Kredit Kian Lesu Walau Diguyur Likuiditas, Bankir Ungkap Penyebabnya
Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan penyaluran kredit kian lesu, hanya naik 7,36% secara tahunan atau year on year (yoy) pada bulan Oktober 2025. Realisasi itu turun dari sebulan sebelumnya sebesar 7,7% yoy.
Padahal, pemerintah telah mengucurkan likuiditas, melalui penempatan saldo anggaran lebih (SAL) lebih dari Rp200 triliun pada sejumlah bank pelat merah dan bank pembangunan daerah (BPD).
Belum lagi, dari sisi makro, perekonomian Indonesia pada tahun ini diproyeksikan akan tumbuh lebih cepat. Dalam rapat dewan gubernur Rabu lalu, BI membidik pertumbuhan ekonomi RI akan berada di rentang 4,7% hingga 5,5%.
Para bankir kompak mengatakan bahwa penyebab dari lesunya fungsi intermediasi perbankan berasal dari sisi permintaan atau demand.
Presiden Direktur CIMB Niaga (BNGA), Lani Darmawan mengatakan saat ini tidak banyak permintaan baik pada kredit produktif maupun konsumtif. Ia menegaskan pihaknya harus realistis menyikapi permasalahan ini dan tidak mengorbankan kualitas aset kredit.
"Kita harus realistic karena perbankan adalah enablers bagi masyarakat yang membutuhkan bantuan financing. Jadi tidak bisa dipaksakan, agar asset quality juga baik. Karena nasabah yang baik akan mengambil kredit apabila butuh untuk bisnisnya maupun kredit konsumtif," terang Lani kepada CNBC Indonesia, Jumat (21/11/2025).
Ia melanjutkan, perbankan kemudian memastikan bahwa nasabah yang menerima penyaluran kredit memang mampu untuk membayar kembali.
"Saat ini challenge lain adalah factor daya beli yg belum terangkat kembali," tambah Lani.
Senada, Presiden Direktur Maybank Indonesia (BNII) Steffano Ridwan mengakui penyebab kredit lambat berasal dari sisi demand. Kata Steffano hal ini terjadi, walaupun likuiditas mencukupi.
"Ini karena lebih banyak pelaku usaha yang wait and see melihat banyaknya uncertainty yang ada termasuk geopolitik, tarif war, lower buying power dan lain-lain," papar Steffano kepada CNBC Indonesia, Jumat (21/11/2025).
Berbeda dengan kondisi industri, Bank Tabungan Negara (BBTN) mampu mencatatkan pertumbuhan penyaluran pinjaman. Meskipun demikian, Direktur Utama BTN, Nixon L.P. Napitupulu mengakui pertumbuhannya hanya sedikit.
"Kalau BTN, sih tumbuh Oktober dibanding September," ungkap Nixon kepada CNBC Indonesia, Jumat (21/11/2025).
"Walau nggak tinggi-tinggi amat," lanjutnya.
Menurut pengamat perbankan, Paul Sutaryono, sesungguhnya masalah yang dihadapi bank saat ini bukan likuiditas atau sisi suplai yang kurang memadai. Melainkan, permintaan kredit yang rendah.
Ia memandang pertumbuhan ekonomi nasional yang kurang bernas ini sangat memengaruhi laju bisnis perbankan. Sebaliknya, pertumbuhan kredit perbankan akan mendorong pertumbuhan ekonomi.
"Salah satu sebabnya adalah daya beli (purchasing power) masyarakat yang lemah. Alhasil, barang dan jasa yang diproduksi sektor riil atau dunia usaha juga kurang laris," kata Paul kepada CNBC Indonesia, Jumat (21/11/2025).
Akibatnya, ia melanjutkan, kredit menganggur atau kredit yang sudah disetujui tetapi belum ditarik atau dicairkan (undisbursed loan/UL) justru makin tinggi. Data BI menunjukkan UL cukup besar yang mencapai Rp 2.450,7 triliun atau 22,97% dari plafon kredit yang tersedia.
"Oleh karena itu, pemerintah harus terus menerus menciptakan kesempatan (lapangan) kerja yang lebih banyak lagi. Jangan sampai laju PHK lebih cepat drpd penciptaan kesempatan kerja," ujar Paul.
Lebih lanjut, ia menyebut pemerintah juga harus terus memberantas korupsi termasuk pungutan liar atau suap. Dengan demikian, upaya itu dapat menurunkan biaya operasional sektor riil.
(fsd/fsd)