Bos Danantara Kasih Pesan Penting ke BUMN Soal Digitalisasi
Jakarta, CNBC Indonesia — Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) memberikan arahan kepada perusahaan BUMN dalam menghadapi era digital yang terus berubah mengikuti perkembangan zaman dan menangkap peluang untuk kelangsungan bisnis.
Chief Operating Officer BPI Danantara Dony Oskaria menegaskan bahwa di era keterbukaan informasi saat ini, tidak ada lagi kesenjangan pengetahuan antar wilayah maupun dan antar manusia. Setiap perubahan global dapat diakses dengan cepat, sehingga perusahaan termasuk BUMN yang gagal bertransformasi berisiko tertinggal dan kehilangan daya saing.
"Jadi kalau satu perusahaan tidak melakukan perubahan dia pasti akan mengalami kemunduran atau tertinggal. Tidak mampu lagi menghadapi satu kompetisi, dan kita menyadari ada periode perubahan setiap saat," ujarnya dalam acara Launching BRI Corporate Rebranding, di Menara BRIlian Jakarta, dikutip Rabu (17/12/2025)
Menurut Dony, sejarah bisnis menunjukkan bahwa perubahan terjadi dalam siklus yang berulang. Ia menyinggung periode awal tahun 2000-an saat gelembung internet (dot-com bubble) memicu pergeseran fundamental dalam cara pengelolaan perusahaan.
Transformasi besar juga tercermin dari kisah kebangkitan IBM yang diabadikan dalam buku manajemen legendaris 'Who Says Elephants Can't Dance?', sebuah fenomena penting dalam dunia korporasi global.
Selanjutnya, memasuki satu dekade terakhir, dunia kembali diguncang oleh gelombang digitalisasi. Namun, Dony menekankan bahwa digital bukanlah tujuan akhir melainkan saluran distribusi. Tanpa adaptasi terhadap cara kerja baru tersebut, perusahaan akan semakin tertinggal.
"Bagaimana digital begitu menikam luar biasa bahkan orang mengklaim ada digital bank dan lain sebagainya. Saya pernah dulu bicara tahun 2005 ya bercerita mengenai apa sih itu digital? Apakah digital itu sebuah bisnis? Atau digital itu adalah the way doing business?. Sebenarnya digital itu adalah the way doing business. Dia adalah channel distribution," ungkapnya.
Menariknya, Dony melanjutkan, setelah euforia digital dan perubahan valuasi perusahaan, dunia usaha kini kembali pada esensi paling mendasar, yaitu fundamental bisnis.
Dony menilai, pelaku usaha mulai meninjau ulang model bisnis, aliran pendapatan, parameter pendapatan, struktur biaya, margin EBITDA hingga laba bersih. "Orang tersadar lagi bahwa at the end ya fundamental itu adalah segala-galanya," tegasnya.
Dalam konteks inilah, Dony menyoroti pentingnya rebranding sebagai bagian dari transformasi BUMN. Ia mencontohkan langkah yang dilakukan oleh PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk. (BBRI) yang menurutnya bukan sekadar perubahan visual, melainkan penegasan tentang bagaimana sebuah perusahaan ingin dipersepsikan oleh pelanggan.
"Branding itu adalah how we want to be perceived by our customers. Sebuah perusahaan itu harus dimulai dari bagaimana dia ingin dipersepsikan oleh customernya," sebutnya.
Jika perusahaan tidak mampu mendefinisikan hal ini, arah bisnisnya akan berantakan dan sulit mengidentifikasi posisinya di mata pasar.
Ia menutup dengan menegaskan bahwa transformasi BUMN harus dimulai dari pemahaman jati diri dan persepsi publik yang ingin dibangun. Dengan fondasi fundamental yang kuat dan arah branding yang jelas, BUMN diyakini mampu menghadapi kompetisi di era digital yang terus berubah.
(mkh/mkh)