
LPEM UI: Suntikan Rp200 T & BI Rate Turun Belum Bisa Dorong Daya Beli

Jakarta, CNBC Indonesia - LPEM FEB UI memandang bahwa suntikan likuiditas Rp200 triliun ke bank oleh pemerintah dan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) belum mampu mendorong permintaan yang tercermin dari masih rendahnya inflasi inti.
"Meskipun pemerintah telah menyuntikkan likuiditas sekitar Rp200 triliun ke bank Himbara untuk mendorong kredit, dan Bank Indonesia (BI) telah memangkas suku bunga kebijakan hingga tiga kali berturut-turut menjadi 4,75% di September 2025, inflasi inti masih rendah dan Indeks Kepercayaan Konsumen (IKK) belum menguat," tulis LPEM FEB UI dalam publikasinya seperti dikutip pada Senin (13/10/2025).
"Kondisi ini menyiratkan bahwa tambahan likuiditas yang digelontorkan belum sepenuhnya bermutasi menjadi permintaan barang dan jasa di tingkat konsumen," sambungnya.
Seperti diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan tingkat inflasi inti pada September sebesar 2,19% year-on-year (yoy). Inflasi inti tersebut hanya tumbuh 0,02 basis poin dari Agustus sebesar 2,17% yoy.
Padahal inflasi umum secara tahunan atau year on year mampu tumbuh 2,65% yoy atau melaju 0,34 basis poin dari Agustus 2025 sebesar 2,31% yoy.
Perbedaan laju antara inflasi inti dan umum tersebut karena adanya lonjakan kelompok pangan bergejolak. Sebagai informasi, kelompok pangan bergejolak tidak dihitung dalam inflasi inti, sehingga ukuran daya beli masyarakat lebih tercermin dalam inflasi inti.
"Pemicu lonjakan inflasi September 2025 kali ini berbeda. Bukan dari harga yang diatur pemerintah, melainkan tekanan yang kembali menguat dari kelompok pangan bergejolak (volatile food) setelah sempat mereda," tulis LPEM FEB UI.
Kondisi kenaikan harga yang tercermin pada inflasi juga disebabkan oleh gelontoran likuiditas namun tidak bersamaan dengan kapasitas produksi.
"Terlepas dari jeda transmisi dari pembiayaan ke sektor riil, jika uang beredar terus bertambah sementara kapasitas produksi dan distribusi tidak ikut meningkat, maka yang bergerak naik adalah biaya dan harga produsen yang lalu diteruskan ke konsumen," ucapnya.
Saat inflasi inti masih stagnan atau menunjukkan daya beli yang belum pulih, likuiditas yang melimpah menjadi berisiko. Sebab ada potensi pembiayaan berlebihan pada zombie company sehingga kredit menjadi tidak produktif.
"Lebih jauh, risiko signifikan dari likuiditas yang melimpah saat permintaan masih tertahan adalah potensi pembiayaan berlebihan pada zombie company, yaitu penambahan kredit pada debitur lama yang kurang produktif. Injeksi likuiditas semacam ini berpotensi kontraproduktif bagi sektor riil."
(ras/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Rate Turun, Ini Alasan Bunga Deposito Bank Digital Ini Masih 9%
