
Begini Strategi Menkeu Purbaya Hidupkan Mesin Fiskal & Moneter RI

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengingatkan adanya risiko ekonomi besar di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto jika kontribusi sektor swasta tertekan akibat likuiditas seret.
Menteri Keuangan (Menkeu) menjelaskan risiko ini dalam rapat dengan Komisi XI DPR RI, kemarin (11/9/2025). Menurut Purbaya, pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), mesin ekonomi pincang karena ekonomi Indonesia lebih banyak ditopang oleh pemerintah dengan fiskalnya. Sementara itu, kontribusi swasta tertekan. Padahal, seharusnya kontribusi swasta bisa mencapai 90%.
"Mesin ekonomi kita pincang. Hanya pemerintah yang jalan, sedangkan yang 90% (kontribusi swasta) berhenti, atau diperlambat," ungkap Purbaya.
Inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi hanya mencapai rerata sedikit di bawah 5%. Dia mengaku sudah mengingatkan Jokowi saat itu.
"Jika uang Bapak ditaruh di BI, dosa Bapak dua. Satu, ekonominya. Yang kedua sistem kering gak bisa membangun juga. Jadi kalau balikin ke sistem juga, bank, Himbara misalnya, dosa Bapak tinggal satu. Gak bisa bangun, tapi ekonominya jalan," tegasnya.
Dia mengungkapkan kondisi ini berbeda dengan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Saat itu, ekonomi Indonesia bisa mencapai rata-rata 6% sejalan dengan peredaran uang tunai atau dikenal basis moneter yang tumbuh sehat.
Pada zaman SBY, Purbaya menerangkan pertumbuhan basis moneter/ base money/ uang primer (M0) rata-rata tumbuh 17% lebih. Alhasil, ini mendorong likuiditas di perbankan berlimpah dan pertumbuhan kredit ikut tumbuh pesat.
"Akibatnya, uang di sistem cukup, kredit tumbuh berapa? 22%. Jadi waktu zaman pak SBY, walaupun dia enggak bangun infrastruktur habis-habisan, private sector yang hidup yang menjalankan ekonomi. Itu berhubungan rasio tax," tegas Purbaya.
Ketika swasta yang jalan, pajak tumbuh. Saat itu, katanya, bahkan rasio pajak RI 0,6% lebih tinggi dibandingkan zaman Jokowi.
"Pada zaman Pak Jokowi uang tumbuh hanya sekitar 7% M0-nya. Bahkan di titik-titik tertentu, dua tahun sebelum krisis (Covid) itu tumbuhnya 0%," tambah Purbaya.
Menurut Purbaya, hal ini bisa terulang lagi di pemerintahan saat ini jika tidak ada kebijakan yang benar.
"Zaman Pak Prabowo juga bisa sama. Ini sekarang masih baru. Kalau pemerintahnya masih lambat belanjanya, dan mencekik perekonomian juga dari sisi lain dan moneternya juga sama, maka akan lebih buruk dibanding dua zaman sebelumnya. Dua mesin mati (mesin moneter dan mesin fiskal)," ujarnya.
Alhasil, kondisi kekeringan likuiditas membuat masyarakat tercekik. Demonstrasi, kata Purbaya, adalah efek dari tekanan berkepanjangan dari ekonomi.
"Karena kesalahan fiskal dan moneter yang sebelumnya kita kuasai," tegasnya.
Dia bertekad sebagai menteri keuangan akan membalikkan kondisi ini. Menghidupkan kembali mesin fiskal dan moneter. Mempercepat belanja, menurutnya, tidak bisa menjadi solusi.
Caranya, kata Purbaya, dia akan menarik uang Rp 200 triliun, tabungan pemerintah yakni SAL dan SiLPA, dari Bank Indonesia (BI). Ini akan diguyur ke sistem perekonomian. Artinya akan disalurkan ke perbankan Tanah Air.
"Saya sekarang punya Rp 425 triliun di BI cash. Besok saya taruh Rp 200 triliun," ujarnya.
Jika itu masuk ke sistem dan tidak diserap balik oleh BI, ekonomi akan bisa hidup lagi.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article BI Tambah Guyuran Likuiditas Rp 80 Triliun ke Perbankan
