Maskapai Pakai AI Buat Kerek Harga, Konsumen-Regulator Ngamuk

Mentari Puspadini, CNBC Indonesia
Selasa, 05/08/2025 08:00 WIB
Foto: Sebuah pesawat Delta Airlines terpaksa melakukan pendaratan darurat setelah salah satu mesinnya terbakar sesaat setelah lepas landas dari Bandara Internasional Los Angeles (LAX), Jumat (18/7). (Tangkapan Layar Video Reuters/LA FLIGHTS)

Jakarta, CNBC Indonesia - Delta Air Lines mengklaim memiliki "super analyst" baru yang mampu bekerja tanpa henti, memproses data dalam jumlah besar, dan membantu memaksimalkan pendapatan. Teknologi tersebut berbasis kecerdasan buatan (AI).

Selama beberapa bulan terakhir, maskapai asal Atlanta Amerika Serikat ini bekerja sama dengan Fetcherr, startup yang ingin merevolusi penetapan harga tiket seperti halnya trading algoritmik dalam pasar keuangan. Para eksekutif Delta pada Juli lalu menyatakan puas atas hasil uji coba yang berjalan sejauh ini.


Mengutip The Wall Street Journal, Delta berharap sistem AI ini bisa menentukan hingga 20% harga tiket domestik pada akhir tahun, dari yang saat ini baru sekitar 3%. Presiden Delta, Glen Hauenstein, menyatakan pihaknya sangat menyukai teknologi ini.

Namun, implementasi AI ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan legislator dan aktivis konsumen. Mereka takut maskapai bisa menggunakan data pribadi, seperti riwayat pencarian di mesin pencarian, untuk menaikkan harga tiket secara personal.

Para senator AS, Ruben Gallego, Richard Blumenthal, dan Mark Warner, mengirim surat kepada CEO Delta Ed Bastian, menyuarakan kekhawatiran bahwa harga bisa didasarkan pada kebutuhan individu, bukan hukum pasar. Mereka mencontohkan jika maskapai bisa menebak seorang penumpang pulang untuk menghadiri pemakaman maka akan dibebankan biaya yang lebih tinggi, dengan asumsi tiket tersebut pasti akan dibeli dan memberikan keuntungan bagi perusahaan.

Dua legislator lainnya bahkan mengusulkan rancangan undang-undang yang melarang penggunaan AI untuk menetapkan harga atau upah berdasarkan data pribadi, dan menyebut Delta sebagai contoh. Kritik juga datang dari CEO American Airlines, Robert Isom, yang menyebut AI pricing sebagai "bait and switch" atau taktik penipuan.

Delta menegaskan pihaknya tidak pernah dan tidak akan menggunakan sistem harga berdasarkan informasi pribadi pelanggan. Dalam surat balasan ke senator, Delta juga menegaskan tidak membagikan data pribadi pelanggan kepada Fetcherr.

Fetcherr, dalam dokumen yang dipublikasikan di situsnya tahun lalu, menyatakan sistemnya hanya menganalisis data agregat dan sinyal pasar. Mereka menyebut teknologi ini bertujuan mempercepat proses yang selama ini sudah ada.

Bagi banyak konsumen, cara maskapai menentukan harga tiket memang sudah menyerupai "kotak hitam" bahkan sebelum AI diterapkan. Maskapai telah menggunakan sistem harga dinamis selama beberapa dekade dengan ratusan kemungkinan harga untuk setiap rute.

Penawaran harga bergantung pada berbagai faktor seperti waktu pemesanan, jumlah kursi tersisa, hingga apakah perjalanan melibatkan penerbangan lanjutan. Selain itu, maskapai juga mempertimbangkan harga pesaing, jadwal sekolah, dan peristiwa besar seperti konser Taylor Swift atau festival balon udara di Albuquerque.

Maskapai juga menggunakan strategi untuk membedakan jenis penumpang, seperti pebisnis yang dibiayai perusahaan versus wisatawan yang sensitif terhadap harga. Tahun ini, maskapai sempat dikritik karena dilaporkan menjual tiket lebih mahal kepada pelancong solo dibandingkan kelompok.

Fetcherr, yang didirikan pada 2019, bertaruh bahwa mereka bisa mempercepat transformasi industri penerbangan yang cenderung lamban dalam adopsi teknologi baru. Perusahaan ini telah mengumpulkan pendanaan sebesar US$115 juta dan juga bekerja sama dengan Virgin Atlantic, WestJet, dan Azul asal Brasil.

Teknologi Fetcherr mampu memprediksi permintaan penerbangan dan merespons perubahan pasar secara cepat. Mereka menggunakan data eksternal dan informasi anonim dari maskapai, termasuk data pembelian dan pencarian tiket.

Dalam pernyataan Delta pada Jumat lalu, disebutkan bahwa rekomendasi harga dari Fetcherr tetap disempurnakan oleh tim manusia. Sejumlah pelaku industri menyatakan sistem ini bisa membantu meringankan beban analis harga yang mengawasi puluhan rute penerbangan.

Menurut konsultan Cory Garner, pekerjaan ini terlalu besar untuk dikelola secara manual. Semakin besar maskapai, semakin sulit proses pengawasan harga tiket.

Dalam beberapa kasus, AI bisa menyarankan penurunan harga jika kursi terlalu mahal dan tidak laku. Namun, AI juga dapat mengidentifikasi peluang di mana penumpang bersedia membayar lebih dari harga yang ditetapkan.

"Kami umumnya menyesuaikan harga dengan kompetitor," kata Hauenstein tahun lalu. "Tapi bagaimana jika kami coba naikkan harga ke Tokyo sebesar US$20 atau bahkan US$40, tanpa kehilangan pangsa pasar?"


(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Berkat CCP, Transaksi Harian Pasar Valas Bisa USD10 Miliar/Hari