Fenomena 'Utang Hantu' Pay Later di AS, Apa Kabar di RI?

Mentari Puspadini, CNBC Indonesia
10 July 2025 15:30
Ilustrasi Buy Now Pay Later
Foto: Ilustrasi Buy Now Pay Later

Jakarta, CNBC Indonesia — Amerika Serikat (AS) belakangan tengah dilanda fenomena phantom debt atau 'utang hantu', yang didorong oleh pembiayaan Buy Now Pay Later (BNPL). 

Di AS, Wall Street umumnya menilai kondisi ekonomi konsumen AS pasca-Covid jauh lebih baik dari perkiraan, namun seorang analis mengungkap adanya celah besar yang belum diperhitungkan. Ia menyebutnya sebagai phantom debt-, yakni pengeluaran lewat skema BNPL yang sering tidak tercatat oleh biro kredit.

Di Indonesia sendiri, penyaluran BNPL oleh multifinance naik 54,26% per Mei 2025, mencapai Rp8,58 T. Selain dari multifinance, perbankan kini juga gencar bermain di segmen tersebut. 

Direktur Pefindo Wahyu Trenggono mengatakan phantom debt bisa saja terjadi di Indonesia karena tidak semua data pinjaman tercatat dalam sistem resmi seperti SLIK OJK.

"Misalnya, data pinjaman dari koperasi atau pinjol yang tidak terdaftar di OJK tidak tercatat dalam data kredit nasional. Akibatnya, jika Lembaga Jasa Keuangan (LJK) memeriksa individu atau korporasi yang memiliki pinjaman kredit yang tidak dilaporkan di sistem SLIK, nilai credit scoring nya akan misleading," ungkap Wahyu kepada CNBC Indonesia, Rabu, (9/7/2025).

Menurut Wahyu, credit scoring yang misleading cenderung membahayakan perusahaan finansial. Pasalnya, hal ini tidak mencerminkan risiko kredit yang sebenarnya, dan mengarah pada risiko non performing financing (NPF) hingga gagal bayar. 

Asal tahu saja, tingkat NPF gross BNPL per Mei 2025 tercatat 3,74%. Angka ini turun dibanding bulan sebelumnya, 3,78%. Akan tetapi tetap cenderung terbilang tinggi. 

"Idealnya, semua data fasilitas yang diberikan lembaga pemberi pinjaman, termasuk koperasi dan pindar, tercatat dalam sistem data pelaporan kredit nasional. Dengan begitu, data pinjaman lebih terintegrasi dan transparan sehingga masyarakat bisa terlindungi dari risiko utang yang tidak sah," kata dia.

Sejauh ini, Pefindo menghimpun data BNPL dari lembaga jasa keuangan seperti bank, multifinance dan fintech yang sudah terintegrasi di SLIK maupun melaporkan datanya langsung ke IdScore.

Sebagai salah satu penyedia layanan pay later, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) Suwandi mengatakan bahwa tingkat NPF membaik seiring dengan pengetatan seleksi calon debitur pay later.

"Non-profiling financing-nya kan juga membaik. Ya, berarti kualitasnya juga sudah mulai membaik karena dengan pengetatan kredit kita menjaga supaya jangan sampai sudah nggak bisa tumbuh terjadi pemburukan kualitas," kata Suwandi dikonfirmasi terpisah.

Meski demikian, Suwandi mengatakan, kontribusi pay later kepada pembiayaan multifinace nilainya masih kecil.

"Tapi ya memang itu salah satu alternatif orang sudah duitnya juga terbatas ya, salah satunya ya dengan adanya BNPL mereka bisa lebih mengatur cash flow-nya. Tapi yang saya imbau adalah kalau sudah mendapatkan pinjaman dan mengambil pinjaman dari BNPL, jangan lupa dibayar," ungkapnya.

Kembali ke fenomena di Amerika Serikat, CEO Citi Jane Fraser mengingatkan adanya "retakan" pada kelompok berpendapatan rendah, sementara analis Wells Fargo menyoroti tren keuangan pribadi yang sering luput dari perhatian, yakni konsumen membeli produk tanpa langsung melunasi pembayaran.

Melansir Forbes.com, pembayaran dilakukan secara mencicil dalam jangka waktu tertentu, terkadang disertai biaya layanan atau skema pembayaran yang berubah sesuai risiko kredit konsumen.

Masalahnya bagi para ekonom, banyak platform BNPL enggan membagikan data transaksi konsumen ke biro kredit karena khawatir akan merusak skor kredit pengguna. Contohnya, Afterpay sama sekali tidak melaporkan datanya, sedangkan Klarna hanya membagikannya ke lembaga kredit di Inggris.


(mkh/mkh)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Warga RI Pakai Paylater Bank hingga Rp 22,57 Triliun

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular