Anak Orang Penting Hidup Melarat, Ogah Jual Nama Ortu Untuk Sukses
Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah maraknya cerita anak pejabat yang melesat cepat berkat privilege keluarga, kisah satu tokoh ini justru berkebalikan. Ia memilih jalan hidup yang jauh lebih berat, menolak memanfaatkan nama besar orang tuanya meski kesempatan itu terbuka lebar.
Tokoh ini bernama Soesalit. Meski lahir dari keluarga terpandang dan menjadi putra seorang figur nasional yang dihormati, ia bersikeras berdiri atas usahanya sendiri. Pilihan itu membuat hidupnya tidak mudah, bahkan membawanya pada kondisi serba kekurangan di masa tua.
Namun keputusan tersebut justru menjadikannya salah satu contoh paling kuat tentang integritas, terutama di masa ketika jabatan dan fasilitas bisa didapat hanya dengan "nama belakang" yang tepat.
Nama Soesalit memang tidak begitu dikenal dibanding ibu kandungnya, yaitu R.A Kartini. Namun, keredupan nama Soesalit disebabkan oleh keputusannya sendiri yang tidak ingin menaiki tangga kesuksesan bermodalkan nama besar ibundanya Kartini.
Ceritanya Bagaimana?
Pada masanya, Soesalit jadi anak cukup beruntung yang lahir dari keluarga pejabat. Ayahnya adalah Raden Mas Adipati Ario Djojadiningrat bertugas sebagai Bupati Rembang. Sejarah juga mencatat sang ibu, Kartini, menjadi orang besar karena punya pemikiran visioner melampaui zaman.
Walau begitu, Soesalit tak mau mengandalkan nama besar kedua orang tuanya untuk meniti kehidupan. Wardiman Djojonegoro dalam Kartini (2024) menceritakan, Soesalit sebenarnya berhak menggantikan ayahnya sebagai bupati.
Tapi ia mantap menolaknya. Banyak saudara yang berulang kali meminta Soesalit menjadi bupati, dan jawabannya selalu penolakan.
Sebagai gantinya, ia memilih masuk tentara pada 1943. Ia dilatih oleh tentara Jepang dan kemudian bergabung sebagai tentara Pembela Tanah Air (PETA). Ketika Indonesia merdeka, Soesalit praktis menjadi bagian Tentara Keamanan Rakyat Republik Indonesia. Dari sini, kariernya perlahan moncer.
Menurut Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini: Sebuah Biografi (1979), Soesalit selalu terlibat dalam beberapa pertempuran melawan Belanda yang lantas membuatnya cepat naik pangkat. Begitu juga namanya yang makin terkenal.
Puncak kesuksesan sebagai tentara terjadi pada 1946. Dirinya diangkat menjadi Panglima Divisi II Diponegoro yang memimpin pasukan terpenting karena bertugas menjaga ibu kota negara di Yogyakarta.
Bahkan, ia juga pernah beberapa kali memegang jabatan sipil. Salah satunya sebagai penasehat Menteri Pertahanan di Kabinet Ali Sastro pada 1953.
Saat ini terjadi, jarang orang mengetahui kalau Soesalit adalah anak dari tokoh besar RI bernama R.A Kartini. Ia memang sengaja tak menjual nama besar ibunya, padahal, sepanjang ia hidup, kisah-kisah Kartini berulang kali menjadi inspirasi dan terus diceritakan banyak generasi terkait perempuan menuntut kesetaraan lewat surat-suratnya.
Bahkan, kala itu sudah populer lagu mengenai ibunya berjudul "Ibu Kita Kartini" buatan W.R Soepratman yang terus dinyanyikan banyak orang. Atasan Soesalit, Jenderal Nasution, menjadi saksi bagaimana ia memang tak mengumbar nama orang tua.
Nasution melihat ketika tak lagi bertugas, Soesalit lebih memilih hidup melarat sebagai veteran dan tak meminta hak-haknya sebagai veteran. Kata Nasution, dikutip dari Kartini: Sebuah Biografi (1979), ia bisa saja hidup berkecukupan dengan berkata bahwa ia adalah satu-satunya putra Kartini. Dengan begitu, banyak orang akan menaruh simpati sehingga bisa mengubah hidup jenderal bintang dua tersebut.
Namun, Soesalit tetap memegang prinsip yang ditanamkan dari awal: tidak mau mengutarakan bahwa dirinya keturunan Kartini. Akibat prinsip ini, pria kelahiran Rembang ini tetap melarat sampai tutup usia pada 17 Maret 1962.
(fsd/fsd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Anak Pejabat RI Pilih Hidup Melarat, Sosoknya Jarang Orang Tahu