PT Timah (TINS) Targetkan Industrialisasi Logam Tanah Jarang 2028

Zefanya Aprilia, CNBC Indonesia
Jumat, 21/11/2025 14:10 WIB
Foto: Rare earth element atau yang juga dikenal dengan sebutan logam tanah jarang (LTJ) . (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Timah Tbk. (TINS) mengharapkan industrialisasi logam tanah jarang (LTJ) atau rare earth elements (REE) dapat berjalan mulai tahun 2028. Emiten tambang pelat merah itu saat ini masih menunggu regulasi soal komersialisasi logam tanah jarang.

"Regulator melalui Badan Industri Mineral juga telah meminta agar tidak dilakukan komersialisasi LTJ sebelum seluruh aspek regulasi dan kepatuhan terpenuhi," kata Direktur Pengembangan Usaha TINS, Suhendra Yusuf Ratuprawiranegara dalam Public Expose di Le Meridien, Kamis (20/11/2025).


Suhendra menyebut pemanfaatan monasit dan mineral ikutan lainnya belum bisa dijalankan karena belum ada regulasi teknis yang mengatur. Tidak hanya itu, Izin Usaha Pertambangan (IUP) TINS hanya melingkupi komoditas timah, bukan mineral ikutan non-timah, lantas perusahaan harus melakukan koordinasi tambahan dengan regulator, termasuk Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM.

Ia menambahkan bahwa TINS akan menggelar pembahasan lanjutan dengan Dirjen Minerba ESDM untuk merumuskan arah pengelolaan mineral ikutan pada 2026. Pembahasan bertujuan agar pemanfaatan mineral ikutan dapat dioptimalkan dan berkontribusi pada pendapatan PT Timah.

Sembari menunggu regulasi keluar, PT Timah tengah menyiapkan roadmap pengembangan logam tanah jarang (LTJ) untuk 2025-2027 dengan fokus pada riset dan optimalisasi. Dalam tahap ini, TINS bekerja sama dengan BIM, perusahaan mineral nasional, serta lembaga pendidikan.

"Diharapkan nanti di tahun 2028, kita sudah masuk ke fase industrialisasi dari logam tanah jarang," ucapnya Suhendra

Sebagaimana diketahui, logam tanah jarang (LTJ) ini merupakan salah satu dari mineral strategis dan termasuk "critical mineral" yang terdiri dari 17 unsur, antara lain scandium (Sc), lanthanum (La), cerium (Ce), praseodymium (Pr), neodymium (Nd), promethium (Pm), samarium (Sm), europium (Eu), gadolinium (Gd), terbium (Tb), dysprosium (Dy), holmium (Ho), erbium (Er), thulium (Tm), ytterbium (Yb), lutetium (Lu) dan yttrium (Y).

Logam tanah jarang ini juga digunakan untuk bahan baku pembuatan alutsista di industri pertahanan.

Beberapa material alutsista menggunakan unsur LTJ sebagai unsur paduan, antara lain material Terfenol-D, paduan tiga logam terdiri dari Terbium (Te), Iron (Fe), dan Dysprosium (Dy) sebagai material peredam gelombang sonar pada teropong bidik senapan malam (TBSM) untuk material optic Yttrium aluminium garnet (YAG) dan lainnya.

Di Indonesia, potensi mineral tanah jarang berasal dari beberapa produk turunan dari hasil pengolahan sejumlah mineral, seperti timah, emas, alumina, pasir zircon hingga nikel.

Mengutip Booklet Logam Tanah Jarang yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 2020, lokasi potensinya mayoritas berada di Bangka Belitung, Kalimantan Barat, dan Sulawesi.

Dari total 28 lokasi mineralisasi LTJ yang terungkap, baru sekitar 9 lokasi mineralisasi LTJ (30%) telah dieksplorasi awal, namun 19 lokasi mineralisasi LTJ (70%) belum dilakukan/ belum optimal dilakukan eksplorasi.


(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Penyebab Rupiah Menguat Tapi Masih "Terjebak" di Rp16.700-an