Harga Emas Diramal Tembus US$5.000 Tahun Depan, Ini Alasannya
Dafar Isi
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah mencapai rekor harga tertinggi US$4.380 per ons pada 20 Oktober, harga emas langsung turun lebih dari 10%, hanya untuk rebound dan memulihkan sebagian kerugian.
Harga emas kini mencapai US$ 4.044 atau 54% lebih tinggi daripada harga pada Januari dan 46% lebih tinggi dari puncaknya setelah disesuaikan dengan inflasi, yang tercatat pada tahun 1980. Belakangan sejumlah analis memprediksi harga emas akan menembus US$5.000 pada akhir tahun 2026. Namun, di awal tahun ini, tidak ada yang memperkirakan harga emas akan menembus US$4.000 pada tahun 2025.
Lalu hal apa yang bisa menjelaskan lonjakan tinggi harga emas beberapa waktu terakhir, dan apa yang bisa menjadi bahan bakar untuk kenaikan lebih tinggi di masa depan?
Reli harga emas sejatinya bergantung pada sejumlah profil pembeli yang berbeda, mulai investor institusional, bank sentral hingga yang terakhir inpekulan.
Investor Institusi
Untuk investor institusi, daya tarik utama emas adalah sebagai penyimpan nilai, terutama di masa krisis. Emas bersifat konkret, mudah diangkut, dan tersedia dalam bentuk batangan berukuran standar yang dapat diperdagangkan di pasar global, yang meyakinkan investor dengan portofolio besar.
Kenaikan harga emas sebelumnya terjadi setelah kejatuhan dotcom dan krisis keuangan global 2007-2009, serta selama pandemi COVID-19. Namun, kali ini dinamika yang berbeda sedang terjadi. Harga emas telah meningkat sekitar dua kali lipat sejak Maret 2024, meskipun tidak ada resesi. Indeks S&P 500 Amerika telah naik lebih dari 30% selama periode tersebut, dengan suku bunga riil tetap tinggi.
Investor institusional mencari perlindungan dalam emas karena kekhawatiran bahwa krisis sudah dekat. Tahun ini, tarif Presiden Donald Trump dan kebuntuannya dengan Tiongkok telah membuat kekacauan perdagangan. Perang di Eropa dan Timur Tengah mungkin telah lepas kendali. Amerika telah mengalami penutupan pemerintah terlama yang pernah ada. Kekhawatiran meningkat bahwa jatuhnya saham AI dapat menjatuhkan ekonomi riil.
Namun, sulit untuk menyelaraskan guncangan yang muncul-timbul ini dengan kenaikan harga emas yang hampir linear. Logam mulia sudah melesat sejak awal tahun ini, ketika peringatan gelembung AI masih kurang terdengar. Kesepakatan perdagangan Trump, gencatan senjata dengan Tiongkok, perdamaian di Timur Tengah-tidak ada yang berdampak banyak pada harga emas.
Bank Sentral
Penjelasan kedua berpendapat bahwa demam emas didorong oleh bank sentral-mencari perlindungan bukan karena kekhawatiran ekonomi jangka pendek, melainkan perubahan profil risiko jangka panjang. Menurut teori "debasement" ini, disfungsi politik Amerika dan utang publik yang membengkak, serta ancaman terhadap independensi The Fed, memicu kekhawatiran akan inflasi yang merajalela dan membunuh kepercayaan terhadap dolar AS, yang menyebabkan bank sentral di seluruh dunia menukar aset dolar jangka panjang dengan emas yang aman. Masalahnya, cerita ini tidak didukung bukti. Jika surat berharga Amerika dijual secara massal, dolar akan jatuh dan imbal hasil jangka panjang akan naik. Kenyataannya, dolar cukup stabil setelah merosot di awal tahun ini, dengan imbal hasil obligasi pemerintah AS 30 tahun sebagian besar stagnan.
Para pendukung devaluasi menunjukkan bahwa bank sentral negara berkembang sangat tertarik pada logam mulia. Namun, jika porsi emas dalam cadangan bank sentral meningkat, hal itu sebagian besar disebabkan oleh harganya yang menguat sementara dolar tidak. Data IMF menunjukkan bahwa pembelian yang dilaporkan telah melambat, bukan meningkat, sejak tahun lalu, dan pembelian hanya didorong oleh segelintir bank sentral.
Ritel dan Spekulan
Terakhir ada satu teori lain yang bisa menjelaskan kenaikan fantastis harga emas yakni banyaknya ritel dan spekulan yang ikut dalam hiruk pikuk untuk mengoleksi emas. Pada 23 September atau terakhir kali Komisi Perdagangan Berjangka Komoditas Amerika merilis data akibat penutupan pasar, posisi "long" yang dipegang oleh hedge fund pada emas berjangka mencapai rekor 200.000 kontrak, setara dengan 619 ton logam. Pembelian bersih oleh dana yang diperdagangkan di bursa (ETF) juga kuat. Bulan lalu, arus ETF menurun; hal itu, ditambah dengan penjualan bersih hanya 100 ton oleh hedge fund, akan menjelaskan sebagian besar penurunan harga yang diamati akhir bulan itu, perkiraan analis dari Société Générale. Arus ETF sejak itu telah pulih (data hedge fund masih belum tersedia). Oleh karena itu, tampaknya harga emas mengikuti gerak ETF yang fluktuatif.
Apa yang mungkin dimulai sebagai upaya bank sentral untuk menambah cadangan emas tampaknya telah berevolusi dan merambat menjadi pertaruhan ritel dan spekulan untuk mengejar harga yang lebih tinggi dan menjadi bahan bakar kenaikan harga emas yang gila-gilaan.
(fsd/fsd)