MARKET DATA
Big Stories 2025

Kontroversi Utang BLBI BCA ke Negara Hingga Isu Caplok Saham

Zefanya Aprilia,  CNBC Indonesia
26 December 2025 13:00
Gedung Bank BCA
Foto: Muhammad Luthfi Rahman

Jakarta, CNBC Indonesia - Warga pasti kenal PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA), bank swasta terbesar RI yang bisa dibilang "bank sejuta umat." Namun kabar mencengangkan sempat mengguncang salah satu dari big banks Indonesia itu.

Tepatnya pada bulan Agustus 2025, kontroversi penjualan saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) sehubungan dengan penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali menjadi sorotan, setelah lebih dari 20 tahun berlalu.

Berbagai kalangan, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), mendorong pemerintah untuk mengusut kasut ini. Bahkan, pemerintah disebut berhak untuk mengambil 51% saham BBCA, tanpa harus bayar.

Yang menjadi isu, penjualan 51% saham BCA pada tahun 2002 silam dianggap menyebabkan kerugian hingga Rp87,99 triliun. Mengutip tulisan "Interpelasi BLBI Kasus BCA" oleh mendiang Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri era Gus Dur, Kwik Kian Gie, bank swasta terbesar RI itu saat itu memiliki utang ke negara.

Utang tersebut berasal dari berbagai sumber, salah satunya dana BLBI. Pada saat krisis moneter dan ekonomi tahun 1997, BCA terkena rush dan menerima BLBI senilai Rp31,99 triliun untuk meredamnya. Maka, pemerintah menyita saham-saham BCA sebagai bentuk dari pelunasan utang BLBI dari keluarga Salim.

Dari jumlah tersebut, BCA telah membayarkan cicilan utang pokok sebesar Rp8 triliun dan pembayaran bunga Rp8,3 triliun, yang saat itu tingkat bunganya sebesar 70% per tahun. Maka sisa utang BLBI tersebut menjadi Rp23,99 triliun (pembayaran bunga tidak mengurangi pokok) atau sekitar 92,8% dari nilai saham BCA pada saat itu.

Kemudian, BCA yang sudah menjadi milik pemerintah harus "disehatkan" dengan menginjeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau OR sebesar Rp60 triliun. Kwik mengatakan dalam BCA sudah ada laba bersih sebesar sekitar Rp4 triliun.

"Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp. 87,99 triliun (dibulatkan Rp. 88 triliun).

Namun BCA dijual kepada Farallon senilai Rp 10 triliun. Jadi ada kerugian yang dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp78 triliun," tulis Kwik, dikutip Selasa (19/8/2025).

Selanjutnya Kwik menyorot kredit Rp52,7 triliun yang diambil oleh Grup Salim, mantan pemegang saham BCA, di Bank swasta terbesar RI tersebut . Ia menggarisbawahi bahwa ketika 92,8% saham BCA dimiliki oleh pemerintah, utang keluarga Salim beralih menjadi utang kepada pemerintah.

Karena keluarga Salim tak memiliki uang tunai, dibayarlah dengan skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang berwujud Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan uang tunai sebesar Rp100 miliar dan 108 perusahaan. Saat itu penilaian 108 perusahaan menggunakan jasa Danareksa, Bahana dan Lehman Brothers mengeluarkan angka Rp 51,9 triliun. Sehingga utang Grup Salim ke BCA dianggap lunas.

Sementara itu, ,menurut penilaian Price Waterhouse Coopers (PwC), nilai dari skema tersebut tiba pada angka Rp20 triliun saja.

Perbedaan signifikan dari penilaian konsorsium Danareksa-Bahana-Lehman dengan PwC disebut terjadi karena perbedaan pandangan makroekonomi.

Kala itu, Bahana, Danareksa dan Lehman Brothers ditugasi menilai dengan asumsi "Pandangan yang positif tentang hari depan ekonomi Indonesia dan lingkungan politik yang normal" (normalised economic and political scenarios). Artinya dihasilkan angka premium imbas dari going concern dalam lingkungan ekonomi makro yang bagus.

Sementara PwC ditugasi dengan asumsi dan TOR yang intinya berbunyi : "harus dijual dalam waktu antara 8 dan 10 minggu", dengan "transaksi penjualan dilakukan antara pembeli yang mau membeli tetapi ogah-ogahan, dan penjual yang mau menjual tapi ogah-ogahan" (willing but not anxious).

Meski ada perbedaan signifikan terkait penilaian tersebut, akhirnya pemerintah pada saat itu menerima Rp20 triliun dari nilai aset Rp52,8 triliun, sebagai pelunasan utang keluarga Salim. Artinya, recovery rate sekitar 34%.

Pada tahun 2002, Presiden Megawati sepakat menjual 51% saham BCA kepada publik. Perusahaan Investasi AS Farallon kemudian memenangkan tender tersebut karena membeli saham BCA dengan nilai US$530 juta atau Rp10 triliun pada saat itu.

Kelak, sekitar tahun 2007 Grup Djarum menguasai BCA sepenuhnya usai membeli 92,18% saham Farallon di Farindo Investment. Farindo Investment adalah perusahaan patungan Grup Djarum melalui Alaerka, dan Farallon.

