Heboh Kasus Utang BLBI BCA ke Negara, Ini Kata DPR

Redaksi, CNBC Indonesia
Selasa, 19/08/2025 15:53 WIB
Foto: Ilustrasi Bank BCA. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Penjualan saham PT Bank Central Asia Tbk. (BBCA) terkait penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kembali mencuat. Berbagai kalangan termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun telah mendorong pemerintah untuk mengusut kasut ini.

Pasalnya, penjualan 51% saham BCA pada tahun 2002 silam dianggap menyebabkan kerugian hingga Rp87,99 triliun. Mengutip tulisan "Interpelasi BLBI Kasus BCA" oleh mendiang Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan dan Industri era Gus Dur, Kwik Kian Gie, bank swasta terbesar RI itu saat itu memiliki utang ke negara.


Utang tersebut berasal dari berbagai sumber, salah satunya dana BLBI. Pada saat krisis moneter dan ekonomi tahun 1997, BCA terkena rush dan menerima BLBI senilai Rp31,99 triliun untuk meredamnya. Maka, pemerintah menyita saham-saham BCA sebagai bentuk dari pelunasan utang BLBI dari keluarga Salim.

Dari jumlah tersebut, BCA telah membayarkan cicilan utang pokok sebesar Rp8 triliun dan pembayaran bunga Rp8,3 triliun, yang saat itu tingkat bunganya sebesar 70% per tahun. Maka sisa utang BLBI tersebut menjadi Rp23,99 triliun (pembayaran bunga tidak mengurangi pokok) atau sekitar 92,8% dari nilai saham BCA pada saat itu.

Kemudian, BCA yang sudah menjadi milik pemerintah harus "disehatkan" dengan menginjeksi Obligasi Rekapitalisasi Perbankan atau OR sebesar Rp60 triliun. Kwik mengatakan dalam BCA sudah ada laba bersih sebesar sekitar Rp4 triliun.

"Jadi uang pemerintah yang ada di dalam BCA sebesar jumlah dari tiga angka ini atau Rp. 87,99 triliun (dibulatkan Rp. 88 triliun).

Namun BCA dijual kepada Farallon senilai Rp 10 triliun. Jadi ada kerugian yang dibuat oleh pemerintah sendiri sebesar Rp78 triliun," tulis Kwik, dikutip Selasa (19/8/2025).

Selanjutnya Kwik menyorot kredit Rp52,7 triliun yang diambil oleh Grup Salim, mantan pemegang saham BCA, di Bank swasta terbesar RI tersebut . Ia menggarisbawahi bahwa ketika 92,8% saham BCA dimiliki oleh pemerintah, utang keluarga Salim beralih menjadi utang kepada pemerintah.

Karena keluarga Salim tak memiliki uang tunai, dibayarlah dengan skema Pelunasan Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang berwujud Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dengan uang tunai sebesar Rp100 miliar dan 108 perusahaan. Saat itu penilaian 108 perusahaan menggunakan jasa Danareksa, Bahana dan Lehman Brothers mengeluarkan angka Rp 51,9 triliun. Sehingga utang Grup Salim ke BCA dianggap lunas. 

Sementara itu, ,menurut penilaian Price Waterhouse Coopers (PwC), nilai dari skema tersebut tiba pada angka Rp20 triliun saja.

Perbedaan signifikan dari penilaian konsorsium Danareksa-Bahana-Lehman dengan PwC disebut terjadi karena perbedaan pandangan makroekonomi.

Kala itu, Bahana, Danareksa dan Lehman Brothers ditugasi menilai dengan asumsi "Pandangan yang positif tentang hari depan ekonomi Indonesia dan lingkungan politik yang normal" (normalised economic and political scenarios). Artinya dihasilkan angka premium imbas dari going concern dalam lingkungan ekonomi makro yang bagus.

Sementara PwC ditugasi dengan asumsi dan TOR yang intinya berbunyi : "harus dijual dalam waktu antara 8 dan 10 minggu", dengan "transaksi penjualan dilakukan antara pembeli yang mau membeli tetapi ogah-ogahan, dan penjual yang mau menjual tapi ogah-ogahan" (willing but not anxious).

Meski ada perbedaan signifikan terkait penilaian tersebut, akhirnya pemerintah pada saat itu menerima Rp20 triliun dari nilai aset Rp52,8 triliun, sebagai pelunasan utang keluarga Salim. Artinya, recovery rate sekitar 34%.

Pada tahun 2002, Presiden Megawati sepakat menjual 51% saham BCA kepada publik. Perusahaan Investasi AS Farallon kemudian memenangkan tender tersebut karena membeli saham BCA dengan nilai US$530 juta atau Rp10 triliun pada saat itu.

Kelak, sekitar tahun 2007 Grup Djarum menguasai BCA sepenuhnya usai membeli 92,18% saham Farallon di Farindo Investment. Farindo Investment adalah perusahaan patungan Grup Djarum melalui Alaerka, dan Farallon.

Ketika ditanya terkait hal ini, Wakil Ketua DPR sekaligus Anggota DPR Komisi III, Sufmi Dasco Ahmad mengatakan ia belum mempelajari lebih lanjut mengenai hal ini. Namun ia mengetahui bahwa BCA yang pada saat itu dimiliki Grup Salim masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), dilelang dan dimenangkan oleh Grup Djarum.

"Sehingga lelang tersebut yang dilakukan oleh BPPN, dalam hal ini Pemerintah Indonesia, itu sudah dilakukan. Saya belum bisa berkomentar lebih jauh, karena hanya itu yang saya tahu," ujar Dasco saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (19/8/2025).

Menurutnya, sejauh ini Komisi III DPR belum memiliki rencana untuk mengusut perkara BLBI-BCA ini.

"Setahu saya, ini belum adq rencana Komisi III," kata Dasco.

Sementara itu, politisi Partai Gerinda yangjugs KetuaKomisi III DPR RI membidangi urusan hukum, hak asasi manusia (HAM), dan keamanan Habiburokhman mengatakan tidak ada jadwal pemanggilan terkait BCA.

"Kami baru saja selesai rapat internal menyusun jadwal untuk masa sidang ini. Tidak ada jadwal pemanggilan kepada KPK Terkait kasus BCA tersebut,"sebut Habiburokhman saat dihubungi CNBC Indonesia, Selasa (19/8/2025).

"Soal perbankan adalah soal sensitif, harus sangat hati-hati kita menyikapi. Jangan sampai pemberitaan yang tidak pas Membuat situasi yang tidak stabil," pungkas Habiburokhman.


(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: UMSU Dorong Ekonomi - Tingkatkan Literasi Keuangan Mahasiswa