Lebih Horror dari Inflasi, Ini Dampak Deflasi ke Ekonomi dan Investasi

Robertus Andrianto, CNBC Indonesia
Selasa, 02/09/2025 13:55 WIB
Foto: Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Kantor Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Senin (1/9/2025). (CNBC Indonesia/Faisal Rahman)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi acap kali menjadi musuh bagi negara. Pasalnya inflasi yang tidak terkendali dapat membuat ekonomi negara tumbang. Tapi nyatanya,ada yang lebih mengerikan, yakni deflasi.

Saat inflasi tidak terkendali, harga barang dan jasa melonjak signifikan dan membuat uang tidak ada nilainya. Sementara deflasi adalah kebalikannya. Mengutip Investopedia, deflasi adalah penurunan harga barang dan jasa dalam jangka waktu yang panjang.

Beberapa ekonom melihat deflasi lebih serius daripada inflasi karena deflasi lebih sulit dikendalikan. Selama masa deflasi, barang dan jasa konsumen bukanlah satu-satunya barang yang harganya turun. Deflasi dapat memberikan dampak penurunan nilai investasi, seperti saham dan obligasi.


Ketika saham, obligasi, real estat, dan komoditas nilainya jatuh, kepemilikan uang tunai relatif meningkat. Hal ini menyebabkan berkurangnya investasi, yang berpotensi menyebabkan penurunan lebih lanjut dalam harga aset.

Ketika deflasi berlangsung terlalu lama, laba perusahaan mulai menurun. Kondisi ekonomi (seperti kelebihan pasokan) memaksa perusahaan untuk menjual produk mereka dengan harga yang semakin rendah.

Perusahaan selanjutnya akan memangkas biaya produksi, mengurangi upah karyawan, memberhentikan pekerja, dan bahkan menutup fasilitas produksi.

Jika itu terjadi, pengangguran akan meningkat, ekonomi tidak dapat berkembang, dan orang-orang tidak akan membelanjakan uang mereka karena masa depan ekonomi mereka tampak tidak pasti. Ekonomi yang melemah merupakan berita buruk bagi konsumen, pekerja, bisnis, dan investor.

Pada masa inflasi, pemerintah mengekang pengeluaran dan mendorong tabungan dengan menaikkan suku bunga.

Mereka melakukan yang sebaliknya untuk mendorong pengeluaran selama deflasi. Tetapi mereka tidak dapat dengan mudah menurunkan suku bunga nominal ke level negatif, atau di bawah nol. Bank sentral di wilayah yang terkena deflasi hanya dapat mengubah nilai tukar sedikit saja.

Ketika tingkat deflasi meningkat, harga ekuitas dapat mulai menurun karena orang menjual investasi ekuitas yang tidak lagi menawarkan keuntungan yang memuaskan.

Pasar saham kemudian dapat melemah lebih jauh, tercermin dari rasio harga/laba (PE) yang menurun. Nilai saham mungkin mulai turun karena laba perusahaan menurun.

Sementara itu, deflasi ringan biasanya tidak berdampak negatif pada obligasi. Faktanya, deflasi tingkat rendah terkadang dapat bermanfaat bagi obligasi berkualitas tinggi, jika investor memutuskan untuk memindahkan uang mereka dari saham untuk mencari investasi yang mereka anggap kurang berisiko.

Namun, deflasi yang lebih kuat juga dapat mempengaruhi kelayakan obligasi bagi peminjam dan investor. Harga obligasi dapat naik karena peminjam korporat yakin bahwa melunasi pinjaman mereka akan mengakibatkan kerugian finansial. Itu karena uang yang mereka bayarkan kepada investor akan lebih berharga daripada dana yang mereka pinjam.

Terlebih lagi, jika suku bunga menurun selama periode deflasi untuk mendorong lebih banyak pinjaman dan pengeluaran, imbal hasil obligasi juga menurun. Dan jika deflasi terjadi, risiko gagal bayar obligasi dapat meningkat.

Indonesia sendiri pada Agustus 2025 mencatatkan deflasi 0,08% menurut Badan Pusat Statistik.


(ayh/ayh)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bankir Ungkap Kunci Genjot Kredit & Capai Target Ekonomi 5,4%