Ketika ditanya terkait hal ini, Wakil Ketua DPR sekaligus Anggota DPR Komisi III, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan ia belum mempelajari lebih lanjut mengenai hal ini. Namun ia mengetahui bahwa BCA yang pada saat itu dimiliki Grup Salim masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dilelang dan dimenangkan oleh Grup Djarum.

"Sehingga lelang tersebut yang dilakukan oleh BPPN, dalam hal ini Pemerintah Indonesia, itu sudah dilakukan. Saya belum bisa berkomentar lebih jauh, karena hanya itu yang saya tahu," ujar Dasco saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (19/8/2025).

Menurutnya, sejauh ini Komisi III DPR belum memiliki rencana untuk mengusut perkara BLBI-BCA ini.

"Setahu saya, ini belum ada rencana Komisi III," kata Dasco.

Menurut pengamat ekonomi, masalah utama dari perkara ini bukan sekadar siapa pemilik BCA sekarang. Ekonom, Yanuar Rizky mengatakan persoalan dari perkara ini adalah kepastian hukum dan keadilan.

Dalam proses tender offer itu, Yanuar mengatakan Bapepam sempat meningkatkan proses pengaturan harga BCA ke proses hukum. Namun, kasus ini tidak dilanjutkan ke penegakan hukum.

"Jadi kontroversi BLBI-BCA, ada di nilai recovery rate di bawah utang pokok obligasi rekap yang disuntikan ke BCA, akibat rendahnya harga aset dari pemegang saham lama setelah dieksekusi," kata Yanuar saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (19/8/2025) lalu.

Selain itu, kontroversi terletak pada pemegang saham baru yang membeli saham BCA dengan harga murah dan tetap menikmati keuntungan karena bank itu sudah disuntik obligasi rekap oleh pemerintah.

"Jika investor baru membeli tanpa melakukan perbuatan melawan hukum, maka dia beli murah, ya sah," kata Yanuar.

Tapi, ia melanjutkan, kalau ada bukti perbuatan melawan hukum, perkara ini harus dibawa ke ranah hukum. Begitu pula soal penyerahan aset dari pemegang saham BCA lama, harus ditindak secara hukum jika memang terbukti melakukan manipulasi dalam valuasi aset.

Sebab, Yanuar mengatakan beban obligasi rekap yang ditanggung Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Oleh karena itu, ia menilai masalah ini tidak perlu diselesaikan melalui pengambilalihan saham. Yanuar mengatakan perkara ini harus diselesaikan melalui penegakan hukum yang pasti. Jika memang ditemukan adanya perbuatan melawan hukum, ia menekankan bahwa pemegang saham yang harus ditindak, bukan BCA.

"Kalau saya melihatnya tak perlu lah, isu ini ke arah ambil alih. Tapi dua peristiwa terkait aset pembayaran pemegang saham lama dan pengaturan harga itu yang dilakukan proses penegakan hukum yang kredibel. Dan objek pidana perdatanya ke pemegang sahamnya, bukan ke entitas usahanya," terang Yanuar.

Respons BCA

Corporate Secretary BCA I Ketut Alam Wangsawijaya lewat keterbukaan informasi menyebutkan bahwa pembelian 51% saham BCA dengan nilai hanya sekitar Rp5 triliun diduga melanggar hukum karena nilai pasar BCA saat itu dinilai sekitar Rp117 triliun, merupakan informasi yang tidak benar.

"Angka Rp117 triliun yang sering disebut dalam narasi merujuk pada total aset BCA, bukan nilai pasar perusahaan. Nilai pasar ditentukan oleh harga saham perusahaan di bursa efek, dikalikan dengan jumlah total saham yang beredar. Seiring BCA yang sudah melaksanakan Initial Public Offering (IPO) pada tahun 2000, maka harga saham BCA terbentuk berdasarkan mekanisme pasar," sebut I Ketut.

Dirinya mengklaim pada saat proses strategic private placement dilakukan, nilai pasar BCA berdasarkan harga saham rata-rata di Bursa Efek Indonesia adalah sekitar Rp10 triliun.

"Angka inilah yang menjadi acuan valuasi saat transaksi berlangsung, bukan sekitar Rp117 triliun. Dengan demikian, nilai akuisisi 51% saham oleh konsorsium FarIndo yang menang melalui tender, merupakan cerminan dari kondisi pasar saat itu," sebut I Ketut.

Adapun tender dilakukan oleh Pemerintah Republik Indonesia melalui BPPN secara transparan dan akuntabel.

Lebih lanjut manajemen BCA mengklaim terkait informasi bahwa BCA memiliki utang kepada negara Rp60 triliun yang diangsur Rp7 triliun setiap tahunnya adalah tidak benar.

"Di dalam neraca, BCA tercatat memiliki aset obligasi pemerintah senilai Rp60 triliun, dan seluruhnya telah selesai pada tahun 2009 sesuai dengan ketentuan dan hukum yang berlaku," ungkap ketut.

Disclaimer: Big Stories merupakan kumpulan berita lama dari CNBC Indonesia yang telah dipublikasikan sebelumnya dan disajikan kembali karena menjadi berita terpopuler dan paling banyak diminati sepanjang tahun 2025. Informasi yang dimuat tidak selalu mencerminkan kondisi atau perkembangan terbaru. Pembaca disarankan untuk meninjau tanggal publikasi dan mencari referensi tambahan untuk mendapatkan informasi terkini.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Heboh Kasus Utang BLBI BCA ke Negara, Ini Kata DPR


Most Popular
Features