerja, maka IHSG berpeluang mengukir sejarah baru yaitu semester II/2025 full ditutup positif.
Namun, tak bisa di pungkiri bahwa kenaikan IHSG selama beberapa bulan terakhir ini banyak ditopang oleh saham konglo. Kalau saham konglo banyak yang turun, artinya IHSG bisa saja suatu waktu jatuh.
Walau begitu, pasar juga mengharapkan IHSG tetap hijau dengan adanya rotasi dari saham konglo ke saham-saham bluechip yang tergabung dalam indeks LQ45 dan IDX30.
Pasalnya, gerak indeks saham unggulan seperti LQ45 dan IDX30 ternyata masih jauh tertinggal. Sebagai catatan, IHSG sejak awal tahun itu sudah naik lebih dari 20%, tetapi LQ45 hanya naik kisaran 3% dan IDX30 hanya 4%.
Secara makro, sebenarnya di penghujung tahun ini sudah semakin membaik, ini diharapkan bisa mendukung skenario window dressing berlangsung lebih kuat.
Sentimen The Fed semakin memberikan harapan besar bagi aset berisiko di emerging market, termasuk Indonesia. Likuiditas global yang lebih longgar biasanya cenderung mendorong arus modal masuk, terutama ke pasar saham berkapitalisasi besar.
Di dalam negeri, Bank Indonesia (BI) bahkan bergerak lebih cepat. Sepanjang Januari hingga September, BI sudah memangkas suku bunga acuan hingga total 125 bps, sehingga ruang pemulihan ekonomi semakin terbuka lebar.
Penurunan suku bunga domestik biasanya memiliki efek lanjutan terhadap penurunan cost of fund, peningkatan permintaan kredit, hingga perbaikan daya beli. Ketika likuiditas meningkat dan risiko makro mereda, sentimen terhadap saham-saham bluechip berpotensi membaik.
Belum lagi, pasar juga mengantisipasi realisasi belanja pemerintah yang lebih agresif tahun depan, terutama program populis senilai total Rp721 triliun yang diproyeksikan mengalir ke berbagai sektor konsumtif.
Stimulus sebesar ini tak hanya memantik belanja masyarakat, tetapi juga bisa menjadi bahan bakar tambahan bagi emiten consumer, retail, perbankan, hingga telekomunikasi.
Dengan kombinasi suku bunga yang menurun, stimulus fiskal besar, dan rotasi dari saham konglomerasi ke saham bluechip, peluang window dressing akhir tahun ini menjadi semakin menarik, khususnya bagi saham-saham yang masih tertinggal alias laggard namun punya fundamental solid.
Namun tentu saja, investor tetap perlu melakukan analisis fundamental masing-masing saham untuk memastikan momentum ini selaras dengan prospek jangka panjangnya, sekaligus analisis teknikal untuk mendapatkan momentum cuan yang lebih optimal, dengan risiko yang lebih terukur.
(fsd/fsd)[Gambas:Video CNBC]